Pendidikan Alternatif Qoryah Thayyibah
Selasa, 13 Maret 2007 | 06:38 WIB
Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Cetakan: 1, Januari 2007, Tebal Buku: xx + 286 Halaman, Peresensi: Andi Ujiawan*
Siapa yang tidak kenal nama SMP Qoryah Thayyibah (QT)? Berdiri pada Juli 2003 di Salatiga Semarang , nama lembaga pendidikan alternatif itu kini sudah mulai menggema. Bahkan Naswil Idris, salah seorang pakar Pendidikan Nasional (Diknas) pernah turut mempromosikan model SMP alternatif QT baik dalam lingkup nasional maupun forum internasional dengan mengatakan bahwa "SMP Alternatif QT di Kalibening sejajar dengan kampung Isy Les Moulineuk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain yang dipandang sebagai tujuh keajaiban dunia".
<>Lantas seperti apa gambaran terhadap fenomena lahir dan berkembangnya SLTP QT ini, hingga namanya begitu terkenal? Disinilah kemudian buku dengan judul "Pendidikan Alternatif Qoryah Thayyibah" ini dihadirkan di muka umum, yang tidak hanya terbatas sebagai bahan informasi, melainkan sebagai tawaran riil tentang konsep pendidikan alternatif yang lebih menjanjikan ditengah gersangnya tanah tandus dunia pendidikan nasional.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, bahwa ada dua nama yang tidak bisa dilepaskan dari pendirian SLTP alternatif QT. Nama pertama adalah Ahmad Burhanuddin yang sekaligus penulis buku ini. Ia adalah lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Cabang Salatiga. Nama kedua yang tidak mungkin hilang dari sejarah pendirian QT adalah Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah (SPPQT). Ia merupakan gabungan dari kelompok petani dari 13 daerah di sekitar Salatiga dan Semarang .
Dengan menekankan pada pemberdayaan komunitas di lingkungannya, SPPQT mempunyai banyak agenda, diantaranya adalah penguatan daya dukung sumber daya alam, penguatan lembaga perekonomian, dan penguatan pendidikan alternatif untuk rakyat dalam rangka pemberdayaan desa (hal. 199). Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, program demi program telah dilaksanakan, dan akhirnya sepakat untuk menyelenggarakan SLTP terbuka, yang telah diisi dengan semagat perjuangannya.
Sudah menjadi kesepakatan umum, bahwa mendirikan SLTP terbuka bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Apalagi jika melihat funding-nya yang hanya terdiri dari organisasi-organisasi pedesaan yang nota bene beranggotakan masyarakat petani. Namun meski demikian, mereka ternyata memiliki komitmen yang cukup tinggi. Persoalan kapan dan di mana SLTP alternatif itu akan didirikan, bukanlah hal yang signifikan untuk diperdebatkan. Sebab, bagi mereka, yang terpenting adalah SLTP alternatif harus segera didirikan, meski pada akhirnya lembaga pendidikan tersebut dibangun di Desa Kalibening. Termasuk siapa yang berhak untuk diangkat sebagai figur public-nya, mereka yang terlibat langsung dalam proses pendirian SLTP tersebut sama sekali tidak dipersoalkan, meski inisiator sesungguhnya adalah Bahruddin.
Sekolah berbasis komunitas
Sebagai model pendidikan yang menggambarkan sebuah alternatif, SLTP QT, sudah tentu memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah konvensional lainnya. Ciri dari lembaga pendidikan QT ini adalah dengan memakai sistem komunitas. Sistem ini segaja dipilih oleh Bahruddin disamping untuk mensiasati biaya pendidikan sekolah reguler yang tergolong tinggi, juga sebagai bentuk "pemberontakkan" pada sistem pendidikan nasional.
Di mata pengelola SLTP QT, sistem pendidikan nasional yang ada sekarang adalah lebih menekankan aspek birokrasi dan fisik, sehingga mengabaikan esensi pendidikan itu sendiri. Dalam artian, sistem pendidikan masa kini terkadang justru membuat anak terlepas dari keberadaannya. Dalam konteks ini, komitmen pada pemberdayaan komunitas tetap menjadi titik tekan gerakan pendidikan ini.
Dari sinilah, jelas terlihat perbendaan antara pendidikan konvensional pada umumnya dengan pendidikan yang menggunakan basis komunitas. Dalam lembaga-lembaga pendidikan konvensional, anak-anak didik sudah diposisikan sebagai konsumen, sehingga mereka pada akhirnya menjadi generasi-generasi mechanic student. Jadinya, pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik.
Kalau sudah demikian, maka pertanyaan yang perlu diajukan disini adalah, pendidikan itu untuk siapa? Bagi kalangan SLTP QT, jawabanya adalah bahwa pendidikan itu bagi siswa yang sedang belajar dan masyarakat sebagai pusat pembelajaran. Untuk itu, dalam pandangan QT sekolah harus dikembalikan pada habitatnya, yaitu sebagai proses pembudayaan.
Sebagai upaya ke arah sana , masyarakat juga harus secara kreatif menemukan model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya. Di sinilah kemudian QT menemukan bentuknya sebagai model pendidikan alternatif yang responsif terhadap penyelesaian problem dengan konteks masyarakatnya. Dalam konteks ini, siswa sekolah QT membiarkan siswanya mencari untuk menemukan sendiri apa yang ada dan yang perlu diadakan dalam masyarakatnya, dengan tetap menekankan bagaimana siswa sebagai bagian dari masyarakat memecahkan apa yang telah menjadi problem hidupnya.
Hal lain yang juga telah dipraktikan oleh SLTP QT adalah terkait dengan peran guru. Guru yang dalam terminologi jawa dikenal melalui adigium digugu lan ditiru, oleh QT ditempatkan sebagai fasilitator, dinamisator, dan apresiator atas apa yang dihasilkan anak didik. Guru dalam hal ini disarankan untuk mengikuti selera anak, sebatas selera itu tidak berdampak pada kerusakan diri dan orang lain. Pun, atas segala sesatu yang terkait dengan aktifitas belajar mengajar, semua diatur dan disepakati oleh dan untuk para siswa sendiri secara partisipatif, sehingga guru tidak harus bertindak melewati batas kewenangannya, yaitu selalu memarahi dan apalagi harus menghukum.
Buku yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif QT ini kiranya sangat bermanfaat bagi kita. Ahmad Bahruddin sebagai penulis buku ini sekaligus pengelola pendidikan alternatif QT, betapapun telah memberikan kontribusi pemikiran yang cukup berlian. Maka sudah sepantasnya buku ini kita jadikan sebagai bahan referensi sekaligus diimplementasikan dalam tataran praksis. Selamat membaca.
Peresensi adalah staf pengajar pada ma’had al-Islamiyah Nurul Ummah Kota Gede
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua