Pustaka

Memahami Metode Tafsir Dalam Turas Klasik

Kamis, 26 April 2007 | 06:11 WIB

Penulis : Dr. Hasan Hanafi, Penerbit : Nawesea, Yogyakarta, Cetakan : I, Januari 2007, Tebal : 76 halaman, Peresensi : Fikrul Umam MS*

Al-Quran adalah sumber turas (tradisi), asas peradaban dan sumber pengetahuan umat sekaligus sebagai faktor pembangkit mayoritas gerakan sosial politik di sepanjang empat belas abad sejarahnya. Semua gerakan pembaharuan (tajdid) kontemporer yang berpengaruh di dunia Islam kontemporer kita sebenarnya lahir dari pemahaman al-Quran dengan metode penafsirannya. Misalnya; gerakan nasionalisme dan pembebasan di Arab Barat terkait erat dengan Islam (seperti tercermin dalam revolusi Rif di Maroko, gerakan pembebasan tanah air di Aljazair, Sanusiah dan Umar Mukhtar di Libia) dan terkait dengan ulama Aljazair, ulama Universitas al-Zaitunah dan Universitas al-Qarawiyin di Tunis. Hal yang sama juga terjadi di Arab Timur seperti tercermin dalam gerakan al-Mahdi di Sudan, Wahabi di Hijaz, al-Kawakibi di Syam dan al-Afghani di Mesir. Semangat ini kemudian merambat ke seluruh dunia Islam seperti di Pakistan (dengan konsepnya sebagaimana negara dalam puisi Iqbal) dan terakhir r<>evolusi di Iran.

Teori tafsir dalam turas klasik dapat diklasifikasikan ke dalam sejumlah metode tafsir asasi. Misalnya metode Linguistik, Metode ini sudah lahir dalam sejumlah tafsir linguistik, karena pada waktu itu zamannya adalah zaman linguistik, balaghah, fashahah dan bayan. Orang-orang Arab pada waktu itu adalah ahli retorika dan syair. Jadi, wajar saja jika tafsir linguistik lahir sebagai ciri zaman, khususnya karena al-Quran itu sendiri adalah kitab balaghah, yang dapat dipakai untuk otoritas linguistik seperti syair Arab Klasik, retorika dan tamsil Arab. Sebagian umat Islam awal masuk Islam dengan berangkat dari linguistik dan kefasihan al-Quran. Teori-teori kemukjizatan al-Quran karya al-Baqillani, al-Jurjani dan lain-lain lahir dengan berangkat dari kemukjizatan linguistik. Tafsir-tafsir ini dilakukan olah pakar-pakar linguistik, bukan kaum mufasir, karena al-Quran adalah kitab balaghah. (halaman 19).

Metode Historis menonjol dalam kitab-kitab tafsir yang tebal dan didominasi oleh metode transmisi riwayat, yang di kalangan ulama klasik disebut tafsir berdasarkan otoritas riwayat (at-Tafsir bi al-Ma'thur). Orientasi ini lahir di zaman ketika pengetahuan berasal dari transmisi tradisi dan riwayat, peng-agung-an sahabat, tabiin, tabi'ittabi'in, mementingkan generasi awal atas generasi belakangan, mengutamakan salaf atas khalaf, menggiatkan peninggalan dan melestarikan turas.

Tafsir-tafsir ini memiliki kelebihan sebagai berikut; Pertama, Informasi historis yang begitu luas tentang obyek wahyu, pembukuan al-Quran, Sunnah, kehidupan Rasul dan sahabat, cara pertumbuhan negara Islam dan pembebasan, sebagai akibatnya, sulit membedakan antara tafsir historis dengan buku sejarah. Hal ini dilakukan sejarawan semisal at-Tabari dan Ibnu Kasir, sehingga seolah-olah tafsir adalah memberikan informasi sebanyak mungkin tentang topik itu. Kedua, Obyektivitas, kesucian, netralitas dan ketakwaan internal karena mereka meriwayatkan data-data itu dari sahabat-Nabi dan tabi'in. sehingga tidak begitu terpengaruh perbedaan mazhabi. Kebudayaan Arab, yang tercermin dalam syair klasik, lahir sebagai salah satu otoritas tafsir. Kadang-kadang juga melahirkan sebagai aspek fikih dan linguistik.

Metode Fikih, dominan dalam penafsiran al-Quran secara fikih untuk memantapkan hukum Islam. Tafsir-tafsir ini tumbuh pada masa pembukuan syariah, penyebutan perbedaan antar berbagai mazhab dan lahirnya fikih kelompok keagamaan dengan berusaha untuk membangun negara-negara kecil mazhabi, yang membutuhkan sistem politik dan sosial. Tafsir-tafsir ini memiliki kelebihan sebagai berikut; Pertama, Memberikan tekanan terbesar pada aspek penetapan hukum dalam wahyu dan menjelaskan bahwa wahyu bukanlah semata-mata akidah, tetapi juga syariah. Syariah bukanlah semata-mata berasal dari deduksi pakar-pakar fikih, tetapi juga dinash dalam wahyu, yang mampu mengatur masyarakat dan mendirikan negara.

Kedua, Mentransendensi perbedaan mazhabi dogmatis menuju semacam tasyri (penetapan hukum) bagi umat Islam dan upaya paling tidak kesepakatan praktis untuk mempermudah kehidupan manusia setelah terjebak ke dalam perbedaan teoritis yang serius. Ketiga, Kebinekaan tafsir fikih sesuai dengan mazhab-mazhab kalam dan penjelasan bahwa walaupun merupakan sistem praktis tetapi syariah tunduk pada filsafat tasyri (yaitu keyakinan-keyakinan teoritis), karena hukum pada dasarnya adalah konsepsi undang-undang yang berlandaskan pada tujuan dan mengabdi kepada kemaslahatan. (halaman 27).

Metode Sufistik, tafsir ini telah tampak dalam tafsir-tafsir sufistik, baik yang bersifat total maupun partikular. Tafsir-tafsir ini telah muncul dalam kondisi historis khusus setelah kelompok-kelompok rejeksionis negatif terbentuk, kelompok-kelompok perlawanan Ahli Bait, Syiah dan Khawarij dibongkar total. Di samping itu, mereka bertumpu pada simbol sebagai kamuflase, penyelamatan jiwa semata yaitu batin tanpa lahir dan terjebak ke dalam cinta Ilahi sebagai ganti dari kepedihan insani.

*Fikrul Umam MS adalah aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta