Pustaka

Pedoman Berpikir NU ala KH Achmad Siddiq

Senin, 29 Januari 2024 | 06:00 WIB

Pedoman Berpikir NU ala KH Achmad Siddiq

Buku Fikrah Nahdliyah karya KH Achmad Siddiq. (Foto: dok pribadi)

Kiai Haji Achmad Siddiq merupakan tokoh yang pernah menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1984-1991. Semasa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, ia juga ikut menjadi anggota Koordinator Pusat Perjuangan Rakyat dan Wakil Ketua Pertahanan Rakyat di Blitar-Tulungagung.


Yang menarik, antara tanggal-bulan lahir dan wafat tokoh asal Jember tersebut hampir sama. Beliau lahir, menjelang kelahiran NU, yakni pada tanggal 24 Januari 1926, sedangkan tanggal wafatnya, yakni 23 Januari 1991.

 

Terdapat sumber lain yang menyebutkan tanggal lahir yang berbeda, misalnya dalam profil anggota DPR RI tahun 1971, menyebutkan tahun kelahirannya 1928, tanpa menyebut tanggal dan bulan. Sedangkan dalam profil anggota Badan Konstituante, ia disebutkan lahir pada tanggal 24 Februari 1926. 


Secara formal, ia pernah menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Islam NU di Jember, kemudian dilanjutkan nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang (mulai tahun 1937) di bawah asuhan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

 

Sebagai santri Tebuireng, Kiai Achmad Siddiq juga mendapatkan gemblengan dari KH Wahid Hasyim. Ini yang kemudian menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan, setelah boyong dari Tebuireng.


Dimulai dari mengajar di SMI NU Jember (1949), hingga kemudian di tahun 1950 diangkat menjadi salah satu pegawai tinggi di Kemenag RI (1950), Kepala KUA Situbondo, Bondowoso, dan Kepala Jawatan Urusan Agama Jawa Timur (1951-1966). Ia juga pernah menjadi wakil rakyat, Ketua DPRD Situbondo (1951) dan Anggota DPD Kab. Jember (1966).


Di NU, Kiai Achmad Siddiq pernah menjadi Ketua dan juga Wakil Rais PWNU Jatim (Th 1950, 1960-1967), kemudian Wakil Ketua II PBNU (1955), Ketua PBNU (1971-1979), dan terakhir sebagai Rais Aam PBNU (1984-1991).


Kiai Achmad Siddiq pertama kali terpilih sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar Ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984. Ia ditunjuk bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU. Keduanya, terpilih kembali pada Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, tahun 1989.
 

KH Achmad Siddiq. (sumber: buku Profil Anggota DPR Pemilu 1971)

Pedoman Berpikir NU

Semasa pengabdiannya, ia banyak melahirkan gagasan penting di dalam perjalanan sejarah organisasi Nahdlatul Ulama. Salah satu buah pemikirannya dimuat dalam buku Pedoman Berpikir NU Al Fikrah An Nahdliyah yang diterbitkan PC PMII Jember tahun 1969, kemudian diterbitkan kembali oleh Forum Silaturrahim Sarjana NU (FOSSNU) Jatim pada tahun 1992.


Dalam buku tersebut, KH Achmad Siddiq di antaranya menerangkan kekuatan-kekuatan pendukung NU. Ia membaginya menjadi dua, yakni pendukung spirituil dan materiil. Secara spirituil atau ideologi, harus memiliki ajaran yang benar serta keyakinan atas ajaran tersebut.


Sedangkan untuk pendukung secara materiil, NU memiliki setidaknya membutuhkan dukungan dari empat kelompok, yakni ulama, umat, angkatan muda, dan karyawan. Keempat kelompok ini mesti berjalan dengan sinergis.


Sebagai organisasi yang terus berkembang mengikuti zaman, ia juga menuliskan sebuah pemikiran tugas tajdid NU yang dilakukan dengan cara: 1) Menilai masa lalu, 2) Mengembangkan masa kini, dan 3) Merintis masa depan.


Kiai Achmad Siddiq wafat di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya pada 23 Januari 1991 dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Aulia di Desa Mojo, Kediri atas permintaan KH Hamim Tohari Djazuli Ploso Kediri saat masih hidupnya.