Cantik itu Mitos
Jumat, 7 Juli 2006 | 05:33 WIB
Penulis : Annastasia Melliana S
Peresensi : Moh. Zeinudin*
Hidup ini memang edan! Begitu kata pepatah dan nasehat “nenek moyang” kita. Bagaimana tidak, salah satu majalah metropolis terkemuka di Tanah Air beberapa tahun lalu pernah melaporkan berita menyentakkan masyarakat. Ada gadis remaja yang bangga foto dirinya dengan payudara terbuka beredar dari handphone ke handphone karena merasa molek. Ada lagi, banyak wanita tengah baya sibuk mempercantik bagian tubuh yang “menggelambir”, dan lupa kearifan yang seharusnya diraih. Ada pula yang murung karena merasa fisiknya tidak ideal. Fenomena apa ini? Jangan-jangan inilah petanda “Kiamat Sudah Dekat”—meminjam istilah judul sinetron garapan Dedi Mizwar pemenang FFI 2005.
Semboyan lama mengatakan, dalam tubuh yang sehat <>terdapat jiwa yang sehat, mempunyai nilai kebenaran empiris bahwa kini kesadaran orang mengenai pentingnya kesehatan semakin meningkat. Berbagai kelompok atau klub kebugaran berkembang sedemikian rupa. Begitupula klinik-klinik, bukan hanya mengurus kebugaran, tetapi juga kecantikan. Rupanya “kecantikan” inilah yang akhirnya menjadi sangat penting bagi kalangan tertentu. Ironosnya lagi, notabene kecantikan yang dimaksud hanya sebatas kecantikan fisik.
Begitu pentingnya kecantikan fisik bagi wanita masa kini, tidak dapat dimungkiri merupakan akibat dari provokasi melalui media massa, di samping budaya Barat yang masih terus menghegemoni budaya lokal di bumi pertiwi ini. Dengan berbagai kepentingan, baik demi industri kecantikan itu sendiri, demi sensasi promosi berbagai produk industri dan jasa, demi pariwisata, dan lain-lain, wanita molek dan cantik secara fisik ditampilkan sebagai icon. Melalui media maupun penuturan dari mulut ke mulut akhirnya semakin kuat mitos-mitos tentang kecantikan.
Untuk menarik perhatian orang secara visual, entah iklan, film, tenaga penjual, hampir selalu ditampilkan wanita yang langsing atau sintal, dan berkulit mulus. Begitu gencarnya provokasi, sampai-sampai para gadis dan wanita dewasa bahkan ibu-ibu tengah baya mengukur dirinya dengan prototipe (bentuk ideal) wanita cantik yang diciptakan oleh majalah, TV, iklan di pinggir-pinggir jalan.
Akibatnya, para wanita yang merasakan adanya kesenjangan antara gambaran (image) tubuh ideal dengan gambaran tubuh senyatanya, cenderung mengalami emosi negatif: kecewa, sedih, putus asa, jengkel, cemas, marah (Buss, Psychological Dimension of the Self, 2001).
Padahal, prototipe wanita cantik (langsing atau sintal, dan berkulit mulus) yang sekarang berkembang sebenarnya merupakan mitos. Mitos adalah suatu keyakinan yang beredar luas menyangkut suatu hal yang belum tentu kebenarannya. Keyakinan mengenai wujud wanita cantik sebenarnya lebih merupakan hasil konstruksi sosial. Masyarakatlah yang menciptakannya.
Tren kecantikan—sama seperti halnya mode remaja—berpotensi memicu para remaja maupun perempuan dewasa ke arah rasa kurang pede dan perilaku konsumtif. Di mana-mana iklan produk kecantikan menyergap kita. Citra perempuan sekarang mungkin tak jauh dari apa yang kerap muncul di Barat: tubuh langsing, rambut panjang dan lurus, wajah putih mulus, dan bola mata yang indah berkat lensa kontak berwarna ungu atau hijau.
Padahal kalau kita telusuri lebih jauh, definisi cantik sebenarnya terus-menerus berubah. Di Eropa pada abad pertengahan kecantikan perempuan berkait erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi.
Pada awal abad ke-19 kecantikan didefinisikan dengan wajah dan bahu yang bundar serta tubuh montok. Sementara itu, memasuki abad ke-20 kecantikan identik dengan perempuan dengan bokong dan paha besar. Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, terutama ketika ia telah menikah, sebab kemontokannya menjadi lambang kemakmuran hidupnya. Tahun 1965 model Inggris, Twiggy, yang kurus kerempeng menghentak dunia dengan tubuhnya yang tipis dan ringkih. Ia lalu digandrungi hampir seluruh perempuan seantero jagat dan menjadi icon bagi representasi perempuan modern saat itu.
Menurut feminis Naomi Wolf (1993), apa yang dilakukan dunia mode lewat Twiggy saat itu merupakan upaya dekonstruksi citra montok dan sintal sebelumnya. Twiggy yang kerempeng adalah representasi gerakan pembebasan perempuan dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif.
Karena itu, definisi cantik dan mitos bagi perempuan memang berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, seperti yang dikatakan Richard Dunphy—dosen politik seksual di Inggris—pada kenyataannya kita telah terpera
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
6
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
Terkini
Lihat Semua