Pustaka Philip Quarles van Ufford dan Ananta Kumar Giri (ed.)

Kritik Moral Pembangunan

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Pembangunan selalu mengingatkan kita pada gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Ikhtiar pembangunan memang demi mencapai hal-hal itu. Namun, pada prakteknya, pembangunan justru seringkali menemui kebuntuannya sendiri.

Pembangunan, dalam pandangan para penulis dalam buku ini, saat ini semakin kehilangan daya pikat dan vitalitasnya. Praktek dan wacana pembangunan saat ini berada dalam titik kritis akibat pelbagai ketidak selarasan dan kesenjangan.

Maka, kalau Robertson (Robertson: 1984) pernah menganggap pembangunan sebagai usaha kolektif paling ambisi<>us umat manusia, itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Ini karena pembangunan seringkali gagal mewujudkan cita-citanya dan malah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan.

Dalam kerangka itulah, buku ini berusaha memberikan kritik moral atas praktek-praktek pembangunan yang seringkali melenceng dari cita-cita awalnya serta telah menggerus kepedulian antarsesama. Ia juga melakukan gugatan dan kritik tajam terhadap fondasi yang menopang terhadap proyek pembangunan yang terjadi di Dunia Ketiga yang sering mengalami paradoks-paradoks dan kebuntuan.

Beragam proyek pembangunan yang selama ini terus menerus digenjot dan “dipaksakan” oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ternyata  hanya berorientasi bisnis semata dengan mengesampingkan dimensi-dimensi lainnya. Atau dalam istilah Elizabeth Harrison, salah seorang kontributor dalam buku ini, pembangunan yang berlangsung saat ini telah menjadi mesin pembangunan yang monolitis, yang hanya berorientasi pasar semata, yang siap menggulung dan menggilas siapapun yang mencoba merintangi (hlm. 159). Pembangunan telah kehilangan muatan universal yang berorientasi pada kemanfaatan bagi kelangsungan hidup manusia dan masyarakat.

Akibatnya, proyek-proyek pembangunan ternyata bukan hanya dianggap telah gagal, terutama dalam menghapus kemiskinan yang semakin luas, tetapi teori pembangunan juga telah mengalami kemacetan, terjebak dalam metanarasinya sendiri dan gagal dalam memahami perbedaan-perbedaan dan persoalan-persoalan dalam masyarakat.

Di Indonesia, indikator yang bisa dilihat dari kegagalan tersebut menurut Philip Quarles van Ufford Dik Roth adalah terjadinya berbagai ketimpangan yang sangat tajam. Mulai dari angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, ruwetnya masalah pemerataan penduduk, diskriminasi dalam kesempatan berusaha, kesenjangan desa-kota dan antarwilayah, sampai pada kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat yang sangat timpang dan sebagainya.

Yang lebih parah, demi kebijakan ekonomi yang hyper-pragmatis, pembangunan tak jarang melakukan penghancuran modal sosial yang sebetulnya sudah diwarisi dari generasi ke generasi dan berfungsi sebagai tiang penyangga ketahanan dan keutuhan sebuah masyarakat. Maka, perlahan tapi pasti, praktek pembangunan semacam itu akan terus menumpuk persoalan dalam pembagunan sosial dalam sekala yang lebih luas dan mempercepat kemerosotan kualitas hubungan sosial dalam masyarakat. Akibatnya, pembangunan bukan saja semakin menjauhi tujuan untuk memperbaiki kehidupan, tetapi juga terbawa masuk dalam model baru pembangunan, yakni “pembangunan ala bisnis” yang sering mengesampingkan nilai-nilai moralitas dan etika.

Di tengah arus dan tata ekonomi global yang acapkali meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang berhubungan dengan etika dan moralitas, buku ini ingin menunjukkan bahwa pembangunan yang tengah berlangsung saat ini sedang berada pada persimpangan jalan, dan karena itu ia memerlukan suatu keterlibatan moral yang bersifat global.

Para penulis ingin menegaskan bahwa studi-studi pembangunan seharusnya mampu menyatakan secara lantang suatu tanggungjawab moral bersama atas pembangunan. Dengan demikian, di dalam pembangunan yang dijalankan diharapkan masih terkandung suatu naratif moral dan empiris. Mereka juga ingin menyentak kesadaran para pelaku pembangunan tentang tempat “manusia dan kemanusiaan” dalam pembangunan.

Karena, yang sering terjadi, sebagaimana pernah dikatakan Weber, bahwa dalam masyarakat modern manusia sering terjebak pada apa yang disebut dengan rasionalitas instrumental bertujuan. Dalam segala tindakan, termasuk dalam hal ini pelaksanaan pembangunan, orang cenderung hanya mengejar keuntungan semata dengan mengkalkulasinya secara matematis, teknis, logis, dengan mengesampingkan persoalan nurani. Kondisi semacam inilah yang dikhawatirkan Habermas (Habermas: 1990) akan memunculkan terjadinya pemujaan berlebi