Pustaka Pustaka Pesantren, Yogyakarta

Pesantren Melawan Globalisasi

Kamis, 3 Agustus 2006 | 05:44 WIB

Penulis : Abd A’la, Peresensi : Hanik Uswatun Khasanah, Cetakan: Pertama, Mei 2006, Tebal : xvi + 214 Halaman
 
Pesantren merupakan kekayaan warisan masa lalu yang masih eksis sampai saat ini. Hampir bisa disepakati bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Jawa. Sepanjang sejarahnya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren mampu berdiri kokoh melewati aneka hambatan yang menghalangi. Selain itu, ternyata pesantren juga mampu memberdayakan masyarakat negeri ini.

Betapapun demikian, pesantren tidak bis<>a berbangga hati dan hanya puas dengan sekadar bisa mempertahankan eksistensi dirinya. Signifikansi pesantren tidak berhenti di situ, tapi harus diuji coba lagi di era sekarang yang tentu saja berbeda dengan kondisi masa lampau. Dengan demikian, pesantren harus mampu menunjukkan peran luhurnya di era modernitas yang penuh dengan tantangan ini.

Masalah kian runyam ketika globalisasi telah menjadi realitas keseharian yang harus dihadapi, baik oleh pesantren dan masyarakat di negeri ini. Globalisasi, terlepas dari mimpi-mimpi indah yang ditawarkannya, merupakan kolonialisme berwajah baru. Secara ekonomi, ia merujuk pada reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi industri lintas negara, perluasan pasar uang, penjajahan barang-barang konsumsi dari dunia pertama ke dunia ketiga, dan penggusuran penduduk lintas negara secara besar-besaran.

Sedangkan secara politik-ideologi, globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, deregulasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain, globalisasi adalah neo-liberalisme yang pada intinya membiarkan pasar bekerja secara bebas. Dalam ideologi ini, pemerintah harus membebaskan campur tangannya atas perusahaan swasta, apa pun akibat sosialnya. Globalisasi merupakan perubahan dari dominasi negara kepada dominasi perusahaan transnasional.

Waktu telah membuktikan bahwa globalisasi menjadi ajang pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah, serta paling lemah. Pengalaman lima tahun belakangan ini memperlihatkan bahwa sistem yang ada hanya menguntungkan sebagian kelompok yang kuat saja, terutama perusahaan multinasional yang berasal dari negara maju. Di samping itu, sistem dalam globalisasi juga menunjukkan bahwa negara maju menggunakan diktum pasar bebas untuk menguasai ekonomi dunia dan tidak benar-benar mempunyai niat melakukan praktik pasar bebas. Dari realitas itu tampak bahwa masyarakat di dunia ketiga akan jadi korban untuk yang kesekian kalinya. Setelah lepas dari cengkeraman negara yang begitu kuat, mereka lalu dikerangkeng dalam kehendak tiranik kaum interprenuer dari dunia pertama. Dalam kondisi itu, ketidakberdayaan masyarakat akan menemukan bentuknya yang paling sempurna.

Pesantren, dengan teologi yang dianutnya hingga kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan sehingga, pada satu sisi, dapat menumbuhkembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitasnya. Pada sisi lain, pesantren dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang menyadari persoalan hidupnya dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah menjadi karakreristik pesantren hampir seluruh perjalanan sejarahnya. Secara potensial, karakteristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang menghadang pesantren dan masyarakat luas.

Tiga nilai dasar yang dimiliki pesantren, yaitu kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan dapat dijadikan senjata untuk melawan globalisasi yang mengusung individualisme dan borjuisme. Ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia.

Persoalannya, bagaimana mengembangkan dan melabuhkan nilai-nilai tersebut dalam hidup keseharian santri dan masyarakat, serta merumus ulang nilai-nilai itu dalam konteks kekinian? Sebab, tanpa upaya ini, nilai-nilai tersebut akan menjadi simbol-simbol formalistik yang tidak menjadi sumber rujukan dalam sikap dan prilaku mereka serta tidak memiliki gaung nyata dalam kehidupan.

Buku Pembaruan Pesantren ini memberikan jawabannya. Menurut Ab