Pustaka Dr. Alwi Shihab , Pengantar: K.H. Abdurrahman Wahid

Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Jejak Sosiologis "Jalan Kebenaran" dan Pengaruhnya

Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya.

Sebagai agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya adalah m<>istik, dikenal tasawuf atau sufisme. Tasawuf ini mempunyai jalan sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf ini dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Melihat perjalanan sejarah tasawuf dalam buku Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia ini menarik ditindaklanjuti sebagai upaya melacak jejak-jejak pengaruhnya di Indonesia. Lebih jauh, mempelajari sejarah perjalanan tasawuf paling tidak sama nilainya, atau bahkan mungkin lebih, jika dibandingkan dengan mempelajari aspek-aspek Islam lainnya.

Menurut Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut (hlm. 36).

Menurut Ahmad Syafii Mufid dalam artikel Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah (jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29) sufisme atau tarekat dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam Pertama” yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana tercatat dalam babad, adalah Islam dalam corak sufi. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan.

Oleh tasawuf, idiom-idiom budaya lama (animis, Hindu, Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (world view) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati. Wadah-wadah lama yang dipakai, isinya diganti. Peninggalan kejeniusan masa silam masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi doanya bukan untuk para “dewa-dewa” namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, dan sesajinya –biasanya berupa makanan—dimakan bersama-sama setelah memanjat doa.
***
Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan dalam Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (1998) mengemukakan gerakan tarekat (tasawuf) Sadzaliyah di Kudus mampu mendorong dinamika perekonomian di wilayahnya. Sehingga dalam kelompok tarekat ini terdapat jaringan ekonomi yang kuat dan sulit ditembus oleh jaringan lain hingga mampu mengangkat taraf hidup ekonomi penganutnya. Katanya, hampir semua pengikut tarekat ini memanfaatkan waktu siang untuk melakukan kegiatan ekonomi, sementara waktu malam dimanfaatkan untuk nglakoni (menjalani) kegiatan tarekat.

Alwi Shihab dalam buku ini mencoba menjelaskan sejarah pengaruh tasawuf (gerakan tarekat) dan peranannya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia modern. Studi ini bermuara pada upaya untuk lebih memperjelas dan mempertajam secara tuntas masalah-masalah yang kurang mendapat perhatian selama ini. Oleh Alwi Shihab tasawuf di sini disebut Islam Sufistik.

Pergumulan antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, sebagaimana disinggung KH Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar, menjadi topik yang menarik dikaji lebih lanjut karena penulis mengemukakan secara vulgar. Ia mengemukakan bahwa tasawuf Sunni banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al Ghazali (hlm. xxiii) melalui tokoh Iman Al Qusyairi (w. 465 H) yang berperan melapangkan jalan bagi Al Ghazali untuk memenangkan tasawuf Sunni di Dunia Islam (hlm. 35).

Dalam konteks ini, tasawuf yang berkembang di Indonesia oleh Alwi dipetakan dalam dua tipologi, yaitu falsafi dan Sunni. Alwi menjelaskan, falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme phanteistik Ibnu Arabi. Sedangkan Sunni dihubungkan dengan model Al-Ghazali. Ibnu Arabi dikenal ahli mistik Islam yang mengajarkan "kesatuan hamba dan Tuhan" (hlm. 32).

Kedua tradisi tasawuf itu sama-sama memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam di Nusantara. Tasawuf falsafi pernah memperoleh masa kejayaannya di Aceh pada masa Syekh H