Pustaka

Menuai Hikmah lewat Dongeng

Senin, 26 Desember 2011 | 01:20 WIB

Judul :  Pesantren Dongeng: Melipur Hati, Menikmati Kisah, Mendulang Hikmah
Penulis :  Awang Surya
Penerbit:  Zaman
Cetakan:  I, 2011
Tebal:  224 Halaman
ISBN:  978-979-024-270-8
Peresensi: Ahmad Suhendra
 
Saat kecil, di antara kita mungkin sering atau pernah dibacakan dongeng sebelum tidur oleh orang tua. Bahkan, mungkin dongeng itu masih tersimpan dalam telinga kita sampai sekarang. Namun, anak-anak sekarang sudah jarang atau bahkan tidak ada yang menikmati dongeng. Kemajuan teknologi membuat anak-anak terlena dengan permainan produk kemajuan teknologi. Mungkin dongeng sudah dianggap kuno, sehingga eksistensi dongeng dalam kancah dunia anak-anak sudah mulai terkikis.
<>
Tradisi dongeng yang sudah hampir terkikis tampaknya ingin dipopulerkan kembali oleh penulis buku ini. Awang Surya menyodorkan sosok tokoh-tokoh yang lugu dan lucu. Dari keluguan ketiga santri kiai Sholeh itu, justru yang membuat buku ini menarik untuk dibaca. Keempat tokoh tersebut tinggal di suatu kampung yang bernama Bulusari.

Di dalam buku ini sebenarnya mbah Sholeh merupakan orang biasa. Dia bukan ustadz apalagi kiai yang mempunyai beribu-ribu jamaah atau yang memiliki pesantren dengan ratusan santri. Tapi mbah Sholeh hanya memiliki santri tiga orang yang selalu hadir untuk shalat berjamaah dengannya. Dan untuk mendengarkan dongeng yang diutarakan mbah Sholeh. Jadi yang memanggil kiai kepada laki-laki tua yang hidup sendirian itu hanya tiga orang itu.

Untuk menyampaikan pesan-pesan dongengnya, mbah Sholeh memiliki mushala di dekat rumahnya sebagai tempat berdakwahnya. Terkadang warga kampung ikut berjamaah di sana, tapi di waktu lain para warga berjamaah di masjid desa Bulusari. Di mushala kecil itulah para santri mengaji kepada mbah Sholeh. Pengjian yang diajarkanpun bukan ngaji sharaf, nahwu, bahasa Arab-Inggris, fiqh, ataupun kitab kuning seperti halnya pesantren. Tiga santri itu hanya mendengarkan dongeng yang disampaikan mbah Sholeh.

Para santri khusyu’ mendengarkan dongeng setiap selepas shalat magrib. Ketika mbah Shaleh merasa perlu menyampaikan dongeng kepada para santrinya maka pengajian dongeng dilaksanakan setelah shalat selain waktu biasanya. Di tengah asyiknya melantunkan dongeng, para santri terkadang bertengkar saling beradu omong atau bahkan saling meledek, terutama Sarimin yakni salah satu santri yang paling ngeyel.

Satu hal yang mungkin agak mengganjal ketika membaca buku ini adalah cerita yang terpotong-potong. Walaupun demikian, penulisnya bermaksud mengedepankan dongeng dibandingkan dengan kisah keempat tokoh yang ada dalam bukunya.

Di antara kita mungkin mengira dongeng merupakan cerita fiktif atau mitos belaka. Namun, dibalik itu terdapat segudang pelajaran atau hikmah yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan dongeng-dongeng yang dituangkan oleh Surya. Penyuguhan dongeng yang tak lepas dari aktivitas keseharian dalam bermasyarakat maupun bernegara. Pembaca diajak memahami hidup, dan menuai banyak hikmah yang harus direalisasikan dalam dongeng yang penuh inspiratif ini.

Buku karya Awang Surya ini memberikan percikan energi kehidupan yang diselingi dengan humor, sehingga pesantren dongeng ini tidak terkesan menggurui. Di aspek lain, secara tidak langsung karya berjudul ‘Pesantren Dongeng’ ini mengajak untuk menghidupkan dan melestarikan dunia dongeng di belantara Nusantara. Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh masyarakat luas, untuk semua usia.


* Alumni Fak. Ushuluddin UIN Suka Yogyakarta dan staf pengajar PP. al-Kamiliyyah, tinggal di Bogor.