Penulis              : George Junus Aditjondro

Peresensi         : Noorche Kusumaningtias *

Mencuatnya kembali kasus korupsi mantan penguasa Order Baru,Soeharto,yang lagi menimbulkan pro-kontra,sebetulnya menggambarkan betapa publik sangat berharap agar ada kepastian hukum bagi mantan pemimpinnya.Soeharto diduga telah melakukan korupsi dalam mengelola tuju Yayasan,yang dananya bersumber dari sumbangan dan uang Negara,yang merugikan Negara triliunan rupiah.namun,untuk kesekian kalinya usulan agar Soeharto diampuni juga kembali mengemuka.gerakan memaafkan Soeharto kali ini muncul dari “wakil-wakil rakyat” melalui usulan mereka agar diadakan sidang itimewa untuk menghapus dosa-dosa mantan  Jenderal besar itu.usulan ini sekaligus menambah suram usaha mengadili Soeharto,yang secara khusus tercantum dalam TAP MPR No IX/MPR/1998,khususnya pasal 4 tentang  penyelengggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN yang memerintahkan proses peradilan,termasuk Soeharto.

 Kecenderungan “m<>emaafkan “ dan tidak memproses kasus korupsi Soeharto,yang datanya sudah jelas di depan mata, bukan tidak mungkin adalah bagian dari strategi mata rantai korupsi yang besar dan memiskinkan rakyat Indonesia.karena,memutuskan fondasi korupsi  yang dibangun oleh klan Soeharto bukan tidak mungkin meruntuhkan sekian banyak bangunan korupsi lainnya. Buku karya George Junus Aditjondro,mantan wartawan tempo(1969-1979),ini bermaksud mengaja kalayak mengkaji bersama,mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa politik nya sampai sekarang belum terlaksana.Menurut George Junus Aditjondro, proses hukum  bagi Soeharto ibarat sebuah sinetron  yang sudah disekenario  sedemikian rupa sebagai tontonan karena kasus nya terus diambangkan.padahal,masyarakat menghendaki Soeharto diproses sampai tuntas dalam peradilan yang fair.kalaupun Soeharto dianggap sudah tua,sakit, dan lemah untuk diadili,mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha melakukan penyitaan harta rakyat yang dijarah oleh Rezim Soeharto dan kroninya?

 Dimulai dengan pertanyaan  apa penyebab gagalnya reformasi Mei 1988,buku ini menjawab bahwa kesalahan terbesar para reformis dan aktor pro-demokrasi bangsa Indonesia adalah “menyerahkan “ wilayah publik pada sekumpulan orang-orang Order Baru.malah menurut George Junus Aditjondro,Istana kepresidenan republik Indonesia pasca-Soeharto, yakni sejak Habibie,Abdurahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Hudoyono,menjadi lahan subur bagi perkembangan korupsi dan kroniisme yang menyesengserakan ekonomi Negara.

Menurut penelitian George Junus Aditjondro,sejak era Soeharto,mengkorupsi  di Indonesia telah tumbuh sedemikian rupa menjadi jalinan  oligarki  yang sulit diputus mata rantainya.presiden-presiden berikutnya juga tak luput dari jaraingan-jaringan oligarki tersebut,yang terus dipertahankan  dan diperbarui melalui persekutuan-persekutuan terselubung lewat berbagai sektor ekonomi dan politik,dengan pergeseran warna dan pemain disana-sini.uraian George Junus Aditjondro,yang didukung data yang komplit,menganai “bakat dan hobby korupsi”Soeharto ke presiden berikutnya,sehingga membuat mereka menjadi Soeharto kecil (small Soeharto) dalam bidang korupsi,membuat kita membayangkan adanya jaringan yang luar biasa ketat dan tersistemisasi, yang kemudian menyulitkan proses demokratisasi dan pencapaian keadilan dalam masyarakat.

George Junus Aditjondro dalam buku ini menganalisis bagaimana sistem oligarki Soeharto direproduksi  oleh sistem-sistem  politik pasca-Soeharto.dengan data hasil penelusuran  delapan tahun di Indonesia dan tuju tahun di luar negeri, George Junus Aditjondro menilai bahwa oligarki di Indonesia terbagi menjadi tiga kaki.kaki pertama,adalah Istana yang juga merupakan lingkaran  dalam oligarki ini.yang dimaksud George Junus Aditjondro dengan”Istana” bukanlah gedung  yang meruapakan tempat tinggal resmi keluarga Presiden,melainkan keluarga besar presiden yang juga meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal di luar Istana.selanjutnya,Kaki kedua adalah “tangsi”,yang sekaligus merupakan lingkaran  pelindung pertama dari”Istana”.”tangsi” disini bukanlah tempat tinggal segala kesatuan  angakatan bersenjata,melainkan komunitas militer dan polisi yang terdiri dari Purnawirawan,perwira tinggi,sampai para prajurit,yang bertugas memlihara kepentingan modal besar.sementara kaki tiga adalah “Partai penguasa”,yang di era kepresidenan  Soeharto dimainkan oleh Golongan Karya(Golkar).kaki ketiga ini adalah benteng perlidunagn kedua bagi berbagai bisnis Istana,yang sekaligus berfungsi menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga Istana.

Bagi George Junus Aditjondro,paling tidak oposisi perlawanan terhadap akumulasi kekayaan yang seperti piramida terbalik itu,bisa datang dari golongan kiri,bisa juga datang dari golongan kanan yang tersingkir.b