Pustaka Abdul Gaffar Karim, et al.

Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Catatan Kritis Atas Pelaksanaan Otonomi Daerah

“Pengalaman adalah guru yang paling baik”, demikian pitutur orang-orang bijak. Dan sungguh negara dan bangsa ini punya guru amat baik: segudang pengalaman melakukan eksperimen dalam proses menuju konsolidasi negara-bangsa modern.

Hanya dalam masa tak sampai enampuluh tahun, kita telah mengalami hampir semua pengalaman dan tahapan yang dibutuhkan oleh sebuah negara-bangsa yang su<>dah mapan. Perang saudara, separatisme, kudeta baik yang berhasil maupun yang tidak, invasi, otoritarianisme, teror baik oleh negara maupun oleh masyarakat, transisi menuju demokrasi-sebut saja semua. Tak ada satu pun  yang kita lewatkan.

Serupa dengan semuanya itu, ternyata kita juga amat kaya dengan pengalaman susah-payahnya penataan hubungan pusat dan daerah. Dan persoalan inilah yang dihadapi oleh hampir semua rezim yang pernah berkuasa di Indonersia. Mulai zaman Kolonial Belanda hingga saat ini.

Di Era Reformasi, upaya mencari format ideal dalam kerangka hubungan puasat-daerah menemukan momentumnya dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Namun, kelahiran UU yang terkesan sangat mendadak waktu itu-ditambah dengan unsur politis dimana penguasa saat itu ingin merebut hati masyarakat, ternyata dalam perjalanannya melahirkan segudang persoalan yang kompleks. Ibarat sebuah kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi, rem diinjak begitu mendadak. Akibatnya kita semua menjadi terengah-engah.

Negara yang semula berjalan di atas lini sentralisme dan uniformisme dengan kecepatan sangat tinggi, tiba-tiba harus mengurangi kecepatannya secara mendadak. Sehingga di sinilah desentralisasi politik telah membalik seluruh arah logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi kekuasaan pusat secara sangat signifikan.

Konsekuensi dari kondisi semacam ini adalah lahirnya kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum yang sangat luas dalam kerangka hubungan pusat-daerah di Indonesia. Berbagai persoalan yang muncul tersebut di antaranya, pertama, di locus manakah seharusnya kekuasaan berada: di pusat atau di daerah? Pertanyaan mendasar semacam ini dapat mengantar kita pada pemahaman tentang format ketatanegaraan seperti apa yang ideal bagi Indonesia. Apakah sistem federal atau tetap bertahan dengan sistem unitarian.

Kedua, kompleksitas persoalan otonomi daerah yang terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Dalam hal ini, pada tingkatan daerah biasanya masih terdapat persoalan dalam hal akuntabilitas dan responsibilitas dalam pengelolaan keuangan.

Di sini, Otonomi Daerah dan desentralisasi malah kerap kali disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya locus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Hal ini diperparah dengan adanya fenomena “membeli uang” oleh pejabat daerah: mengalokasikan sejumlah dana untuk melobi pusat agar uang untuk daerah bisa lebih banyak, dengan memanipulasi data kondisi daerah.

Ketiga, terjadinya “desentralisasi semu” akibat logika kepartaian yang masih sangat sentralistis. Maka tak mengherankan jika pejabat politik di daerah lebih tunduk pada komando DPP ketimbang pada kepentingan masyarakat dan daerahnya.

Buku ini juga menggarisbawahi bahwa salah satu keruwetan penataan politik lokal dalam otonomi daerah adalah adanya regulasi politik, seperti UU tentang kepartaian, yang belum mampu menciptakan mekanisme rekrutmen politik yang mampu melahirkan aktor yang memiliki kemampuan mengelola kekuasaan pemerintahan pada level lokal secara baik dan bertanggungjawab.

Segenap problematika politik lokal seperti di atas tak urung telah mencoreng wajah desentralisasi. Ditambah lagi dengan menguatnya “daerahisme” yang ditunjukkan dengan banyak kasus yang meletakkan isu “putra daerah” sebagai indikator dalam interaksi politik di tingkat lokal. Sebuah indikator yang sekali lagi mempertegas rapuhnya bangunan nasionalisme yang kita miliki.

Di atas semua itu, Abdul Gaffar Karim-dosen Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, mengargumentasikan bahwa otonomi daerah di Indonesia senantiasa bermasalah karena dicoba ditegakkan di atas kerancuan sistemik dalam format ketata-negaraan Indonesia.

Kegandrungan luar biasa akan unitari