Pustaka

‘Kitab Suci’ Gerakan Nasional Revolusi Mental

Senin, 15 Januari 2018 | 08:01 WIB

Tanggal 10 Januari, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus lewat akun twitter pribadinya @gusmusgusmu mencuit: “Revolusi Mental, menurutku, mesti dimulai dari 'mental para pemimpin.” Twit ini diretwit 4480 followers-nya, dan disukai 6729 nettien di twitter land. Gus Mus seperti ingin ‘mengingatkan kembali’ soal pentingnya Revolusi Mental ini. Sampai sejauh mana diejawantahkan oleh Bangsa Indonesia, terutama para pejabat publik di republik ini. 

Istilah “revolusi mental”seolah bangkit kembali setelah sekian lama terkubur,“mati suri”, dan tidak pernah diperdengarkan kembali. Istilah “revolusi mental” kembali bergema dan mendapat momentum barunya, yaitu saat dimulainya pemerintahan baru Joko Widodo pada awal tahun 2014.

Dalam sebuah pidatonya, ia kembali menggelorakan semangat revolusi mental sebagai bagian agenda penting pemerintahannya. Semua seolah tergagap,berusaha ingat kembali dalam kilas sejarah,bahwa dua kata sakti ini telah lama ada dan berkali-kali tanpa lelah dikumandangkan oleh bapak bangsa “Sukarno,” sang penyambung lidah rakyat Indonesia.
Berbagai ikhtiar dilakukan oleh anak bangsa saat ini untuk membahas dan memahami kembali arti kontekstual dan esensi “revolusi mental. Termasuk menjawab pertanyaan mengapa, bagaimana  dan relevansi “revolusi mental” dan konteks kekiniannya. Perubahan mentalitas yang pernah dikumandangkan Bung Karno penting dimunculkan, terus digali termasuk dihubungkan relevansinya dengan konteks kekinian dalam segala matra, baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 

Sebagai contoh, ada satu pesan Bung Karno yang ‘mak jleb’ dan sangat kontekstual untuk para pihak/ partai yang akan berkompetisi di Pemilukada di tahun politik ini, yakni di bab 2, Total Untuk Negeri, Bukan Partai.

"Demokrasi adalah alat. Alat untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna. Pemilu adalah alat yang menyempurnakan demokrasi itu. Pemilu adalah dus sekadar alat untuk menyempurnakan alat. Kalau hantu kebencian dan hantu panas-panasan lahir dan merajalela karena pemilihan umum itu, kalau keutuhan bangsa berantakan karena Pemilu itu, kalau tenaga bangsa remuk redam karena Pemilu itu, maka benarlah apa yang kukatakan tempo hari, bahwa di sini “alat lebih jahat daripada penyakit yang hendak disembuhkannya.” 

Masih ada di antara anak bangsa hingga kini belum memahami, bahkan salah mengartikan revolusi mental yang dikumandangkan Bung Karno. Beberapa pandangan bahkan menyebut revolusi mental atau “Gerakan Hidup Baru” sebagai jiplakan dari New Life Movement yang berasal dari negeri luar. Revolusi mental dituduh sebagai komunisme, seperti hasil pemikiran Karl Marx dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte tahun 1869. 

Tuduhan-tuduhan tersebut jauh-jauh hari telah dibantah keras oleh Sukarno. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1957, Bung Karno menyerang balik pandangan tersebut. “Alangkah piciknya ucapan demikian itu. Alangkah piciknya pula ucapan bahwa Gerakan Hidup Baru itu adalah inspirasi dari RRT,” kata Bung Karno. 

Revolusi mental dalam konteks historis jelas tidak dapat dipisahkan dengan sang konseptornya, Bung Karno. Ia pada tahun 1950-an ia telah melihat berbagai bibit penyakit mentalitas yang mengerogoti mentalitiet anak bangsa, baik di masyarakat dan pemerintahan yang dianggapnya kontra revolusi. Untuk itu, ia kemudian memunculkan sebuah gagasan perubahan mentalitas, sebuah gaya hidup baruuntuk mengatasi kemandegan dari sebuah revolusi yang menurutnya belum selesai. 

Bung Karno memimpikan bangsanya bersemangat elang perkasa, ia mencita-citakan rakyatnya menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, berjiwa api yang menyala-nyala. Sang Putera Fajar seolah-olah juga tidak pernah mengenal lelah untuk membangunkan, menyadarkan kembali, menggembleng manusia Indonesia agar bangun, tegak berdiri, tegap melangkah mewujudkan Indonesia jaya, yang salah satunya dengan menggelorakan suatu perubahan besar mentalitas, sebuah Gerakan Hidup Baru yang disebutnya sebagai “Revolusi Mental.”
 
Revolusi mental pada hakikatnya adalah sebuah ajakan perubahan, perbaikan menuju kebaikan dan meninggalkan segala penyakit mentalitas yang mengerogoti mentalitiet anak bangsa, baik di masyarakat maupun kalangan  pemerintahan. Revolusi mental menurut Bung Karno menghendaki manusia Indonesia untuk meninggalkan kemalasan, korupsi, individualisme, ego-sentrisme, ketamakan, keliaran, kekoboian, kemesuman, keinlanderan dan menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, menjadi Manusia Pembina.
 
Jauh sebelum menggelorakan revolusi mental, Bung Karno telah melakukan revolusi mental untuk dirinya sendiri. Ia telah menggembleng jiwa dan raganya terlebih dahulu untuk menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, pemimpin bagi rakyatnya, nasionalis unggul, dan penyambung lidah rakyat Indonesia. Kemudian, ia berupaya keras membangun dan menggembleng mentalitas bangsanya agar menjadi manusia paripurna, sebaliknya tidak menjadi bangsa kuli atau menjadi kuli bangsa-bangsa lain “een natie van koelies, en een koelie onder de naties.”
 
Revolusi mental harus dilakukan. Bahkan, Sukarno telah meramalkan munculnya masalah maha besar jika rakyat Indonesia tidak segera menyelenggarakannya. Bung Karno menyebut dan bahkan mewanti-wanti, bahwa bangsa Indonesia dapat menjadi“bangsa kuli” diantara bangsa-bangsa dunia lain, menjadi bangsa yang kembali mengalami eksploitasi, bahkan saling menindas antar sesame anak bangsanya jika tidak menyegerakan perubahan mentalitas yang disebutnya “revolusi mental.”

Dalam pidatonya tahun 1957, Bung Karno secara jelas dan gamblang  telah mewanti-wanti bangsanya agar segera bergegas melakukan revolusi mental. Dan diberbagai pidatonya, Bung Karno juga telah mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan sudi menjadi bangsa kuli atau menjadi kuli bangsa-bangsa lain “a nation of coolies and a collies amongst nations.”

Bung Karno juga berkata, “Dan sejarah akan menulis: Di sana, antara benua Asia dan Benua Australia, antara benua Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa, yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, - kembali menjadi “een natie van koelies, en een koelie onder de naties.” 

Bung Karno menyebut revolusi mental sebagai prasyarat utama dalam membentuk national building. Pembentukan national building gagal jika tanpa revolusi mental, atau sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. “National building membutuhkan bantuan Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah!" kata Sukarno. 

Karakter bangsa harus dipupuk agar rakyat tidak bermalas-malasan, meninggalkan egoisme, membuang rasa tamak, menghindari kemewah-mewahan, membuang jauh-jauh sifat ke inlanderan. Dengan membuang jauh-jauh karakter negatif tersebut, Sukarno yakin rakyat dapat menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya. 

Revolusi Mental tentu saja tidak akan selesai dalam hitungan jam, hari, bulan atau tahun. Namun sebagai proses berkelanjutan, dibutuhkan sebuah komitmen bersama dan harus dilakukan serentak oleh seluruh anak bangsa, terutama bagi para pemimpin-pemimpinnya. Revolusi mental harus didorong oleh bangsa Indonesia sendiri dan bukan karena dorongan pihak luar. 

Mengutip kalimat Sukarno, “Membaharui mentalitet satu bangsa bukan seperti orang ganti baju.” Gerakan hidup baru dalam revolusi mental tidak hanya suatu kebiasaan yang sekedar hanya tidak meludah di sembarang tempat, tidak membuang puntung rokok di sembarang tempat, namun gerakan yang menggembleng manusia Indonesia yang baru yang berhati nurani, bermental baja, bersemangat dan berjiwa api yang menyala-nyala. 

Buku ini membedah “revolusi mental” dalam bahasa sederhana, memotret perkataan, ucapan, tindakan, karakter, dan kehidupan keseharian Bung Karno, sang Putra Fajar. Tentu saja, buku ini tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan, mendewa-dewakan dan menggambarkan Sukarno seolah-olah sebagai manusia paling sempurna. 

Karena Bung Karno adalah manusia biasa yang multidimensi, tidak luput dari salah dan khilaf. Hal inipun secara terang benderang ia sebutkan. “Saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan,” kata Sukarno. Dan tidak ada salahnya jika kita dapat dapat mengali nilai-nilai luhur masa lalu dari ajaran “revolusi mental”. Nilai tersebut dapat menjadi pembelajaran saat ini dan bagi generasi mendatang. 

Seperti yang juga pernah diharapkan oleh Sukarno, “Harapan saya ialah, hendaknya riwayat hidup dan perjuangan saya itu dapat diambil sebanyak mungkin pelajaran serta dapat menjadi suri tauladan segi-segi positifnya, dan buanglah segi-segi negatifnya, karena saya adalah manusia biasa.”

Namun, ia berharap dari riwayat hidup dan perjuangannya  dapat diambil sebanyak mungkin pelajaran yang dapat menjadi suri tauladan, namun sebalinya membuang segi yang negatifnya. Buku ini adalah ikhtiar untuk memahami arti “revolusi mental” dalam konteks sisi-sisi kemanusiaan “humanisme” Sukarno dan sosial-historisnya.

Identitas buku:

Judul: Bung Karno dan Revolusi Mental
Penulis: Sigit Aris Prasetyo
Format: 14 X 21 cm
ISBN: 978-602-7926-37-0
Tebal: 378 halaman
Terbit: November 2017
Peresensi: Faried Wijdan, buruh di sebuah pabrik aksara.