Pustaka MEMBEDAH WAJAH PERADABAN BARAT

Wajah Peradaban Barat

Senin, 10 Juli 2006 | 05:59 WIB

Penulis                   : Adian Husaini
Peresensi              : Muhammadun AS*

Di penghujung akhir abad dua puluh, tepatnya tahun 1989, Barat yang dimotori Amerika Serikat memporak-porandakan lawan tanggungnya, Uni Soviet. Runtuhnya kekuasaan Uni Soviret oleh Barat diklaim sebagai akhir perebutan kekuasaan dunia, karena setelah menaklukkan rival ideologisnya, monarchi herediter, fasisme, dan terakhir komunisme, dunia oleh Barat dibangun konsensus bahwa demokrasi liberal yang mereka usung merupakan semacam titik akhir dari evolusi ideologi dan bentuk final dari sebuah pemerintahan. Dan oleh Fancis Fukuyama {1989} hal ini dikatakan sebagai sebuah akhir sejarah {the end of history}. Lebih lanjut Fukuyama melihat bahwa demokrasi liberal sudah tidak berbantahkan lagi menjadi kesepakatan dunia, maka sedah menjadi keniscayaan bagi masyarakat dunia untuk menerapkan demokrasi liberal.


Tesis yang dibangun Fukuyama tersebut mengindikasika<>n bahwa Barat sudah menggapai puncak kegemilangan peradabannya. Barat adalah segala-galanya, tidak tertandingi lagi. Namun apa yang dikemukakan Fukuyama perlu kita refleksikan lagi. Empat tahun setelah tesis Fukuyama di “deklarasikan”, Samuel P. Huntington menelurkan tesis “The Clash of Civilization” yang menggetarkan dunia bahwa pasca perang dingin, benturan yang terjadi dalam masyarakat dunia hanya melibatkan Barat {yang identik Kristen} dan Timur {yang identik Islam}.

Bagi Huntington, benturan dua peradaban besar ini akan menjadi berita besar dikemudian hari. Kalau kita telaah apa yang dikemukakan oleh Huntington secara tidak langsung juga “meruntuhkan” tesis Fukuyama, karena bagi Fukuyama, pasca perang dingin sejarah dunia telah berakhir; dimenangkan barat. Dari fenomena kedua tesis tersebut, ada apa sebetulnya dengan Barat? Kalau Barat mengklaim dirinya sebagai akhir sejarah, mengapa masih mengkhawatirkan dunia Timur {Islam} sebagai ancaman masa depannya?

Pertanyaan inilah yang coba diulas oleh penulis muda energik, Adian Husaini, dalam bukunya yang berjudul “Wajah Peradaban Barat”. Bagi Adian, wajah peradaban barat sejatinya tidaklah seindah yang dibayangkan dewasa ini. Telah terjadi berbagai paradoks, baik dalam berdemokrasi, beragama, berkarya, maupun dalam mengembangkan semangat intelektualitas.

Dalam bukunya ini penulis mengkhususnya untuk mengkritisi Barat dalam praktek berdemokrasi dan beragama. Karena kedua hal inilah sebenarnya yang menjadi pijak pemikiran yang mengukuhkan Barat hingga saat ini. Dalam berdemokrasi, Barat, sebagaimana yang diklaim Fukuyama, telah menemptkan demokrasi liberal sebagai bentuk yang final. Selain itu seolah tidak absah, sehingga harus di “musnahkan”. Adalah Walter Lipmann dalam “A Progresive teory of Liberal Democratic Thoungt” mengkritik bahwa ternyata dalam perjalanannya selama ini telah terjadi pengkelasan dalam demokrasi liberal. Kelas pertama, yakni kelas khusus, jumlahnya sedikit dalam masyarakat. Kelas ini aktif menjalankan urusan-urusan umum kemasyaratan. Mereka merupakan kelompok yang aktif  dlam analisis, pelaksanaan, dan pembuatan keputusan dibidng politik, ekonomi, dan sistem ideologi. Kelas lain, diluar kelas khusus, adalah jumlah mayoritas masyarakat, yang oleh Lipmaan disebut “the bewildered herd”  {golongan manusia yang bingung}. Fungsi kelas khusus jelas, sebagai pemain, sedangkan kelas “bingung” hanya sebagai ‘penonton’ {spectators}. Penonton sering kali dikibuli walaupun dalam posisi benar. Penonton hanya dijadikan ‘boneka’ permainan yang selalu dikibuli dan ditipu {hal. 86-87}.

Itulah peradaban yang dibangun oleh dunia Barat saat ini. Masyarakat tak berdaya hanya dijadikan sebagai penonton. Sejarah menunjukkan bahwa nama Barat telah melakukan banyak hal yang tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat. Ketika mereka mulai bangkit, mereka melakukan berbagai penindasan dan pemusnahan terhadap berbagai kelompok dan suku-suku umat manusia: suku Indian, suku Inca, Aborigin, dan sebagainya. Mereka juga mengangkut dan menjual-belikan budak-budak dari Eropa. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial kecuali kasus perdaangan budak trans-atlantik dari Afrika dan negara-negara Barat. {hal.92}.

Sejarah kelam tersebut menunjukkan Barat tidaklah bisa ditempatkan sebagai sosok superior tanpa salah. Kecenderungan masyarakat dunia ketiga selalu melihat kemegahan Barat sebagai kekuatan tanpa tandingan, sehingga harus dipatuhi, taken for granted.  Karena ditempatkan sedemikian agung, Barat akhirnya menjelmakan dirinya sebagai “pemenang” yang selalu membuat kebijakan sesuai kehendaknya. Sementara masyarakat non-Barat harus rela menjadi “penonton” yang terus dieksploitasi dan dibungkam hak-haknya dalam berekspresi di ruang publik.

Ditengah superioritasnya inilah Barat s