Pustaka Intelegensia Muslim dan Kuasa

Formasi Intelegensia Muslim Indonesia

Jumat, 22 September 2006 | 11:16 WIB

Penulis : Yudi Latif , Pengantar : James J. Fox , Cetakan : 1, September 2005, Tebal : xx + 740 halaman [termasuk indeks], Peresensi : Muhammadun AS*
 
Dari sela-sela krisis akut dalam "galaksi politik" Indonesia pada senja kala abad yang lalu, sinar "bulan sabit" baru mulai terbit di ufuk langit Jakarta: mumculnya intelegensia Muslim sebagai elite politik dan birokrasi yang sangat menanjak. Sejak tahun 1960-an telah berlangsung proses demoralisasi yang melanda politisi Muslim, sehingga berbagai figur intelegensia Muslim secara mengejutkan memainkan peran sentral dalam waana sosial-poltik Indonesia. Hampir bersamaan, banyak anggota lainnya dari intelegensia Muslim yag berhasil menduduki eselon-eselon atas dalam birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan itu, saat posisi politik dan birokrasi dari intelegensia Muslim meningkat, sebagian besar dari pemimpin senior Islam menjadi kurang terobsesi dengan klaim-kaim Islam. Mereka tak lagi terlalu terobsesi dengan agenda pencantuman kembali "Piagam Jakarta" dalam konstitusi negara.

Konfigurasi intelegensia Muslim i<>nilah yang yang dibedah seara mendalam oleh sosiolog muda energik Indonesia, Yudi Latif, dalam buku terbarunya yang monumental ini. Buku yang awalnyaini adalah disertasi bidang sosiologi politik dan komunikasi dari Australian Nasional University [2004] merupakan kajian mendalam yang meneropong kontinuitas perkembangan historis intelegensia Muslim pada abad ke-20. Sepanjang abad ke-20, institusi, tradisi, dan identitas kolektif intelektual yang terstruktur secara historis dan diwarisi oleh generasi-generasi integensia sebelumnya menjadi pijakan bagi upaya reproduksi dan reformulais institusi, tradisi,d an identitas tersebut kepada generasi berikutnya. Karena adanya kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan pemikiran dan waana intelektual muslim antara generasi, maka sesungguhnya tak ada originalitas dalam ide-ide dari generasi ke generasi tertentu.

Geneologi intelegensia Muslim Indonesia berakar pada munculnya prototipe ulama-intelek dan intelek-ulama’. Syaikh Ahmad Khatib bisa disebut sebagai prototipe dari ulama-intelek ["clerical-intelegentsia"] Indonesia. Sementara Agus salim adalah prototipe intelektual-ulama’ Indonesia. Selain terpelajar dalam saintifik modern, dia juga fasih dalam pengetahuan agama, dimana Syaikh Ahmad Khatib yang nota bene adalah pamannya sendiri adalah guru utama dalam hal agama bagi Agus Salim. Khatib mempunyai pengaruh besar terhadap gerakan intelektuyal Islam leat murid-muridnya. Beberapa muridnya ada yang menjadi pemimpin gerakan Muslim reformis-modernis seperti Abdullah ahmad, Abdul karim Amrullah [Haji Rasul], dan Achmad Dahlan [pendiri Muhammadiyah], sementara yang lain ada yang menjadi pemimpin gerakan tradisionalis Islam seperti syaikh Sulaiman al-Rasuli [Sumatra Barat] dan Hasyim Asy’ari Jombang [pendiri Nahdlatul Ulama].Generasi ulama’-intelek kaum modernis memelopori pendirian madrasah, organisasi-organisasi Islam modern penerbitan, instituysi modern lainnya. Contoh gerakan ini adalah Muhammadiyah di Jawa dan Sumatra Thawalib di Sumatra Barat. Sementara kaum tradisonalis ulama-intelektual mendirikan madrasah di pesantren Tebu Ireng Jawa Timur dibawah kepemimpinan Kiai Ma’shum [ahli astronomi] dan Muhammad Ilyas. Kemudian secara organisatoris, kaum tradisonalis mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Sementara Agus Salim dan para anggota lain dari generasi pertama, seperti Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan Surjopranoto, memelopori berkembangnya gerakan politik Islam modern lewat peranan utama mereka dalam kepemimpinan Sarekat Islam [SI] dan partai-partai politik Islam lainnya.

Generasi pertama intelegensia Muslim tersebut telah meletakkan fondasi pokok, baik fondasi keilmuan maupun fondasi sosial kemasyarakatan terhadap generasi berikutnya. Sehingga pasca generasi pertama ini, intelegensia Muslim hanya mengembangkan dan melestraikan tradisi keilmuan yang telah diwariskan serta mewarisi organisasi yang telah menjadi kendaraan bagi generasi pertama. Generasi kedua intelegensia Muslim ulama-intelek [baik dari reformis-modernis maupun tadisonalis] memainkan peranan penting dalam pendirian dan kepemimpinan STI, Partai Masyumi, dan partai NU. Institusi-institusi ini lantas menjadi lahan persemaian utama bagi pembentukan generasi ketiga intelegensia Muslim reformis-modernis yakni memlopori perhimpunan-perhimpunan pelajar pasca-kolonial, seperti GPII, HMI, dan PII.. Para intelegensia Muslim ketiga antara lain Anwar harjono, Lafran Pane, Jusdi Ghazali, Mukti Ali, Delia Noer, Ahmad Tirtosudiro, maisaroh Hilal, dan Zakiyah Darajat. Sementara generasi kedua kaum tradisionalis yang dipelopori Wahid Hasyim dan Fauthurrahman Kafrawi telah memainkan peranan penting dalam formasi intelegensia Muslim generasi ketiga yang di komandoni oleh Subhan ZE dalam organisasi Persatuan Sarjana Muslim [Persami].

HMI dan PII bersama dengan Partai Masyumi dan NU menjadi katalis utama bagi keterkaia intelektual antara generasi ketiga dan generasi keempat, terlebih dengan berdirinya IAIN yang tel