Pustaka Budi Susanto, SJ.

Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Buku ini diterbitkan sebagai bahan renungan dan berkaca tentang identitas bangsa Indonesia yang hingga saat ini tidak jelas karakternya. Berbagai identitas coba dicari, diresapi, dan dirajut untuk sebuah identitas bangsa besar ini. Hal atau peristiwa masa lalu yang coba ditafsirkan orang masa kini –dalam ingatan dan kenangan-sesungguhnya menyimpan kekuatan kearifan dan harapan –dalam identitas terbayang orang yang bersangkutan. Tentunya, seperti buku ini yang berisi upaya mengingat, dapat berguna untuk perjalanan hidup di masa selanjutnya.

Apa yang diingat oleh orang atau komunitas rakyat kecil yang diteliti dan dipaparkan oleh para penulis dalam buku ini sebagai hasrat budaya mereka untuk dapat akrab dan kreatif menyiasati praktek hidup sehari-hari. Sebuah hasrat budaya yang mudah dinilai dan dicemooh sebagai sekadar suatu aksi picisan oleh para perekayasa budaya, pemilik modal, dan pencipta pengetahuan yang kebetulan sedang berkuasa.

Tentang identitas musik campursari (musik campuran budaya Jawa dan Barat) dijelas<>kan, merupakan “kolaborasi” sistem ekonomi pasar dengan ideologi kapitalismenya sehingga menerbitkan beraneka produk budaya (cultural product) baru yang bersifat hibrid. Menurut John Fiske dalam Understanding Popular Culture (1996), dalam proses seperti itu akan terjadi apa yang disebut “excoporation”, yakni suatu proses di mana kelompok subordinat menciptakan kebudayaannya sendiri di luar sumber-sumber  dan komoditi yang disediakan oleh sistem dominan. Tidak ada kebudayaan rakyat ‘asli’ yang menyediakan alternatif, sehingga mereka menciptakan menjadi seni atas apa yang tersedia.

Campursari salah satu kebudayaan pupuler di Jawa masa kini lahir dari persilangan sisa-sisa tradisi lama, sistem ekonomi pasar komersial kapitalistik, serta ambisi-ambisi mobilitas sosial kelas menengah baru dalam struktur sosial kontemporer. Unsur-unsur tradisi Jawa lama yang sakral dan diagungkan dibungkus dalam kemasan-kemasan instan dan cita rasa baru untuk memperoleh keuntungan ekonomis serta simbol-simbol derajat sosial tinggi, yang melibatkan pertentangan dan intrikasi ideologi rumit, tidak konsisten dan terpotong-potong (hlm. 220-221).

Masa lampau (kolonial) Indonesia memperkenalkan modernisme dan industrialisasi (asal kata industrious dalam bahasa Inggris berati rain, berlebihan) yang pada awalnya lebih mempromosikan produktivitas individual. Manusia diperlakukan sebagai suatu unit produksi. Setelah perang Dunia II, sekaligus kemerdekaan Indonesia, politik ekonomi dunia lebih memusatkan perhatian bahwa manusia adalah sebuah unit konsumtif yang justru mampu mengasingkan aksi-aksi solidaritas dan demokratisasi. Globalisasi politik ekonomi modern mengingatkan bahwa konsumsi berkait erat dengan suatu pilihan politik dan bukan seperti dikira yaitu dari hasrat, birahi atau nafsu individual yang terisolir.

Para peneliti dan penulis buku ini berusaha mencermati bahwa sepanjang sejarah, orang-orang rakyat kecil di Indonesia tetap saja (potensial) sebagai konsumen massa(l) rakyat yang bukan biasa-biasa saja. Mereka tetap optimis, di tengah dunia modern dan global yang penuh dengan persaingan identitas, fragmentasi kebudayaan dan pluralisme dalam mengalami saat dan tempat kehidupan, para penulis buku menangkap bahwa peluang untuk menuju ke keadilan dan kemanusiaan yang lebih baik bukan berada pada perubahan tentang apanya, tetapi pada bagaimana orang-orang mempercayainya.

Hasrat budaya rakyat kecil yang lebih berwujud daya-daya kreatif dan mungkin juga berwujud aksi-aksi berdasar pertimbangan moral dan spiritual yang terus bernyala dalam diri (identitas) masyarakat. Bukankah identitas dan aksi kehidupan seperti itu adalah juga suatu 'kemewahan' dari sebuah kehidupan dari hari ke hari yang nyaris tanpa kuasa untuk memprogramkannya. Para penulis buku ini, setidaknya, mengungkap dan menyuarakan adanya kuasa hasrat budaya rakyat kecil, yang akan terdengar gempar di 'telinga' mereka yang sekedar punya hasrat kuasa.

Berkaitan dengan konteks itu, melalui buku berbasis penelitian lapangan ini kita diajak mengenali kebudayaan lokal dan pemahaman masyarakat setempat tentang dirinya dan bangsa Indonesia yang hingga kini masih terus dicari. Melalui kasus-kasus di level paling bawah, Lembaga Studi Realino (Yogyakarta) mencoba menjembatani bagaimana Indonesia harus mengidentifikasi diri secara tegas. Sebab meskipun Indonesia secara fisik telah ada sejak 59 tahun silam, nyatanya hingga kini masih sukar menjelaskan mana-siapa-bagaimana-mengapa budaya Indonesia.

Buku ini berisi tiga bagian inti yang merangkai tujuh esai yang berisi beda kupasan dan sudut pandang namun dalam satu rangkaian mencari identitas itu. Bagian pertama bertema Membangun Identitas (Indonesia) Modern ditulis Bedjo Riyanto (hlm. 19) dan Abdul Wahid (hlm. 65). Bagian kedua Hibriditas (Orde) Baru ditulis oleh F Alkap Pasti, Haliadi Sadi, Budi Setiyono dan bagian ketiga Modernitas dan Ironi Identitas Massa(l) Rakyat ditulis Nerfita Primadewi dan Anton Haryono.*