Santri Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto melewati tes sepulang dari libur panjang. (Foto: NU Online/Rofi)
Muhammad Syamsudin
Kolomnis
Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi telah terbit sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam rangka mempercepat penanganan Covid-19, sudah seyogianya aturan tersebut tidak dilihat dengan kacamata negatif.
Kebebasan berpendapat dan beropini tidak boleh dijadikan ajang kesempatan untuk berlaku apatis terhadap segala kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, dunia kerja tidak mungkin selamanya dalam kungkungan pembatasan—roda perekonomian harus tetap berjalan. Demikian juga dengan sektor pendidikan dan pesantren, tidak mungkin dilakukan pembatasan dalam skala waktu lama. Untuk itu dibutuhkan kematangan persiapan dari masing-masing institusi yang menanganinya.
Informasi dari lembaga yang berwenang dunia di bidang kesehatan menyebutkan bahwa transmisi (penularan) Covid-19 adalah melalui tiga hal, yaitu droplet (ludah), muntahan (fomites) dan kontak fisik dengan penderita atau orang yang suspect dengan Covid-19. Sementara itu, langkah mengantisipasi yang direkomendasikan guna mencegah persebaran virus tersebut, adalah dengan jalan menggunakan masker kesehatan, rajin cuci tangan, dan menjaga kontak sosial (social distancing). Dan untuk melakukan pendeteksian dini, solusi yang dipergunakan sementara waktu adalah (1) karantina selama 14 hari, (2) mengikut rapid-test, dan (3) melakukan swab rRT-PCR. Dan yang penting untuk dicatat adalah terjaganya imunitas tubuh.
Alhasil, karena adanya solusi, itu menandakan bahwa ada peluang untuk menuju ke kondisi normal yang ditandai normalnya roda ekonomi berjalan atau aktivitas lain rutin masyarakat, seperti pendidikan, pesantren, dan lain sebagainya. Akan tetapi, karena ada kemungkinan tetap berjangkitnya wabah, maka tetap dibutuhkan mematuhi anjuran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lengkap dengan protokol kesehatannya.
Karantina dan Isolasi Mandiri
Salah satu peluang bagi lembaga pendidikan seperti pesantren yang mengasramakan para santri, untuk memulai normalnya roda pendidikan dan pembelajarannya dengan jalan murah, adalah dengan jalan mengarantina sementara waktu santri yang baru datang, mengisolasinya selama 14 hari, sebelum mereka bisa berbaur dengan para santri lainnya.
Sudah pasti langkah ini membutuhkan sebuah fasilitas yang tidak kecil, berupa gedung yang dikhususkan untuk menahan dulu para santri dari memasuki lokasi pondok. Namun, potensi gedung yang dimiliki pesantren, adalah memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.
Jika jumlah gedung santri bersifat terbatas, maka karantina bisa dilakukan dengan jalan mendatangkan santri secara bergelombang dan tidak sekaligus. Tentu dalam hal ini adalah untuk menghindari kemungkinan terpaparnya santri yang sudah dinyatakan sehat dari santri yang baru datang.
Jika kondisi ini juga tidak memungkinkan, maka solusi terakhir bagi pengelola/pengasuh pondok pesantren adalah dengan jalan melaksanakan rapid test baik yang dilakukan secara mandiri oleh pesantren atau melalui bantuan pihak dinas kesehatan setempat yang berada di sekitar pesantren. Alhasil, dengan cara ini, santri yang perlu melakukan karantina hanyalah santri yang dinyatakan terindikasi suspect saja, sehingga tidak membutuhkan fasilitas gedung karantina yang banyak.
Fasilitas Sanitasi dan Protokol Kesehatan Pesantren
Tersedianya ruang terbuka, serta ventilasi yang memadai merupakan hal yang penting juga untuk memastikan lancarnya sirkulasi udara, sehingga santri menjadi tidak terlalu lama berada dalam satu ruangan dengan kemungkinan penderita suspect Covid-19. Terlebih lagi adalah mematuhi protokol kesehatan untuk senantiasa mempergunakan masker dan handsanitizer bagi santri dalam segala aktivitasnya. Tidak memakai wadah piring, sendok dan perlengkapan lainnya, secara bersama-sama, selama beberapa waktu hingga wabah Covid-19 dinyatakan selesai, merupakan salah satu langkah bijak bagi kemungkinan tersebarnya virus.
Menjaga Imunitas Tubuh
Berdasarkan hasil dialog penulis dengan sejumlah dokter yang berkecimpung dalam penanganan Covid-19, adalah pentingnya menjaga imunitas tubuh. Cara penjagaan yang direkomendasikan oleh para dokter dalam hal ini adalah rajin meminum Vitamin C, E dan madu, serta rajin berolahraga. Alhasil, edaran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini yang di dalamnya mencantumkan anjuran ini patut didukung.
Keberadaan sanitasi dan protokol kesehatan serta upaya menjaga imunitas tubuh, tidak hanya berlaku bagi kalangan santri pesantren saja. Para pekerja kantoran, para siswa sekolah yang tidak tinggal di asrama, mereka juga bisa menerapkan hal serupa.
Rapid Test dan Swab Test
Terakhir adalah mengikuti Rapid test (PCR) atau Swab test. Kedua metode ini dapat dijadikan sebagai alternatif agar santri segera bisa beraktivitas sebagaimana normalnya. Berbekal hasil rapid test dan swab test ini, santri dan masyarakat lainnya, yang harus bekerja di luar rumah, sebagai yang bisa dinyatakan terpapar atau tidak oleh Covid-19 berdasarkan diagnosa dokter dan surveilens berbekal kriteria kesehatan yang sudah disepakati oleh mereka.
Apakah semua hal di atas wajib dilakukan oleh para santri, siswa, dan masyarakat pekerja?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kita lari dari penyakit/wabah sebagaimana lari kita ketika berjumpa dengan singa. Di dalam hadits yang lain, Rasulullah juga memerintahkan agar kita menghindari wilayah yang terkena wabah tha’un. Bahkan Rasulullah juga menganjurkan berpuasa agar terjaga kesehatan (shumu fa tashihhu).
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله تعالى أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فتداووا ولا تداووا بالحرام
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya dan menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang haram” (HR Abu Dawud dari Abu Darda).
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
إنَّ اللَّهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Sesungguhnya Allah tiada menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula obat.” HR. Bukhari
Hadits-hadits di atas, menyiratkan pentingnya kita untuk menjaga kesehatan. Sekilas pula dapat difahami menurut pengertian tersiratnya bahwa tidak menularkan penyakit kepada orang lain yang sehat merupakan langkah bijak bagi orang yang sakit. Jika setiap jiwa yang sakit diperintahkan berobat, maka mengantisipasi penularan penyakit kepada orang lain, adalah sebuah keutamaan. Bagaimanapun juga, melakukan tindakan preventif adalah jauh lebih baik dibanding mengobati. Syekh Musthofa Al-Zuhaili menyampaikan:
الدفع خير من العلاج
“Menolak adalah lebih baik dibanding mengobati” (Syekh Musthofa Al-Zuhaili, Qawa’id al-Fiqhiyyah wa tathbiqatiha fi al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 190).
Alhasil, karena Covid-19 dinyatakan sebagai penyakit berbahaya oleh dokter, maka tindakan melakukan pencegahan sembari berharap terlaksananya aktivitas wajib, melakukan rapid test sebelum berkumpul dengan masyarakat santri, pelajar atau pekerja lainnya, hukumnya bukan lagi menjadi sebuah anjuran, melainkan bisa menjadi wajib bila hal itu sangat diperlukan oleh lingkungannya. Hal ini semata dalam rangka tindakan daf’u al-dlarar (mencegah sesuatu yang berpotensi merugikan). Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah LBMNU PWNU Jatim.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua