Islam Nusantara bukanlah suatu hal baru, karena telah mewajah dan merujuk
pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Islam di Nusantara didakwahkan
dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak
memberangus budaya. Dari pijakan sejarah itulah, karakter Islam Nusantara
menampilkan Islam yang ramah, damai,
terbuka, penuh sopan santun, tata krama dan penuh toleransi. Karenanya, penting
sekali untuk membiarkan para pelaku penyebar Islam di Nusantara bernarasi
sendiri dengan tutur sebagai lokal historis yang terus diwariskan sampai
sekarang. Mengkomunikasikan dan menjejaringkan narasi mereka dapat memberikan
peta yang baik untuk memahami karakteristik dan konstruksi keislaman yang
mereka bangun untuk Nusantara.
Buku Masterpiece Islam Nusantara Sanad & Jejaring Ulama-Santri
(1830-1945) karya Zainul Milal Bizawie ini berusaha merangkai memori-memori yang tersebar di masyarakat lokal,
yang selama ini seolah-olah terpisah antara satu dengan lainnya. Padahal,
mereka terhubung dan saling melengkapi sehingga menjadi suatu perwajahan Islam
yang khas di Nusantara. Selain itu, jejaring ulama-santri Nusantara telah
berkontribusi penting dalam merawat tradisi Islam di Nusantara. Karya-karya
mereka menjadi referensi utama sistem pembelajaran di surau, pesantren dan
madrasah hingga saat ini.
Dengan belajar dari kiprah para ulama-santri,
kita dapat menyerap karakter Islam Nusantara sebagai Islam yang ramah, terbuka,
inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan
negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur,
dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara,
tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
Sebelumnya, Zainul Milal Bizawie telah
menghadirkan momentum bersejarah pada Resolusi
Jihad. Dengan mengungkap jejaring yang berada di balik munculnya resolusi
jihad tersebut serta basis pemahaman tentang suatu bangsa, akan membantu kita
memahami konteks perjuangan para Laskar Ulama-Santri. Buku ini juga berusaha
menarasikan simpul-simpul dari jejaring yang telah mensinergiskan perjuangan
bagi tegaknya Negara Indonesia. Karenanya, kita akan melihat bagaimana
simpul-simpul tersebut saling berjejaring dan dengan caranya sendiri
mengonsolidasi dan terhubung dari satu titik simpul ke simpul lainnya. Simpul
ini hanyalah bagian saja, dan masih banyak lagi yang tidak tercatat dan
bergerak di ranah yang lain.
Menyimak wajah Islam di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan,
karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah yang bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim
kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan
secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan
baik. Oleh karena itu, sudah
selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia
Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri mana pun, meski tidak harus
bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara
tidak mengenal menusantarakan Islam atau nusantarasasi
budaya lain.
Zainul Milal Bizawie ingin menegaskan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi
untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual.
Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran
Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam
Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab
dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan
kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran
Islam.
Karakter Islam di Nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam
melalui (bentuk) budaya lokal. Dalam tataran praksisnya, membangun Islam Nusantara adalah menyusupkan
nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai Islami untuk
memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai nilai Islam. Islam bukan hanya cocok diterima orang
Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
Melalui buku Masterpiece ini, Zainul Milal Bizawie menyusuri dengan plot mundur. Narasi dalam buku ini sengaja menggunakan
plot terbalik membujur jejak-jejak waktu mundur agar kita dapat menyelami
dengan baik, tidak terputus dan menemukan sejarah kita sendiri. Hal ini agar tidak terjadi lompatan-lompatan waktu
yang berakibat pada keterputusan sanad atau kesalahan memahami sejarah. Dalam
jejaring ulama santri yang diungkap dalam buku ini, anti kolonialisme menjadi
kegiatan politik yang terus diperjuangkan dan diwariskan dalam jejaring yang
telah terbentuk. Anti kolonialisme hanyalah salah satu konteks dari perjuangan
yang sesungguhnya, yaitu tafaqquh fiddin, menegakkan ajaran Islam, dan
meneruskan perjuangan Rasulullah. Dalam konteks inilah, buku terbitan Pustaka
Compass ini menjejaringkan narasi dan menarasikan sejarah jejaring
ulama-santri.
Jejaring yang telah terbangun tersebut merupakan
bagian dari masterpiece Islam di Nusantara. Para simpul jejaring
tersebut juga telah menghasilkan karya-karya besar yang juga telah menjadi masterpiece
Islam di Nusantara. Begitupun kemerdekaan RI dan tegaknya NKRI serta wajah
Islam di Indonesia yang damai, toleran, terbuka dan moderat adalah bagian dari masterpiece
Islam Nusantara yang saat ini dapat kita rasakan. Dan masterpiece tersebut
tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari rahmat Allah bagi bangsa
Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa ini adalah masterpiece Allah
yang telah memfirmankan Islam rahmatan lil alamin.
Berpijak pada posisi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari,
kita akan melihat begitu kokohnya dan berkelindannya jejaring yang telah dibangun.
Jejaring tersebut berdimensi lintas ruang dan waktu, sanad dan nasab serta
dalam kesamaan mendambakan suatu bangsa yang berdaulat. Jejaring yang dibangun
tersebut selain memperkokoh simpul-simpul pesantren, dayah maupun meunasah yang telah terbangun, juga
meluaskan jejaring lebih besar lagi yang disatukan dalam komunitas al Jawiyyun. Selain itu,
sinergitas jejaring ulama Hadrami dan pribumi terbangun kembali dan mencoba
belajar dari pengalaman sebelumnya yang terbawa permainan kolonial Belanda dalam
melemahkan jihad. Habib Ali Kwitang menjadi titik masuk untuk melihat bagaimana
ulama keturunan Hadrami terkonsolidasi dan terhubung dengan ulama-ulama pribumi
serta menyelaraskan hubungan antara sanad tarekat, tahfidz dan fiqih.
Disinilah, kesadaran kebangsaan makin terbangun bahwa perjuangan melawan
kolonial Belanda harus bersatu dan memiliki resonansi yang menusantara.
Dalam konteks inilah, peran Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Sholeh Darat, Syekh Tolhah, Syekh Khollil Bangkalan, Syekh Mulabaruk, Syekh Mahfudz Tremas, Syekh Khatib Sambas, Syekh Nahrowi Al Banyumasi, Syekh Ismail Minangkabawi dan lain sebagainya menjadi jejaring utama yang menjadi titik pusat simpul di Nusantara pada abad ke-19. Kehadiran dan kiprah mereka sanggup mentransmisikan keilmuan sekaligus semangat kebangsaan bagi para santri yang belajar di Makkah dan kemudian mentransformasikan dalam kiprahnya di daerahnya masing-masing.
Data Buku
Judul : Masterpiece Islam Nusantara: Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)
Penulis : Zainul Milal Bizawie
Penerbit : Pustaka Kompass
Cetakan : Maret
ISBN : 978-602-72621-5-7
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
3
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
4
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
5
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
6
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
Terkini
Lihat Semua