Pustaka

Menjadi Muslim Indonesia yang Berkebudayaan

Jumat, 5 Maret 2021 | 08:05 WIB

Menjadi Muslim Indonesia yang Berkebudayaan

Buku Islam Berkebudayaan karya M. Jadul Maula. (Foto: NU Online)

Tak ada yang menafikan bahwa Indonesia memang terpengaruh berbagai budaya dari dunia internasional. Pasalnya, Negeri Zamrud Khatulistiwa ini menjadi destinasi migrasi masyarakat dunia, mulai dari India, China, Arab, hingga menjadi koloni bangsa Jepang dan Barat. Kreatifitas masyarakat Indonesia juga tampak manakala dapat memadukan berbagai unsur itu menjadi satu entitas baru, seperti musik, cara berpakaian, hingga dalam berkeislaman.


Corak keislaman Indonesia memiliki ciri khas yang tentu tidak ada di belahan bumi yang lain. Pergumulan ajaran Islam dengan budaya Nusantara membentuk berbagai macam hal yang berbeda dari negeri asalnya, Arab. Hal tersebut tidak lepas dari peran ulama yang datang menyebarkan Islam ke bumi yang sudah kaya akan khazanah kebudayaan ini. Mereka dengan cerdik memadukan antara nash dan konteks lokal. Keduanya menyatu dalam satu nuansa yang tak saling terpisahkan. Sebab, kebudayaan yang sudah mengakar tidak dienyahkan dari kehidupan masyarakat Nusantara saat Islam datang.


Pada perkembangannya, kebudayaan tersebut disebut sebagai Islam lokal. Namun, frasa ini ternyata terkesan marjinal. Islam Indonesia kerap tak masuk dalam diskursus Islam dunia. Padahal, jika ditelisik secara mendalam, Islam lokal merupakan hasil dari penerapan atau dialog nilai-nilai universal Islam. Inti syariat atau norma nilai Islam menjadi norma sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Nilai tersebut tertanam dalam sanubari masyarakat sebagai sebuah bagian di dirinya. 


KH M. Jadul Maula menuliskan secara mendalam pada bukunya, Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan. Ia menjelaskan bahwa kekayaan budaya Indonesia bukan menjadi halangan yang menghambat Islam, justru menjadi sarana penting dalam upaya islamisasi Nusantara.


Pasalnya, ada satu adagium yang menjadi fondasi penting dalam proses tersebut, yakni Arab Digarap, Jawa Digawa. Dalam hal ini, Arab sebagai suatu hal baru tidak sepenuhnya diterima dan tidak juga ditolak. Namun, ialah bahan baru yang diramu dengan kejawaan yang telah mengakar ke sanubari dan mendarah daging hingga lahir suatu bentuk penyempurnaan atas tradisi dan nilai luhur.


Ia secara khusus menulis tentang kesenian wayang. Menurutnya, wayang merupakan ijtihad Wali Songo dalam menebarkan dakwah Islam. Namun dewasa ini, wayang justru kian asing di benak masyarakat pesantren. Padahal, segala unsur wayang menggambarkan nilai-nilai Islam. Mendengar atau membaca kisahnya dapat memberi wawasan yang sadar atau tidak dapat mewujud dalam laku. Pilihan Wali Songo sudah luar biasa penuh perhitungan sehingga mudah sekali diterima masyarakat.


Setidaknya, Kiai Jadul menyebut, ada tiga faktor yang memisahkan kesenian itu dengan pesantren, yakni (1) pengaruh koloni terhadap keraton yang memisahkan budaya dengan keislaman, (2) orientasi dalang yang menjauh dari keislaman, dan (3) sistem politik yang berdampak pada konotasi wayang terhadap abangan atau PKI. Hal ini diperparah dengan pengaruh globalisasi yang sudah sedemikian berpengaruh. Tak ayal, wayang kian jauh dari masyarakat umum. Sayangnya, Kiai Jadul tidak secara mendalam menguraikan strategi yang perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan itu.


Lokalitas


KH Abdurrahman Wahid menyebut bahwa agama dan budaya memiliki wilayah yang tumpang tindih, sebagaimana filsafat dan ilmu pengetahuan. Agama sebagai sesuatu yang bersumber wahyu dari Allah swt. tentu memiliki norma yang cenderung permanen, sedangkan budaya yang diartikan sebagai ciptaan manusia cenderung berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.


Islam dan kebudayaan saling berkelindan, masing-masing memberi sentuhan yang berarti dalam suatu wujud realitas. Ada simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan satu sama lain. Dengan meletakkan keislaman, kebudayaan tetap terjaga dan penuh dengan warna. Pun dengan kemasan budaya, Islam dapat tersampaikan kepada khalayak dan diterima dengan baik.


Nusantara sebelum datangnya Islam sudah memiliki kebudayaannya tersendiri. Hadirnya agama Hindu dan Buddha sebelum Islam tiba membentuk entitas baru. Kedatangan Islam juga memberi warna tersendiri terhadap kebudayaan Nusantara tanpa menghilangkan kebudayaan Hindu dan Buddha sebagai sesuatu yang juga sudah meresap dalam kebudayaan masyarakat Nusantara.


Dalam bahasa lainnya, hal di atas mengalami proses menjadi Nusantara atau dalam bahasa naskahnya angajawi, yakni transformasi kesejatian seseorang menyatu atau menjadi bagian dari kenusantaraan ini. Artinya, ada perubahan bentuk yang mewujud dalam karya-karyanya yang bernuansa Nusantara dan sarat akan nilai-nilai keislaman.


Sejatinya, angajawi adalah suatu perwujudan atas konsep al-muhafaẓatu ‘ala al-qadȋm al-ṣȃliḫ wa al-akhżu bi al-jadȋd al-aṣlaḫ, melestarikan hal dahulu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Ahmad Baso mengatakan bahwa kaidah tersebut merupakan kaidah metodologis hasil ijtihad ulama-ulama Nusantara, yang dikomunikasikan secara kreatif ke kalangan umat Islam Indonesia hingga ke jaringan mereka di Samudera Hindia, bahkan ke negeri Arab.


Hal ini juga sesuai dengan metodologi Islam Nusantara yang diajukan oleh Abdul Moqsith Ghazali berdasarkan usul fikih, yakni urf atau tradisi yang penting dalam penetapan hukum. Saking pentingnya, ada kaidah yang menyebut bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi sama belaka kedudukannya dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar Al-Qur’an dan Hadis. Pandangan demikian bisa jadi disandarkan pada Imam Malik yang kerap menetapkan pandangannya pada penduduk Kota Madinah mengingat mereka yang hidup berdampingan langsung dengan Rasulullah saw.


Maka, hal itu juga yang menjadi dasar argumentasi Kiai Jadul dalam menyampaikan pandangannya tentang keharusan Sultan Yogyakarta dari laki-laki. Ada hal yang sudah menjadi paugeran, tidak bisa dipertentangkan lagi. Pun juga sebuah kesepakatan bangsa dalam mendirikan negara ini.


Lokalitas menjadi satu paradigma Nusantara dalam berbagai halnya. Unsur-unsur yang dikandung sendiri tidak dipinggirkan saat menerima kedatangan budaya luar. Namun, globalisasi yang menyebar melalui teknologi telah sedemikian kuat menghegemoni masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Inilah yang belum direspons Kiai Jadul dalam kumpulan tulisannya ini. Langkah strategis dalam mempertahankan budaya ini sangat diperlukan sebagai upaya agar tidak terjadi kepunahan.


Meskipun demikian, buku ini sangat kuat dengan referensinya. Kiai Jadul meramu referensi dari keislaman yang berbahasa Arab, lokalitas yang berbahasa daerah, hingga rujukan-rujukan lainnya dari Barat. Tak ayal, argumentasi yang disampaikannya pun sangat kokoh.


Peresensi Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama


Identitas Buku


Judul: Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan

Penulis: M. Jadul Maula

Tebal: XXVII + 330 halaman

Tahun: 2019

Penerbit: Pustaka Kaliopak

ISBN: 978-623-240-030-6