Pustaka Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998

Menuntaskan Visi Ke(bebas)an Negara

Rabu, 15 November 2006 | 08:23 WIB

Penulis    : Denny J. A
Cetakan   : I, Agustus 2006
Tebal        : xiv + 122 halaman
Peresensi  : Lailiyatis Sa’adah*

Sejarah Indonesia adalah sejarah perlawanan. Perlawanan mengusir penjajah, ketidakadilan, penindasan dan kesenjangan sosial lainnya. Bentuk perlawanan itu memuncak dengan mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tepat pada 17 Agustus 1945. Peristiwa ini kemudian diabadikan oleh seluruh rakyat Indonesia dalam diri setiap warga.

Maka tak heran, bila setip memasuki bulan Agustus masyarakat merayakan peristiwa bersejarah itu melalui pelbagai bentuk dan varian yang berbeda. Tak ketinggalan pula, pemerintah yang secara formal merayakan sekaligus merefleksikan perjalanan panjang bangsa Indonesia hingga mencapai 61 tahun.

Apalagi, Indonesia memiliki optimisme yang amat tinggi pascareformasi 1998 dengan tumbangnya pemerintahan otoriter di bawah kekuasaan Soeharto. Stabilitas politik mulai membaik dan segala ekspresi kebebasan warga sipil dibuka seluas-luasnaya. Namun demikian, seberapa optimiskah Indonesia menatap masa depan itu?

Di satu sisi, memang harus kita akui<> dengan jujur, bahwa hembusan Reformasi 1998 yang dimotori oleh mahasiswa memberikan angin segar layaknya seorang narapidana yang baru keluar dari penjara. Udara kebebasan itu begitu terasa hingga sulit kita menyangkal bahwa perubahan zaman menjadi era Reformasi jelas lebih baik daripada era Orde Lama maupun Orde Baru.
Tapi di sisi lain, di balik kemegahan itu sebenarnya masih banyak persoalan penting yang patut kita perhatikan bersama. Benar Indonesia telah merdeka sejak 61 tahun silam dan mengenyam manisnya kebebasan publik buah dari Reformasi. Padahal kalau kita cermat mencerana realitas kekinian, bangsa kita sebenarnya masih dijajah oleh kepentingan-kepentingan global.

Hutang luar negeri yang terus melilit, intervensi negara lain atas persoalan Tanah Air, biaya pendidikan yang kian menanjak, banyak pengangguran dan tingginya angka kemiskinan, merupakan bukti kuat bahwa Indonesia yang kita bangga-banggakan belum sepenuhnya “merdeka seratus persen”—meminjam istilah Tan Malaka.

Maka di sinilah pentingnya suatu “kebebasan total” yang mesti dirasakan oleh semua elemen bangsa. Artinya, dalam menata diri kebangsaan, pemerintah seharusnya berani mengambil sikap tegas terhadap “penjajah terselubung” yang cenderung menyengsarakan bangsa. Terlebih lagi, kebebasan tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat luas. Mengapa kebebasan begitu penting?

Milton Friedman dalam bukunya yang terkenal, Free Choos, mencari tahu apa yang menjadi spirit dan kekuatan dasar Amerika Serikat (AS). Kini AS tidak saja menjadi negara yang sangat kuat secara ekonomi, militer, ilmu pengetahuan, namun juga secara kebudayaan. Berbagai dimensi ini dapat menjadi indikator keberhasilan sebuah bangsa. Jawaban Friedman sangat mengagumkan. Keunggulan AS menurutnya karena negeri itu memberi ruang seluas-luasnya kepada kebebasan.


Karena itu, Dennny J. A melalui buku Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998 ini memberikan refleksi, resep, tawaran solusi atau mungkin jawaban atas problematika bangsa yang kian terpuruk dan berkecamuk. Merujuk pada John Maynard Keynes, Denny mengungkapkan dengan lantang bahwa pertarungan ide atau visi politik lebih besar dan strategis daripada pertarungan untuk kepentingan praktis belaka.

Tidaklah salah jika dikatakan, setelah gerakan Reformasi 1998 yang menjatuhkan Soeharto, perjuangan politik yang sebenarnya justru baru dimulai. Ke mana Indonesia baru ini harus menuju belum selesai dirumuskan dan disepakati. Padahal visi itu yang akan menentukan aturan main (the rule of the game) politik di Tanah Air (hlm vii).

Artinya, Denny hendak mengakatan bahwa sudah seharusnya aneka visi politik diperdebatkan secara publik dan lebih terbuka. Dalam negara modern, visi politik masyarakat tidak tunggal, tetapi sangat beragam dan saling bertentangan satu sama lain. Karenanya, perlu dialog dan kompromisasi, atau dalam bahasa Jurgen Habermas perlu adanmya komunikasi antara yang satu dengan lainnya.

Dengan begitu, perlu ditegaskan kembali bahwa buku ini adalah lontaran visi politik yang ingin ditawarkan bagi Indonesia baru pascareformasi 1998. Karena bersifat visioner, dengan sendirinya, ia dipenuhi oleh kerangka normatif tentang sistem yang seharusnya, bukan analisa obyektif tentang kenyataan. Visi yang ditawarkan Denny tidak lain adalah politik yang membebaskan, yang bersandar pada filsafat sosial liberalisme.

Di manakah letak kekuatan dari kebebasan itu? Dalam situasi bebas, setiap individu dimungkinkan untuk memaksimalkan pencapaiannya (self achievement) sesuai dengan apa yang ia inginkan. Jika setiap individu mendapat hasil maksimal, masyarakat pun akan memperoleh kemajemukan puncak.

Dalam kebebasan, setiap individu mempunyai ruang gerak yang luas untuk melakukan eksperimen, berkompetisi, melakukan petualangan, sejauh ia tidak melanggar kebebasan pihak lain dan terjaring oleh hukum kriminal. Tingginya pencapaian negara bebas seperti negara industri di Barat dan