Risalah Redaksi

Lebaran Menuju Keadilan

Rabu, 1 Oktober 2008 | 21:10 WIB

Sebulan penuh umat Islam telah menjalankan ibadah puasa dengan harapan bisa mencapai ketakwaan. Dengan ketakwaan itulah setiap Muslim bisa mengendalikan hidupnya, sehingga bisa menempuh kehidupan yang tertib, taat aturan dan menjaga norma sosial, sehingga kehidupannya menjadi tenteram. Pengasahan diri itu akan mendapatkan realisasinya dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat mencapai hari lebaran, ketika puasa mulai harus dihentikan. Karena pada hari itu semua Muslim diperbolehkan makan dan diharamkan berpuasa dalam bentuk apa pun. (Wa ahalla alaikumut tho’am wa harroma alaikumus shiyam).

Ini menunjukkan bahwa selain memiliki dimensi ketuhanan, puasa juga memiliki dimensi sosial. Karena ketakwaan, selain merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan, juga akan terefleksi dalam pergaulan sosial. Sebaliknya berbuat baik dan berlaku adil dalam masyarakat juga bisa mendorong pada ketakwaan. I’dilu huwa aqrobu lit taqwa (berbuatlah adil karena keadilan dekat dengan ketakwaan). Keadilan dan kejujuran memang prinsip yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan yang normal, karena itu wajar jika kejujuran dan keadilan akan membawa manusia pada ketakwaan.<>

Saat ini banyak orang berusaha meraih kedudukan duniawi dan mencari harta benda tanpa dilandasi kejujuran, sehingga hasilnya melanggar rasa keadilan. Apalagi dalam iklim liberal kapitalistik yang diwarnai dengan persaingan bebas, baik dalam perebutan akses politik, akses ekonomi dan kebudayaan, maka dalam persaingan itu tidak lagi menggunakan norma. Sebaliknya, ia penuh dengan  kecurangan, penipuan dan penyuapan yang dianggap sebagai cara lumrah untuk memperoleh kemenangan.

Dalam situasi begini, kita tidak merasa gembira dengan temuan yang diperoleh oleh sebuah lembaga survey nasional, bahwa saat ini, di Indonesai telah terjadi peningkatan jumlah orang kaya baru sekitar 17 persen. Suatu jumlah yang sangat besar, yang mestinya dapat membuat kita lega dengan demikian kemiskianan berkurang. Tetapi kenyataan ini menunjukkan kenyataan sebaliknya. Dengan munculnya 17 persen orang kaya baru, lalu berapa persenkah peningkatan orang miskin baru yang diakibatkan oleh eksploitasi orang-orang kaya baru tersebut.

Dalam sistem eksploitatif yang hisap menghisab, lahirnya orang kaya baru karena berhasil menghisap kekayaan rakyat dan Negara. Dengan demikian, berarti ada sekian banyak rakyat yang menderita karena dihisap.

Saat ini dana Negara mengalami kemandekan di lingkungan elite penguasa, karena digunakan untuk keperluan politik menjelang Pemilu 2009. Dana pembangunan menjadi berkurang atau bahkan tak ada sama sekali. Ketika menghadapi Pemilu, kegiatan persiapan tidak lagi menjadi kegiatan massa, seperti pembangunan untuk meraih dukungan politik. Saat ini adalah musim politik pencitraan, bukan pengabdian. Dana besar akhirnya digunakan  untuk menyewa konsultan politik, biaya survey dan kampanye untuk membuat pencitraan baik di mata publik. Semuanya itu ditangani oleh lembaga-lembaga event organizer (EO), sama sekali tidak menetes ke rakyat.

Dari situlah antara lain orang kaya baru itu lahir, tidak hanya itu, saat ini terdapat banyak sekali broker dalam ekonomi dan politik. Banyak elite partai yang mempelopori penjualan aset-aset Negara. Atas nama swastanisasi, dijual-lah BUMN-BUMN pada perusahaan asing dengan harga sangat murah, sehingga Negara dirugikan sampai triliunan rupiah. Tetapi para broker sangat  beruntung karena selisih harga masuk ke kantong mereka. Dari sini kekuasaan digunakan bukan untuk menata dan memajukan negeri, melainkan untuk menjarahnya. Dalam kisah pewayangan, tipe pemimpin seperti ini disebut tipe Dewata Cengkar, yang berkuasa untuk menjarah kekayaan rakyat, bukan untuk membangun negara.

Orang kaya baru yang lahir berdasarkan kemampuan dan ketekunannya sebagai seorang saudagar yang ulet, memang ada tetapi sangat langka. Karena sekarang, orang berdagang bukan karena memiliki kelihaian dagang, melainkan sekedar ingin memutihkan uang jarahan. Orang kaya baru dengan uang hasil jarahan itulah yang paling banyak sekarang ini. Karena itu kehadiran mereka bukanlah potret kemajuan, tetapi sebagai bencana.
 
Terhentinya pembangunan nasional, juga pasti berakibat kesengsaraan menimpa masyarakat dengan hilangnya segala fasilitas umum, termasuk dana untuk kesejahteraan sosial.

Memasuki hari fitri ini, hari kembalinya manusia pada kondisi penciptaannya yang suci dan bersih, manusia dapat meraih ketakwaan yang dijalankan melalui olah rohani. Setelah usainya puasa dan lebaran mulai, maka sudah saatnya umat Islam, berlomba-lomba meraih ketakwaannya kembali secara sosial, yaitu dengan menjalankan prinsip kejujuran dan keadilan. Dengan kejujuran, diharapkan manusia terbebas dari penipuan dan penghisapan, sehingga dapat tercipta kehidapan yang sejahtera dan merata. Bukan hanya kesejahteraan yang dirasakan oleh kelompok tertentu.

Dengan adanya pemerataan, Negara akan terbebas dari bebannya. Negara tidak lagi harus menanggung beban kemiskinan rakyatnya, yang kian hari, jumlahnya bukan semakin berkurang, malah semakin banyak.

Kemiskinan terjadi bukan karena nasib, tetapi terjadi karena meluasnya ketidakadilan. Padahal agama dan konstitusi kita menetapkan perlunya dilaksanakan keadilan sosial untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Berbagai mekanisme, mulai dari pemberian kemampuan usaha, pemberian modal, termasuk memberikan perlindungan pada usaha mereka, harus segera diwujudkan. Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin. (Abdul Mun’im DZ)