Pustaka Ziauddin Sardar

Kembali Ke Masa Depan

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

MENJEMPUT PERADABAN DI MASA DEPAN

 

Penerbit : Cetakan : 1, Februari <>2005
Tebal  : 294 halaman


Peresensi : Jamal Ma’mur Asmani*

Ditengah kehidupan multikompleks sekarang ini, umat Islam masih berada dalam dilema eksistensial. Di satu sisi, mereka masih disibukkan dengan beragam konflik internal yang menjerumuskan mereka pada keterbelakangan pada semua lini kehidupan. Di sisi lain, mereka memimpikan kembali jaman ideal sebagaimana yang telah dirasakan para pendahulunya ketika memimpin peradaban dunia. Dilema eksistensial ini telah membawa umat Islam dalam ketidakjelasan prospeknya di masa depan, dimana mereka hanya disibukkan dengan beragam problem internal, sementara tantangan kehidupan yang substantif [menuju masa depan] tidak terpikirkan. Akhirnya, umat Islam dewasa ini terpuruk dalam semua lini kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, dan yang sangat krusial, krisis transformasi pemikiran, sehingga dalam pergumulan tantangan global mereka berada dalam eksistensi yang diskriminatif, sub-ordinatif, dan inferior. Dalam konteks ini, bayang-bayang jaman keeamasan hanyalah fatamorgana yang tak kunjung terealisasikan, karena untuk merealisasikannya ditutupi oleh absurdnya dilema eksistensial.

Krisis eksistensial inilah yang ingin dibangun kembali Ziauddin Sardar melalui bukunya "Kembali Ke Masa Depan". Kebutuhan mendesak umat Islam pada jaman modern, bagi Sardar, adalah melakukan ijtihad dan me-rethinking Islam untuk menyegarkan kembali rumusan-rumusan konseptual ulama' klasik ditengah kompleksitas problem kekinian. Dalam upaya me-rethinking Islam ini, umat Islam berada dalam krisis paradigmatik-epistimologik. Paradigma-epistemologik yang terbangun dalam dunia Islam selama banyak 'menyingkirkan' tradisi keilmuannya sendiri, hanya karena ekspansifnya tradisi modern yang terhembus dari Barat. Dalam hal pemikiran misalnya, umat Islam tidak mampu menggali watak kritiisme yang telah dirumuskan para pemikir Muslim terdahulu. Justru mereka banyak mengagungkan konsepsi dan epistemologi dari luar Islam. Mereka banyak mengagungkan konsep Marxisme, liberalisme, strukturalisme, dekontruksisme, sementara berfikir kritisnya Ibnu Rusd, Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khuldun, hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Dalam hal politik, umat Islam hanya disibukkan dengan perbedaan mendirikan khilafah islamiyah, padahal hal prinsipil berpolitik [yani menuju kemaslahatan manusia] diabaikan begitu saja. Kalau kita cermati, perbedaan mendirikan khilafah islamiyah selama ini hanya dijadikan alat legitimasi dalam merengkuh kekuasaan.

Dalam membangun paradigma epistimologi ini, bagi Sardar, harus kembali kepada autetisitasnya. Dengan konsep autentisitas, yakni dengan memahami sumber Islam yang utama [Al-Quran dan Sunnah] secara mendalam dan kreatif serta mendialogkannya dengan dunia kontemporer, umat Islam mampu bangkit dan meretas kembali jalan masa depan yang lebih menjanjikan. Autentisitas yang dimaksud disini, sebagaimana yang dikatakan Arkoun, bukanlah sebentuk negativisation atau penolakan negatif terhadap konsep-konsep asing dari luar tradisi Islam. Autentisitas justru menyuarakan keterbukaan umat Islam dan kepekaannya untuk berdialog dengan entitas-entitas lain yang berbeda, tetapi dengan tetap berangkat dari nilai-nilai Islam yang substantif. Menjadi autentik berarti mengambil inisiatif dan secara aktif melibatkan diri dalam perubahan dengan bertolak dari nilai-nilai dan kesadaran yang dihayati bersama [hal.9].

Dalam memantapkan autentisitas, bagi Sardar, konsep Ijtihad dalam Islam merupakan konsep yang sangat urgen untuk di interpretasikan ulang. Ijtihad merupakan pengerahan segala daya upaya untuk memecahkan persoalan syariat semaksimal mungkin. Ungkapan "segala daya upaya" dalam interpretasi Sardar, mencakup penalaran secara kompleks. Kompleksitas Ijtihad inilah sebenarnya yang menjadi watak autentik progresif Islam. Maka, pemaknaan Ijtihad secara progresif di masa depan, merupakan keniscayaan bagi umat Islam. Terlebih lagi dalam meru