Pustaka PENDIDIKAN SPRITUAL

Membumikan Tradisi Tasawwuf

Jumat, 5 Januari 2007 | 10:20 WIB

Penulis                   : Sa’id Hawa
Cetakan                  : I, November 2006
Tebal                      : xli+563 Halaman
Peresensi               : M. Yunus BS.*

Gemuruh perang salib yang berlangsung semenjak abad ke-11 telah menyebabkan umat Islam di dunia Arab dan Persia terperangkap dalam pertarungan politik yang sangat tidak menguntungkan. Umat Islam benar-benar terkepung oleh lingkaran bola api politik yang digariskan oleh pasukan Mongolia, terutama di bawah pimpinan Jengis Khan. Tak ayal, kemegahan dan kemajuan peradaban yang telah dicapai kala itu hancur seketika. Kekhalifahan bani Umayyah dan bani Abbasiyah yang semula memegang tampuk kekuasaan politik dunia tidak bisa berkutik lagi, seolah ada takbir mubrom yang melarangnya untuk berkembang lebih jauh dari apa yang telah dicapai kedua kerajaan Islam tersebut. Sebuah takdir yang jatuh bersamaan dengan datangnya era kebangkitan bagi dunia barat. Mengapa bisa demikian?Banyak pengamat mengasumsikan, bahwa selain tekanan politik y<>ang dilancarkan pasukan Salib dan menggejalanya penyakit hedonis dalam diri para pemimpin Islam, hal lain yang menjadi faktor pemicu hancurnya peradaban Islam kala itu adalah disebabkan munculnya aliran-aliran tasawuf dalam dunia Islam. Para penganut aliran tasawuf diklaim sebagai biang kerok kemunduran umat Islam, karena ajaran-ajaran yang mereka sebarkan sarat dengan fatalisme, suatu bentuk kepasrahan yang tidak dilandasi oleh usaha dan ikhtiar. Ajaran-ajaran tasawuf seperti tauhid, cinta, pengetahuan dan sebagainya, dianggap telah mematahkan semangat heroik kaum muslimin sehingga dengan mudah ditaklukkan oleh pasukan Salib.

Jika memang demikian kenyataannya, lalu mengapa sampai saat ini justeru ajaran-ajaran tasawuf yang lebih langgeng dan mudah masuk dalam ranah-ranah sosial maupun politik, sehingga menghasilkan kemenangan tersendiri bagi para penganutnya? Sesungguhnya ajaran-ajaran tasawuf lebih kuat dibanding bangunan konsep dan strategi politik yang selama ini dibangga-banggakan. Bahkan, gerakan-gerakan tasawuf pada prinsipnya merupakan dasar gerakan-gerakan pembaruan (harakah tajdidiyah) yang dilakukan oleh para pejuang Islam itu sendiri (hlm. xi).

Tidak terkecuali ketika Islam masuk ke Indonesia, para penganut ajaran tasawuflah yang paling berperan sehingga lebih mudah diterima kalangan pribumi. Maka demikian, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman yang kedua kalinya terhadap ajaran tasawuf, maka diperlukan adanya pendidikan spiritual (tarbiyatun ar-ruhiyah) sebagaimana yang dilakukan Sa'id Hawa dalam buku ini. Pendidikan spiritual merupakan suatu jalan untuk memahami lebih jauh kisi-kisi yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf. Bahwa, ia tidak serta-merta menenggelamkan dominasi rasionalitas terhadap dimensi spiritualitas, melainkan justeru untuk membangun kecerdasan yang lebih tajam. Suatu bentuk kecerdasan yang lahir dari pancaran Sang Ilahi.

Dalam tradisi sufistik, setelah memasuki pendidikan spiritual ada dua hal yang akan ditempuh dan dicapai oleh para salik (pejalan), yaitu penyucian jiwa (tazkiyatul anfus) dan capaian derajat siddiqin dan robbaniyyin. Karena tiga tangga ini sangat urgen bagi para pemula, maka tidak heran jika para ulama yang mengajarkan ilmu tasawuf mesti tidak lepas dari kerangka tersebut. Tidak terkecuali Sa'id Hawa, dimana buku ini pada dasarnya merupakan bagian pertama dari tiga jilid bukunya yang masing-masing membahas tiga tingkatan tersebut. Dalam pendidikan spiritual (tasawuf), ada empat dimensi dalam diri manusia yang harus dijaga, yaitu qalb, ruh, nafs, dan aql (hlm. 41).

Empat dimensi ini, dalam pandangan ilmu tasawuf tidaklah sama pengertiannya dengan ilmu biologi. Sebab, dalam ilmu tasawuf empat dimensi tersebut lebih bersifat rabbaniyah dan lathifah (halus). Karena sifatnya yang demikian itu, maka dengan empat dimensi tersebut seseorang bisa mengetahui dan menyadari apa yang ada dalam dirinya. Bahwa manusia pada dasarnya hanyalah tumpukan tulang yang dibungkus oleh daging, dan karena adanya nyawa yang ditiupkan oleh Allah maka ia bisa bergerak dan berjalan. Maka demikian, adalah suatu pengingkaran jika empat dimensi di atas diselewengkan fungsinya pada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Dengan kata lain, dalam ajaran tasawuf, yang perlu ditekankan adalah bagaimana seseorang bisa mengarahkan dirinya dari cinta terhadap dunia secara berlebihan menjadi cinta terhadap Allah. Mengarahkan hati untuk tetap ingat kepada-Nya, mengasah jiwa supaya tetap tunduk di bawah kekuasaan-Nya, serta membimbing akal pada garis-garis kebenaran (hlm. 153).

Apalagi di era seperti sekarang ini, dimana perkembangan modernitas telah menghadirkan pelbagai situasi dan perubahan zaman begitu mudah menyeret kita pada dunia kelam. Budaya hedonis, hura-hura, manipulasi, dominasi secara tidak wajar dan sebagainya. Sekali lagi, peradaban Islam di masa silam hancur disebabkan oleh budaya semacam itu. Maka naif sekali jika kenyataa