Karena mereka berpikir jangka pendek, maka praktis mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, kelompok dan keluarganya. Mereka tidak pernah memikirkan masyarakat secara keseluruhan. Ini rasionalitas yang dibangun oleh system kehidupan modern, di mana kompetisi merupakan asas utama dalam kehidupan. Sikap semacam ini berkembang luas karena selain diajarkan dalam pendidikan juga disebarkan melalui berbagai siaran radio, televisi dan media lainnya.<>
Keseluruhan gerakan itu telah mengubah pola pikir dan cara pandang serta gaya hidup masyarakat. Kultur ini digerakkan oleh kapitalisme global, yang menggendong kepentingan bisnis. Karena gerakan ini telah menyentuh cita rasa dan selera masyarakat dengan media iklan yang gencar, maka pengaruhnya juga sangat luar biasa besar. Akibatnya, nilai-nilai agama, kebudayaan dan tradisi menjadi hancur.
Keadaan seperti ini tidak hanya meresahkan kalangan para pendidik dan agamawan, tetapi juga meresahkan kalangan seniman dan budayawan sendiri. Para pemimpin NU seperti KH Ma’ruf Amin dan KH Hasyim Muzadi tidak henti-hentinya melakukan kritik terhadap keadaan ini, termasuk peredaran pornografi. Bahkan, kalangan budayawan seperti Hesti Prabowo dari Lesbumi dan Sutradara kawakan Slamet Rahardjo Djarot mengeluhkan kondisi seni budaya Indonesia yang dekaden dan merusak moral.
Melihat kenyataan itu, maka mereka mengindikasikan bahwa yang rusak dari bangsa ini adalah cara berpikirnya dan moralnya. Karena semua kerusakan itu terjadi melalui apa yang disebut dengan imperialisme kebudayaan untuk melumpuhkan semangat bangsa ini, maka cara menanggulanginya juga harus menggunakan gerakan budaya yang bisa dilakukan, seperti, melalui lembaga pendidikan.
Bahkan guru bangsa kita, Ki Hajar Dewantara telah menjadikan kebudayaan sebagai dasar dari perguruan Taman Siswa yang dibangun dengan slogan "Kelawan Sastra Ngesti Mulya" (dengan kebudayaan untuk mencapai keluhuran). Gerakan kebudayaan ini dilakukan dengan pendidikan yang berbasis pada kekayaan dan khazanah sejarah serta kehidupan nasional yang bermuatan moralitas, budi pekerti dan rasa. Karena itu dalam gerakan kebudayaan tidak hanya perlu diajarkan penalaran, tetapi juga diajarkan tentang keindahan, seperti pelajaran seni tembang, tari dan gamelan.
Langkah itu menurut Slamet Rahardjo masih sangat relevan.Terbukti, dalam menghadapi perang militer dan ekonomi yang keras ini, justru negara besar seperti Cina telah mengembangkan soft power (kekuatan lunak) yaitu dengan mengembangkan kebudayaan. Hal itu dilakukan dengan memperkenalkan kebudayaan Cina baik melalui pertunjukan langsung, film atau pendidikan yang dikelola oleh Confusianisme Institute. Padahal, Cina adalah negara komunis. Namun demikian, negara itu sangat menghargai ajaran moral Confusius, karena etos Confusian yang luhur itulah yang mampu berhadapaan dengan berbagai kekuatan imperialis kebudayaan.
Kalaupun pemerintah belum menyadari hal ini, karena masih terbuai oleh sistem global yang tunggal, di mana ia masih dibayangi ambisi untuk bersaing dengan bangsa lain, namun sayangnya ia tetap menggunakan budaya dan sarana bangsa lain. Akibatnya, pemerintah tidak pernah sampai pada gerakan kebudayaan yang dicita-citakan. Setidaknya, masyarakat baik kalangan ulama, budayawan ataupun pendidik telah mulai mengembangkan strategi yang lain. Mereka sadar bahwa persaingan itu dilakukan tidak dengan cara meniru habis-habisan. Sebab kalau itu yang dilakukan maka mereka akan terus menjadi kuli seperti sekarang ini. Akhirnya, mereka melakukan dengan mengembangkan kreativitas sendiri.
Kalau pada saat itu, Ki Hajar Dewantara sadar bahwa yang menyelenggarakan pendidikan formal adalah kolonial, maka rakyat dididik sesuai kepentingan yang mendidik, yaitu sebagai calon aparat kolonial. Maka yang ia lakukan adalah reeduksi terhadap rakyat untuk dididik menjadi manusia yang utuh sempurna sebagai kader bangsa. Dengan demikian, sarana seni budaya dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan untuk mengimbangi citarasa seni kolonial.
Gagasan untuk mengembangkan gerakan kebudayaan baik melalui pendidikian maupaun penegmbangan sarana kesenian yang berkualitas merupakan langkah strategis. Langkah ini tentunya akan mampu menjangkau masyarakat luas dan memiliki pengaruh yang halus, namun berakibat sangat mendalam. Pada dasarnya, masyarakat tidak mau digurui, tetapi disentuh perasaannya, sehingga mereka tergerak, tergugah kesadaran keagaman dan kebangsaannya. Di sinilah relevansi gerakan budaya, karena yang disentuh adalah kesadaran, bukan perilaku, tetapi sumber dan penggerak perilaku tersebut. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua