Pustaka

Membongkar Khilafah HTI

Senin, 27 Februari 2012 | 04:22 WIB

Judul: Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia
Penulis : Dr Ainur Rofiq al-Amin
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Jumlah halaman: xxiv+ 228
Peresensi: Yusuf Suharto*

Buku ini memang bukan yang pertama kali mengkaji tentang HTI. Namun, buku ini adalah buku kali pertama  yang mengulas secara mendalam tentang konsep dan kritik pemikiran khilafah HTI.<>

Yang menarik, buku yang berasal dari disertasi ini adalah karya seorang mantan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau biasa disebut “khizbiyyin” yang saat ini dalam pengakuannya ia telah kembali ke barak komunitas tradisionalnya, Nahdlatul Ulama.

Dikatakan oleh penulis bahwa karya ini bukan suatu bentuk infiltrasi yang bertujuan melemahkan sebuah gerakan Islam tertentu dalam hal ini HTI, tetapi sebagai kritik atas tantangan terbuka HTI yang antara lain pernah dikemukakan juru bicara HTI, Ismail Yusanto dengan pernyataannya bahwa pandangan HTI adalah benar tapi tidak menutup kemungkinan ada kesalahan.

Buku karya dosen IAIN Sunan Ampel ini terdiri dari empat bab yang didahului semacam pengantar dan diakhiri kesimpulan. Bab pertama adalah Wacana Negara dan Islam, bab kedua Hizbut Tahrir dan Konstruksi Khilafah, bab ketiga Ideologisasi Politik Khilafah, dan bab keempat Implikasi Politik Pemikiran Khilafah Hizbut Tahrir.

Buku yang berangkat dari penelitian kualitatif dengan fokus pada kajian pustaka dengan metode analisis yang menggunakan prinsip pengujian kritis terhadap ide khilafah ini sebagaimana diungkapkan penulisnya bermaksud meneliti tentang khilafah terkait pertama, mengapa Hizbut Tahrir ingin menegakkan negara khilafah, dan bagaimana argumentasinya dibangun?; kedua, bagaimana konsekuensi logis dan politis dari pemikiran khilafah yang dikonstruksi oleh Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam yang didirikan oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani pada tahun 1952. Hizbut Tahrir mengemban misi kembalinya Khilafah Islamiyah ke tangan kaum Muslimin. Khilafah inilah yang menjadi faktor determinan eksistensi gerakan politik ini.

Dikatakan demikian, karena dalam karya-karya dan gerakan para aktivisnya, hampir semuanya dikaitkan dengan khilafah. Khilafah menjadi nomenklatur tak tergantikan. Bagi HTI untuk mengatasi  semua problem dan benang kusut yang ada di dunia sekarang ini, solusinya hanya satu; khilafah harus tegak dan dibaiatnya seorang khalifah. Akhirnya, khilafah dianggap sebagai satu-satunya sistem politik yang benar, islami, dan diakui oleh Allah serta diterima oleh Rasulullah. Sistem politik lain, semisal, republik, atau bahkan republik Islam, adalah tidak absah, tidak islami, dan haram, serta tidak legal.

Terungkap pula dalam buku ini bahwa isu urgen dunia muslim saat ini adalah kembali menegakkan hukum Allah dengan cara mendirikan khilafah. Mendirikan khilafah adalah suatu kewajiban paling agung bagi seluruh umat Islam. Memang pada mulanya kewajiban ini hanya fardu kifayah, namun karena seluruh umat Islam di dunia belum ada yang berhasil menegakkan khilafah, maka kewajibannya menjadi fardu ‘ain.

Tidak berhenti sampai di situ, pelaksanaan fardu ain ini tidak sekedar melaksanakan kewajiban, tapi sudah berubah menjadi qadaul fard atau hutang kewajiban, dengan alasan batas waktu boleh kosongnya khilafah hanya tiga hari, padahal dalam hitungan Hizbut Tahrir, khilafah sudah kosong sejak 1924, dan sekarang tahun 2012, artinya sudah 88 tahun. Dengan demikian, siapa yang meremehkan penegakan khilafah ini, maka dianggap melakukan kemaksiatan  besar yang akan dihukum dengan siksa yang pedih.

Untuk mengokohkan doktrin khilafah ini, HTI mendasarkan kewajiban menegakkan khilafah pada tiga unsur utama yang menjadi penopang argumentasinya; landasan filosofis, landasan normatif, dan landasan historis.

Landasan filosofis terdiri dari tiga alasan. Pertama, konsekuensi dari kamil (kesempurnaan) dan syamil (ketercakupan) nya Islam. Islam menurut Hizbut Tahrir tidak hanya mengatur urusan domestik, tapi juga publik berarti juga politik. Urusan politik yang berhak mengatur adalah khilafah. Kedua, konsekuensi kaidah penyerta kesempurnaan, yakni suatu hal yang bisa menjadi penyempurna kewajiban, maka suatu hal tersebut adalah wajib.

Dalam hal ini menurut Hizbut Tahrir kewajiban ajaran Islam akan bisa terlaksana apabila ada khilafah, maka mewujudkan khilafah menjadi wajib. Ketiga, konsep mabda’ (ideologi) yang digulirkan oleh Hizbut Tahrir. Islam adalah suatu mabda’ yang terdiri dari fikrah (ide-ide Islam) dan tariqah (cara melaksanakan Islam). Satu-satunya tariqah sebagai pelaksana ide-ide Islam adalah khilafah.

Landasan normatif terdiri dari  tiga. Pertama, landasan dari al-Qur’an. Dalam pandangan Hizbut Tahrir banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban mendirikan khilafah seperti al- Maidah:44, 45, 47, dan 49.

Ayat-ayat di atas dalam formulasi Hizbut Tahrir sebagai petunjuk bahwa umat Islam wajib berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam jurang kekufuran, kezaliman, dan kefasikan. Dalam perspektif Hizbut Tahrir, yang berhak menjadi hakim (penguasa) adalah khalifah. Artinya khalifah dengan khilafahnya menjadi wajib diwujudkan.

Kedua, landasan dari hadis-hadis, seperti hadis, “Sesungguhnya Imam itu adalah seperti perisai, orang berperang di belakangnya, dan berlindung kepadanya.” Menurut Hizbut Tahrir, imam dalam hadis berarti adalah khalifah.Ketiga, landasan dari ijmak sahabat. Hizbut Tahrir berpendapat bahwa paska Nabi wafat, para sahabat berkumpul di balairung Saqifah Bani Saidah yang akhirnya bersepakat membaiat Abu Bakr untuk menjadi khalifah.

Dan sebagai landasan yang ketiga adalah landasan historis yang berupa khilafah telah ada sejak awal Islam hingga tahun 1924 saat runtuhnya Turki Uthmani. Pada masa berabad abad tersebut menurut Hizbut Tahrir adalah masa kekhilafahan.

Berikutnya Ainur Rofiq secara mendetail berusaha mematahkan tiga landasan argumentasi kewajiban penegakkan khilafah versi HTI tersebut. Membantah landasan historis misalnya ia mengatakan, “Dengan penelitian yang mendalam dari peneliti, ternyata argumen di atas adalah rapuh. Terbukti pada masa tersebut tidak hanya ada satu khilafah saja, selain itu juga tidak ada kesatuan khilafah secara kontinyu pada masa tersebut, dan yang lebih penting, apakah nilai-nilai Islam sepenuhnya mengejawantah pada dunia nyata pada masa itu? Ini Masih menjadi pertanyaan besar” kata Pimred majalah Nahdlah PCNU Jombang dan Pengurus LTN-NU Jombang ini.

Terkait eksistensi khilafah ia juga menyatakan, “Khilafah bagi Hizbut Tahrir sebagai sistem politik yang tak tergantikan, tidak dapat ditukar, dan tidak boleh diubah. Walaupun kenyataannya, dalam karya-karya yang dikeluarkan oleh gerakan ini, masalah khilafah telah mengalami evolusi atau perubahan, ini adalah sebentuk dari inkonsistensi. Konsekuensi lain, pemikiran khilafah versi Hizbut Tahrir akan membuka peluang menjadi negara absolut dan pemerintahan yang autokratik.

Hal ini terbukti semisal dengan satu contoh kewenangan khalifah yang begitu besar. Kalau meminjam trias politika yang dengan pola separasi kekuasaan; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tiga kekuasaan ini semuanya ada di tangan khalifah. Para bawahan khalifah atau struktur yang ada dalam negara khilafah, kewenangannya adalah sekedar delegasi, bukan atribusi.”

Ainur Rofiq juga menyatakan bahwa HTI banyak melakukan jumping to conclusion karena yang namanya hakim dan imam  tidak harus merujuk pada pemaknaan khalifah saja, presiden atau yang lain juga bisa disebut penguasa. Ia juga mengutip dalam musyawarah Alim Ulama NU sekitar tahun 1950-an, Soekarno disebut sebagai penguasa dengan julukan waliyyul amri ad daruri bissyawkah.

Ide penegakan Negara Islam pernah diperjuangkan dalam konstituante, namun bukan ide khilafah internasional sebagai suatu yang asing dalam masyarakat Indonesia. Dalam enddoors, KH Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU) menyatakan, “Khilafah adalah fatamorgana. Ia adalah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Ormas-ormas Islam di Indonesia sudah berkomitmen dengan NKRI sebagai bentuk Negara yang final”. Sementara KH Salahuddin Wahid menyatakan, “ NU, Muhammadiyah, PSII, dll. Yang tergabung dalam Partai Masyumi pada taun 1945 memang ingin Negara RI berdasar Islam, tapi bukan Khilafah Islamiyah. Demikian pula pada waktu sidang Konstituante”.

Mengapresiasi karya Ainur Rofiq, Prof Syafiq Mughni (ketua PP Muhammadiyah) menyatakan, “Sudah banyak tulisan tentang Hizbut Tahrir, baik yang menerima maupun yang menolak idenya tentang khilafah. Namun buku ini unik. Ia ditulis oleh mantan aktivis HT dalam bentuk karya akademik yang menjunjung objektivitas tapi tidak kehilangan perspektif historis dan ideologisnya. Hizbi maupun non-hizbi perlu membaca buku ini.”

Akhirnya buku yang dapat dikatakan sebagai buku pertama yang membongkar epistemologi doktrin khilafah ini kita sambut sebagai sekedar upaya kritik konstruktif terhadap HTI sebagai sesama muslim dan untuk tidak memalingkan umat Islam Indonesia untuk teguh menjunjung Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai upaya final bangsa. Selamat membaca.

 

* Kontributor NU Online Jombang