Pustaka LKiS (Yogyakarta)

Tradisi Orang-Orang NU

Rabu, 9 Agustus 2006 | 08:57 WIB

Penulis : H. Munawir Abdul Fatah, Cetakan : I,  Agustus 2006, Tebal: xxxii + 290 halaman

Oleh: M. Khairul Mujib*

Nahdlatul Ulama’ sebagai ikon kaum muslim tradisional selalu menjadi sorotan banyak pihak. Pasalnya, organisasi yang berdiri pada tahun 1926 ini banyak menelorkan konsepsi yang dianggap out of date dan kolot. Anggapan semacam itu bisa dinilai sah bila mengingat referensi utama yang dirujuk oleh NU dalam pengambilan keputusan adalah kitab-kitab tradisional karya ulama muslim abad pertengahan.

Di samping itu, tradisi klasik yang terus dipertahankan itu telah banyak mengalami pergesekan dengan budaya-budaya lokal Indonesia yang sebelumnya telah menganut ajaran Hinduisme-Budhisme. Dengan itu, nuansa mistik di dalamnya sangat kental. Di sinilah sebuah Islam Tradisi muncul, yang sebelumnya pernah terjadi di India, China dan Turki.

Bagi kaum modernis, penganut aliran Wahabi khus<>usnya, tradisi-tradisi keagamaan yang berjalan di tanah air adalah tindakan yang mengada-ada. Mereka menilai itu semua termasuk pada Tahayyul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam murni. Tradisi-tradisi semacam ini, bagi kaum Wahabi, haruslah diperangi dan diberantas.

Klaim-klaim kebenaran (Truth Claim) yang dilancarkan kaum Wahabi mengetuk para tokoh tradisionalis.untuk mendirikan sebuah organisasi yang akan mengimbangi kekuatan arus kanan ini. Maka berdirilah NU sebagai reaksi terhadap kondisi itu. Bagi kalangan Nahdliyyin, sebutan bagi pengikut Nahdlatul Ulama’, praktek-praktek ritual yang telah dijalankan selama ini bukanlah sebuah aktivitas tanpa dasar. Semuanya bersandarkan pada al-Qur’an, as-Sunnah dan beberapa karya ulama’ klasik tentang penafsiran al-Qur’an dan as-sunnah itu.

Klaim kebenaran yang dilancarkan kepada kaum sarungan (santri) ini terjadi karena adanya pemahaman yang tidak utuh terhadap NU dan tradisi yang dilestarikannya secara turun temurun itu. Oleh sebab itu, demi tujuan tabayun (klarifikasi) agar tidak terjadi lagi miss understanding dalam memahami NU, H. Munawir Abdul Fattah menghimpun beberapa tradisi dan amalan-amalan harian (al-A’mal al-Yaumiyyat) orang-orang NU beserta dalil dan argumentasi penguat keabsahannya dalam buku Tradisi Orang-Orang NU (LKiS 2006).
Nahdlatul Ulama’ (NU) adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang intens dalam bidang keagamaan (Islam) yang menjadikan tradisi-tradisi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja) sebagai pegangan. Bagi NU, aswaja adalah sebuah tradisi keagaman yang merupakan materialisasi dari sisi kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah serta praktek-praktek keagamaan para Sahabat Rasul serta generasi awal Islam yang dijaga secara turun temurun.

Dengan memaparkan satu persatu tradisi kehidupan warga NU, penulis mencoba memberikan penjelasan dan argumentasi dengan harapan akan menampilkan rasionalitas pemikiran NU yang selama ini dinilai kolot dan tradisional. Dia bermaksud untuk membalikkan anggapan miring yang telah lama dialamatkan pada tubuh NU
Di samping itu penulis berharap agar anak-anak muda NU, yang telah terpengaruh oleh ide pencerahan serta memusuhi tradisi klasik, agar dengan bangga kembali menggunakan tradisi lama dalam menyikapi kenyataan. Karena secara substansial tradisi-tradisi klasik itu masih layak untuk diterapkan. Hanya saja wajah permukaannya saja yang tampak berkerut dan berkarat.

Sedikit berbeda dengan dengan penulis, Ahmad Baso menyatakan bahwa modernisasi pemikiran keagamaan perlu dilakukan, namun bukan lantas meninggalkan tradisi lama. Yang semestinya dilakukan adalah integrasi keduanya, tradisi lama dan wacana kontemporer, demi mencapai pengetahuan yang komprehensif. Tradisi bukanlah suatu hal yang layak dibuang, bukan pula berhala yang berhak disembah, melainkan sebuah senjata yang akan bermanfaat bila digunakan dengan tepat.

Kasus terbaru yang digarap oleh NU adalah hukum infotaintment yang sama sekali tidak mendidik anak bangsa. Bagi NU, unsur Ghibah (membicarakan dan membuka aib dan privasi orang lain) telah mendominasi isi (contant) acara-acara yang disiarkan oleh media elektronik swasta. Dan ironisnya, kondisi ini secara tidak langsung membentuk watak orang Indonesia untuk menjadi bangsa pencaci. Bila tidak ada perubahan dalam muatan siaran, maka siaran-siaran infotaintment ini layak untuk dihentikan

Salah satu keunikan dan kekuatan karakter buku ini adalah bahwa bahan rujukan yang dipakai oleh penulis 100% dari kitab kuning yang memang menggambarkan luasnya tradisi keilmuan muslim pada era awal yang menjunjung tinggi prinsip yang moderat dan toleran. Dalam tradisi Bahtsul Masaa’il yang diselenggarakan NU, pasti terdapat jawaban-jawaban alternatif bagi setiap permasalahan yang sedang dibahas.

Buku ini ingin menyampaikan pesan pluralisme yang selama ini dimiliki oleh tradisi kultural NU. Bagi penulis, tradisi bukanlah seo