Pustaka

Spirit Dinamisasi Hukum Islam

Senin, 1 Oktober 2012 | 05:04 WIB

Judul Buku: The Spirit Of Islamic Law (Membongkar Teori Berhukum Statis Menuju Hukum Islam Dinamis) 
Penulis : Ahmad Faidy Haris
Penerbit: SUKA-Press
Cetakan: Pertama, Mei, 2012
Tebal: 148 Halaman
Peresensi: Matroni el-Moezany*
<>
Wacana hukum Islam sebenarnya sudah lama kita tahu, hanya saja ada perbedaan cara dalam menerapkannya, karena hukum Islam yang terjadi merupakan mazhab dari seorang ulama, pemikir dan imam. Dalam buku ini Ahmad Faidy Haris menawarkan nuansa baru dalam menelaah fiqih sebagai hukum Islam dengan tidak melupakan sejarah lahirnya hukum Islam itu sendiri.  

Pada umumnya masyarakat Islam, termasuk masyarakat Islam Indonesia, memandang fiqih identik dengan tatakrama Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqih lantas cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri, maka tidak heran kalau kita menganggap fiqih sebagai kumpulan hukum Tuhan dan karenanya sebagai hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah dan direnungkan, maka kitab-kitab fiqih bukan saja dipandang sebagai buku agama itu sendiri, sehingga tidak bisa di otak-atik, di kritik atau ditelaah ulang, sehingga terkesan kaku dan tidak kontekstual. Buku Ahmad Faidy Haris ini menawarkan nuansa baru dan spirit baru bahwa hukum Islam tidak sama seperti yang diketahui kebanyakan orang.

Padahal fiqih adalah produk budaya ketika para pakar hukum dan para mujtahid berupaya untuk mendialogkan antara prinsip ajaran di satu pihak dan konteks sosial yang sedang berkembang di pihak lain. Maka lokalitas dan kontekstualitas merupakan sifat dasar fiqih itu sendiri dan inilah yang kemudian menjadi pembeda dengan syariah. Fiqih tidak lain buah dari pemikiran manusia terhadap ajaran syariah yang absolut atau di sebut tathbiqu ahkamil fiqh (penerapan terhadap hukum-hukum fiqih) bukan tatbiqu as-syariah (penerapan terhadap syariah). Dari sinilah kemudian muncul beberapa produk pemikiran tentang hukum Islam yang dalam literatur dikenal dengan istilah mazhab. 

Sebenarnya sangat menarik kalau kita melihat bagaimana perdebatan aliran dalam Islam atau dengan kata lain sejarah pembentukan hukum Islam. Nah, sejarah inilah yang kadang jarang bahkan sering kita lupakan sebagai pijakan awal lahirnya sebuah hukum Islam. maka tidak heran kalau di Indonesia ada sebagian aliran yang mengaku bahwa mazhab “akulah yang benar”. Seperti contoh perbedaan pendapat dalam aliran tertentu berbeda ahl al-hadist dan ahl al-ar-ra’yi, sejak masa awal pembentukan huku Islam berlanjut kepada terbentuknya mazhab Maliki dan Hanafi (hlm:47). 

Perdebatan dua aliran ini dikompromikan oleh Imam Syafi’i dengan metode analogi (qiyas). Imam Syafi’i mengakui bahwa hukum bersumber dari wahyu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan akal manusia dalam menetapkan aturan hukum yang tidak di atur oleh wahyu. Fungsi akal adalah mengatur kasus-kasus yang baru dengan cara memberlakukan di atas prinsip wahyu Tuhan dengan telah mengatur kasus yang sama. 

Dengan demikian, syariat Islam dan hukum Islam merupakan dua istilah yang berbeda. Walau pun ada kaitannya yang sangat erat, akan tetapi kedua istilah tidak bisa disamakan. Anehnya masyarakat memahami istilah tersebut tanpa tahu makna dan akibat dari keduanya, padahal syari’at Islam memiliki makna holistik-universal dari fiqih Islam. 

Mungkin kita tahu filsuf besar yang hidup pada pertengahan, lahir di Cordova ibu kota Andalusia yang dikatakan murtad oleh sebagian pemikir Islam yang melahirkan kita fiqih yang sangat terkenal Bidaya al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid yaitu Ibnu Rusyd. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, dimana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam fiqih.

Ahmad Faidy Haris dengan spirit keIslamannya ingin memberikan pencerahan dalam memaknai hukum Islam sebagai landasan hukum, dengan mengambil ayat al-qur’an dan kaidah fiqih sebagai dasar pisau analisisnya. Karena menurut Ahmad Faidy Haris dalam buku ini hukum Islam merusaha menjawab tantangan zaman, seperti tesisnya shalihun likulli zaman wa makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat) serta menjawab skeptisisme yang menjangkiti sebagian umat Islam yang mamandang bahwa hukum Islam memiliki karakter ruang lingkup yang sangat terbatas, kaku, stagnan, tidak dinamis serta tidak mampu menjawab perkembangan zaman.

Buku ini hadir untuk menjaga eksistensi hukum Islam yang lebih dinamis dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman ke depan, agar ke-kaku-an yang terjadi selama ini sedikit demi sedikit sadar bahwa hukum Islam tidak seperti itu. akan tetapi hukum Islam sangat indah, lentur, inklusif-pluralis dan dinamis. 

Kalau boleh saya mengkritik di balik buku yang indah ini, Ahmad Paidy Haris sedikit kurang dalam memaknai ayat al-qur’an dan kaidah fiqih yang ada dalam buku, sehingga makna filosofinya sedikit tidak terlihat bahkan tidak ada, maka hal ini penting untuk ditelaah ulang, bagaimana sebenarnya rasionalitas dari sebuah kaidah yang dilahirkan oleh fuqaha atau ahli fiqih? Apakah hanya sebatas arti sehingga epistemologi-hermeneutiknya yang ditulis Ahmad Paidy Haris tak terlihat. 

Mengapa demikian, banyak cabang ilmu pengetahuan yang sisi filosofinya kurang diperhatikan, padahal sisi filosofinya sangat penting untuk menjadi energi dari sebuah karya dan buku. Tapi saya tetap berharap buku-buku yang memberi pencerahan lahir kembali ditangan master of Islamic law seperti Ahmad Paidy Haris.  

* Penikmat buku dan mahasiswa pasca-sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta