Judul : Kumpulan Kolom Gus Dur; Kumpulan Artikel Abdurrahman Wahid
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, 2002
Dari deretan dan tumpukan pelbagai buku yang ada di lemari perpustakaan keluarga di rumah, mungkin yang paling saya sukai sejak anak-anak adalah buku-buku karangan Gus Dur dan buku-buku yang ada Gus Durnya. Bukan untuk membaca, memelajari, dan mendedah pikiran-pikiran Gus Dur. Saya yang saat itu masih duduk di bangku sekolah SMP tahun pertama, lebih doyan melihat-lihat gambar atau foto yang ada dia.
<>Suatu waktu, kawan sebangku saya, Rendy --seorang peranakan Tionghoa-Banjar-- hampir tiap hari bikin karikatur-karikatur di buku tulisnya. Anehnya, karikatur yang paling sering diciptakannya adalah gambar Bung Karno dan Gus Dur.
Saya pun iseng bertanya, “Kenapa kau sering bikin coretan-coretan tentang mereka berdua?”
Rendy pun menjawab, “Karna wajah mereka sangat karikatural!”
“Aneh banget!” saya menimpali. Tapi, sejak itu saya lebih sering lagi main ke perpustakaan mini di rumah, hanya untuk melihat-lihat gambar yang ada Bung Karno dan Gus Durnya.
Ketika saya merantau ke Kota Yogyakarta dan mengambil studi si bidang Ilmu Sejarah, ada pertanyaan kegelisahan di dalam hati saya:
“Mengapa Sejarah Islamisasi di Indonesia lebih didominasi peranan orang-orang Timur-Tengah, Afrika, Asia Selatan, dan Tiongkok belaka?”
“Mengapa dan bagaimana peradaban Islam berhasil di Indonesia, paling tidak secara kuntitatif?”
Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini bak misteri di kotak pandora bagi sejarawan yang ingin menggeluti sejarah Islam Nusantara. Historiografi Islam Nusantara, paling tidak buat saya, belum bisa melukiskan dengan jelas bagaimana sesungguhnya interaksi kebudayaan yang terjadi antara pelbagai bangsa lokal di dalamnya dengan para kaum pendatang dari luar nusantara yang memiliki misi “pengislaman”.
Memang harus diakui bahwa kendala sumber-sumber sejarah lokal, tulis maupun lisan, yang ada masih sangat dibayang-bayangi akan mitos dan propaganda politik: istanasentris atau kesultanansentris. Namun, di mana pun sumber itu ditemukan dan ditelaah (baik sumber modern-kolonial maupun sumber tradisional) pastilah memiliki bias mitos.
Akhir kegerundelan batin saya itu tercerahkan dengan membuka-buka (kembali), artikel-artikel Gus Dur dalam bukunya "Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurahman Wahid Selama Era Lengser".
Dalam buku itu, tentang sejarah, baik itu ihwal peranan Tionghoa dalam proses Islamisasi Nusantara, Tentang Sultan Agung, Sejarah Majapahit, Mataram Islam, dan lain sebagainya, Gus Gur, hemat saya, bukanlah seorang sejarah akademik yang selalu mewajibkan fakta berupa sumber historis dalam setiap pengkisahan.
Namun, Gus Dur merupakan sebuah anti-tesis, dekonstruksi bagi penulisan sejarah (khususnya Sejarah Islam Nusantara) yang masih berpendapat bahwa keberhasilan Islamisasi di Indonesia bak gelas kosong yang di isi air. Pasif, nrimo, dan pasrah. Hipotesa-hipotesa historis (yang kadang kontroversial) dari Gus Dur, membuat para sejarawan yang menggeluti historiografi Islam Indonesia, haruslah berpikir ulang dan mengkaji kembali kertas-kertas kerjanya, bahwa peran umat Islam lokal adalah pegiat yang aktif dan berperadaban.
Ini yang menjadi sumber motivasi kaum muda, termasuk saya, selalu terobsesi mengembangkan keilmuan untuk memelajari sejarah Islam Nusantara. Gus Dur adalah inspirasi penulisan sejarah Islam, di luar ‘jalan biasa’. Gus Dur atau Abdurrahman, selalu bikin saya penasaran. (Muhammad Iqbal, Mahasiswa Pascasarjana pada Departemen Ilmu Sejarah FIB UI-Depok dan alumni Pesantren Al-Falah Banjar-Kalimantan Selatan)
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
3
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua