Pustaka

Melihat Pesona Turki, Menatap Wajah Indonesia

Kamis, 19 April 2018 | 07:30 WIB

Buku ini bukanlah novel, bukan pula kumpulan cerpen, apalagi antologi puisi. Namun membaca buku ini, saya seperti dibawa larut dalam ingar-bingar dan warna-warni kehidupan Turki, lengkap dengan beragam pesona di dalamnya.

Buku ini sangat menyala dan nikmat dibaca. Tentu lantaran ditulis oleh mereka yang pernah menghirup udara Turki, mencium bau keringat masyarakat di sana, dan mencercap segala budaya di dalamnya.

Mereka—penulis buku ini—adalah diaspora Indonesia di Turki, baik dalam kurun waktu lama maupun singkat, dengan latar belakang beragam mulai dari pelajar, mahasiswa, alumni, bahkan ada yang sudah menetap karena bekerja hingga berkeluarga di Turki. Para diaspora ini tentu saja mengalami proses kebatinan selama hidup dan berinteraksi dengan masyarakat Turki (hlm vi). Inilah yang menjadikan buku ini terasa hidup. 

Bagi saya, paling tidak ada dua alasan mengapa buku berjudul Kirmizi Beyaz: Warna-Warni Kehidupan Turki ini menarik untuk dibaca. Pertama, entah kebetulan atau tidak, Turki dan Indonesia memiliki banyak kesamaan.

Kedua negara ini memiliki mayoritas penduduk Islam dengan karakter moderat, punya bendera yang sama-sama didominasi warna merah dan putih, menganut sistem demokrasi, sama-sama mengalami masa kelam rezim represif militer, bahkan keduanya sama-sama tergabung dalam dalam beberapa organisasi internasional seperti Development Eight (D8), Organization of Islamic Conference (OIC), Global Twenty (G20) (hlm v). Ini artinya, membaca buku ini seolah kita sedang menatap wajah Indonesia.

Kedua, tulisan-tulisan yang tercakup dalam buku ini melingkupi bidang keilmuan yang beragam, seperti praktik keislaman di Turki, model pendidikan Turki, dominasi maskulin dan partiarkal di Turki, diplomasi politik Turki, budaya kerja dan pelayanan publik di Turki, sejarah konglomerasi di Turki, pemahaman atas disabilitas dan difabilitas di Turki, etnis Turki di Jerman, hingga menceritakan sejarah kudeta dan evolusi kepemimpinan di Turki.

Dalam tulisan “Berjayanya AKP dan Modalitas Kepemimpinan Erdogan” misalnya dijelaskan, secara politik, Turki muncul sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Di saat kemunculannya, negara-negara lain di kawasan itu justru bergulat dengan gejolak internal (Arab Spring) yang merongrong stabilitas politik di negara masing-masing.

Namun Turki tampil menjadi negara bersinar dengan julukan Turkish Model, yakni sebuah negara Muslim yang mampu menerapkan demokrasi dengan baik dan dapat perform dalam bidang ekonomi (hlm 146). 

Tentu capaian Turki tersebut membuka mata kita bahwa seperti halnya Indonesia, Turki juga punya kompatibilitas tinggi terkait hubungan Islam dan demokrasi. Lebih dari itu, Indonesia dan Turki sama-sama bukan Arab, dan keduanya mempraktikkan gagasan demokrasi, modernisasi, dan pluralisme.

Islam di Indonesia dan di Turki juga sama-sama mayoritas Muslim sunni. Apalagi lewat referendum April 2017 lalu, pemerintahan Turki sudah berganti dari sistem parlementer ke sistem presidensil. Inilah salah satu bahasan menarik dalam buku ini.

Hal menarik lainnya dapat dibaca dalam tulisan “Budaya Kerja dan Pelayanan Publik di Kota Eskisehir Turki”. Di sini disebutkan, pemimpin di Turki bukan lagi sebagai agent of change tapi juga sebagai agent of services (halaman 53).

Di Turki, perbaikan fasilitas jalan diperbaiki setiap enam bulan sekali, entah sudah rusak atau belum. Setiap kota memiliki lapangan udara domestik sebagai penghubung lalu lintas antarkota, di setiap kota bejibun taman yang disapu pagi, siang dan malam, transportasi terintegrasi, fasilitas kesehatan ada di setiap desa, budaya malu masuk dalam dunia kerja, dan pemimpin selalu terlibat dalam kegiatan warganya. 

Segala bentuk pelayanan publik di Turki seperti terdorong oleh besarnya cinta kepada negara yang juga sudah tertanam sejak “anaokul” (TK) atau “ilkokul” (sekolah dasar). Setiap pemimpin melakukan pekerjaan atas dasar kecintaan (halaman 59).

Tentu tema bahasan ini sangat inspiratif. Indonesia perlu belajar dari Turki terkait budaya kerja dan pelayanan publik. Seperti halnya Turki, para pemimpin Indonesia tidak boleh hanya sebagai agent of change, namun harus bertransformasi jadi agent of services.

Sekali lagi, membaca buku ini seolah sedang berselancar menyusuri setiap sudut kota Turki, lengkap dengan beragam khazanah dan peradabannya. Karena itu, saya sepakat dengan apa yang disampaikan Prof Komaruddin Hidayat (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam pengantarnya, “Buku ini setidaknya memberikan gambaran tentang multidimensi masyarakat dan negara Turki.

Sebuah kesaksian dari dekat menurut pengalaman dan versi masing-masing penulis, yang sangat berharga bagi mereka yang masih asing tentang Turki”.

Peresensi adalah Ali Rif’an, Alumnus Pascasarjana Universitas Indonesia.

Identitas buku:
Judul buku: Kirmizi Beyaz: Warna-warni Kehidupan Turki
Editor: Budy Sugandi, Luthfi W. Eddyono, Safrin La Batu
Penerbit: Aura Publishing
Cetakan: I, April 2017
Tebal: xvi + 218 halaman
ISBN: 978-602-6565-90-7