Penulis: Prof Dr Nurcholish Madjid, Dkk
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2007
Tebal: xii + 342 halaman
Peresensi: Yanuar Arifin*
Dalam perjalanan sejarah Islam Indonesia, perdebatan tentang Islam selalu memberi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan-perdebatan tersebut biasanya bermula dari perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam yang seakan tidak pernah menemukan titik temu. Pada satu sisi, terdapat pemahaman yang memandang Islam sebagai agama yang ajarannya wajib diterapkan secara literal di Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, juga terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa ajaran ke-Islam-an harus berintegrasi dengan ke-Indonesia-an. Pemahaman tersebut seakan selalu berada pada tempat yang saling berseberangan. Pada akhirnya, perbedaan semacam itu, menuntut kita untuk lebih arif dalam memposisikan diri terhadap suatu pemahaman ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.<>
Terdapat dua kelompok besar yang lahir dari rahim perdebatan tentang Islam di atas. Dua kelompok ini pada dasarnya adalah hasil dari respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintah dalam persoalan politik Islam. Kelompok pertama, lebih dikenal sebagai kelompok skriptural-ideologis, yakni kelompok yang menghendaki keutuhan (kaffah) dalam memahami Islam. Kelompok ini terwakili oleh kelompok fundamentalis Islam (Islam garis keras).
Kedua, kelompok kulturalis, yaitu, kelompok yang menghendaki terjadinya integrasi antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Kelompok ini lebih kita kenal lewat gerakannya yang moderat dan toleran (kooperatif). Di antara tokoh-tokoh kelomok ini adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dua cendekiawan muslim Indonesia yang latar belakang pendidikannya cukup berbeda, namun mampu mengintegrasikan Islam dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam menafsirkan Islam, kedua tokoh ini dianggap memiliki kesamaan paradigma berpikir. Dan, oleh beberapa kalangan, mereka dianggap sebagai sosok muslim moderat yang tidak terlalu berkehendak untuk menjadikan Islam sebagai dasar atau ideologi tunggal negara Indonesia.
Dalam membahas ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, Nurcholis mengatakan bahwa ajaran Islam memiliki nilai-nilai universal. Artinya, Islam sebagai sebuah ajaran moral, dapat dipraktikkan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Di samping itu juga, Cak Nur—panggilan akrabnya—memberikan catatan bahwa dalam pelaksanaannya, umat Islam harus mempertimbangkan kenyataan sosiologis masyarakat sekitarnya, termasuk dalam hal negara-bangsa.
Fakta sosiologis memberikan klarifikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen, baik ras, suku, budaya, bahasa, dan agama. Heterogenitas tersebut adalah sesuatu yang bersifat alamiah (natural). Heterogenitas inilah yang harus dipertimbangkan umat Islam dalam berdakwah. Kesadaran tentang sifat heterogen masyarakat harus benar-benar ditumbuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Implikasinya adalah lahirnya kesadaran pluralistik dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan sikap toleran, saling menghargai antarsesama manusia, baik dalam persoalan beragama maupun bernegara.
Namun, ironisnya, kesadaran tersebut belum banyak ditampilkan oleh rakyat Indonesia. Tak ayal, acap kali terjadi konflik antarumat, baik konflik antarsuku atau antarumat beragama, misalnya, konflik di Poso, Maluku, Irian dan di Kalimantan. Rentetan konflik tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Dan, sebagai umat yang mayoritas, penganut Islam Indonesia seharusnya mampu merangkul umat agama lain untuk kembali membangun keharmonisan antarumat, dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan keutuhan negara Indonesia. Di sinilah banyak ditekankan oleh Cak Nur bahwa dalam kerangka politik kenegaran, ajaran Islam hendaknya dijadikan landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buku berjudul "Islam Universal" yang ditulis Nurcholis Madjid, Dkk ini, merupakan kumpulan artikel yang membahas berbagai diskursus dan interpretasi atas ajaran Islam dan ide nasional Indonesia secara komprehensif dan kritis. Sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia yang lahir dengan model pendidikan modern Barat dan sekuler, bersamaan dengan kondisi negara Indonesia yang sedang dalam masa peralihan kekuasaan, dari Orde Lama ke Orde Baru. Kehadirannya dapat dikatakan telah membawa misi pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang sebelumnya dikenal cukup konservatif.
Kehadiran Cak Nur lewat karya-karya dan pemikirannya yang liberal dan cenderung sekuler oleh banyak kalangan ulama salaf, dianggap sebagai bentuk perlawanan atas tradisi keilmuwan Islam Indonesia yang sudah mapan. Namun, tidak sedikit kalangan yang menaruh simpati atas karya-karyanya. Hal ini mengidentifikasikan adanya ruang demokrasi dalam persoalan interpretasi agama atau keyakinan di Indonesia.
Kelahiran buku setebal 342 halaman ini, setidaknya turut memperkaya tradisi keilmuan Islam Indonesia. Buku ini sangat layak untuk dibaca dan dikaji oleh siapa pun, baik dari kalangan akademis, agamis maupun kalangan awam. Dengan harapan, selanjutnya, dalam mengkaji buku ini kita akan mempunyai pemahaman baru tentang ajaran Islam yang lebih terbuka.
*Peresensi adalah staf pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan aktifis PPM Hasyim Asya’ri, Yogyakarta.
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua