Pustaka Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup

Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur’an

Kamis, 9 November 2006 | 04:30 WIB

Penulis: Dr. Ahzami Samiun Jazuli,  Cetakan : I, September 2006, Tebal : xiv; 590 Halaman, Peresensi: Andi Ujiawan*
 
Seperti telah kita ketahui, bahwa manusia ada tidaklah demi perbuatannya, melainkan ada demi demi tujuan terakhirnya. Dalam artian, seseorang tidak bisa berbuat bila tidak terdapat tujuan dalam hidupnya. Sebab, setiap perbuatan dipilih sebagai jalan menuju tujuannya. Oleh karena itu, manusia haruslah mempunyai tujuan akhir dalam hidupnya sebelum ia memulai perbuatannya. Tujuan akhir tersebut akan menggerakan seluruh proses dan mendiktekan atas semua perbuatan yang dipakai sebagai jalan untuk pemenuhannya. Oleh karena itu, manusia bisa dikatakan bermoral baik apabila hidupnya dijuruskan ke arah tujuan akhirnya.

Selanjutnya, perbuatan-perbuatan tersebut dika<>takan moral baik karena membawa manusia kearah tujuan akhir. Dan tujuan akhir itu adalah selalu yang baik dan tertinggi, tidak peduli apakah sesungguhnya manusia mencarinya atau tidak. Demikianlah satu gambaran kehidupan dalam al-Qur’an. Dan Allah sedikitpun tidak akan menghilangkan balasan kepada orang yang melakukan amal kebaikan.

Buku dengan judul “Kehidupan Dalam Pandangan al-Qur’an” yang ditulis oleh Dr. Ahzami Samiun Jazuli ini adalah buku yang menguraikan tentang berbagai makna hidup dalam al-Qur’an. Dengan pembahasannya yang lugas serta mendalam, buku ini menjelaskan bahwa hendaknya manusia mempunyai tujuan akhir dalam kehidupannya. Baik itu secara personal maupun secara kolektif, secara kesukuan, maupun secara menyeluruh, dan juga dalam semua aspek kehidupan manusia disemua peranan dan massanya. Sebab, dari tujuan hidupnyalah yang kemudian terimplementasi melalui tugas-tugas yang harus dilaksanakannya (hal 579).

Bagi seseorang yang mampu secara optimal dalam merealisasikan tujuan hidupnya, maka sesungguhnya ia telah merealisasikan tujuan hidup dan menunjukan eksistensinya dalam hidup. Begitu juga sebaliknya, mereka yang lalai dalam tugasnya maka ia telah menghilangkan tujuan hidup dan eksistensinya dalam kehidupan. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki tujuan hidup adalah mereka yang tidak memiliki tugas. Hidupnya akan terasa hampa serta tidak memiliki makna.

Sebagai pedoman hidup bagi manusia yang mengimaninya, al-Qur’an menyerukan bahwa hendaknya manusia untuk selalu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, mendayagunakan sarana yang ada dan mengerahkan seluruh kemampuan guna dapat mengemban amanat tertinggi di muka bumi ini, yakni amanat kekhalifahan serta kepemimpinan. Amanat kekhalifahan serta kepemimpinan yang dimaksud disini bukanlah sekedar menguasai dan menetapkan hukum, namun juga memiliki kemampuan untuk membangun dan memakmurkan, bukan merusak dan menghancurkan. Juga kemampuan untuk dapat merealisasikan keadilan dan ketenangan, bukan malah mendzalimi serta membuat kekacauan. Serta kemampuan untuk memuliakan manusia, bukan untuk meremehkan atau menjerumuskannya pada status kebinatangan.

Namun demikian, dalam realitas keseharian, tampaknya manusia sudah semakin berani dalam berbuat dengan menggunakan segala macam cara, untuk mencapai tujuannya. Sehingga nilai ajaran yang termaktub di dalam al-Qur’an semakin tercerabut dari batin manusia. Betapa banyak krisis moral yang melanda umat dewasa ini. Maraknya korupsi, kolusi, manipulasi, perkosaan, penggusuran, bahkan pembunuhan antar sesama manusia, adalah merupakan nestapa kelam dalam perdaban. Isi al-Quran yang sangat luhur dan diyakini sebagai firman Allah, yang memaklumkan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, agar manusia senantiasa terkontrol dalam tingkah laku yang baik, saling mengasihi dan mencintai, jika dihubungkan dengan realitas saat ini, sungguh sangat kontras.

Jahiliyah baru seolah kembali hadir ditengah peradaban yang diagung-agungkan ini. Hukum rimba yang menganut prinsip homo homoni lupus, sepertinya telah menjadi kekuatan baru. Modernisasi dan materialisme yang sering membuat kesenjangan sosial, ditambah dengan semakin maraknya ketidak jujuran dan ketidak adilan, semakin memperjelas kesenjangan sosial tersebut.

Di sinilah kemudian yang menjadi letak kegerian keadaan manusia. Mereka terkadang cenderung lebih melakukan hal yang dapat merendahkan diri mereka sendiri dan juga kepada sesama, serta suka memecah belah. Oleh karena itu, terlebih agar kita tidak terus melakukan perbuatan yang tercela sebagaimana tersebut diatas, tentunya sudah saatnya bagi kita untuk kembali merenung dari hakikat diciptakannya manusia yang oleh Tuhan diberikan berbagai macam kelebihan untuk menjadi khalifah dan pemimpin di muka bumi ini, yang peranan utamanya adalah untuk mengembangkan dan memakmurkannya.

Maka tidak ada kata lain bagi umat Islam untuk merujuk kepada kitab suci al-Qur’an dengan menjadikann