Risalah Redaksi

Membangkitkan Tradisi

Jumat, 7 September 2007 | 11:14 WIB

Kecenderungan manusia selalu ingin berubah dan maju. Dalam mencapai kemajuan itu ada yang dengan sadar mengunakan tradisi sebagai titik tolak, tetapi ada yang menolak tradisi dan berpegang kepada kemodernan itu sendiri, tanpa mempertimbanagkan tradisi. Tentu saja dua sikap itu sulit dipadukan dan cenderung berlawanan dan saling menafikan. Padahal dalam perkembangan kebudayaan yang sehat tak ada satupun realitas yang boleh dinafikan, justeru diharapkan mampu mengolah berbagai potensi yang ada.

Jalan tengah adalah jalan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan itu yang dipraktekkan oleh kaum Nahdliyin selama ini. Dengan cara itu kehadiran kaum Nahdliyin di berbagai tempat tidak pernah mengusik ketenteraman komunitas yang dihadapi. Sementara terdapat komunitas yang setiap hadir selalu berbuat keributan karena menolak seluruh ekspresi, adat dan tradisi yang mereka jumpai. Dengan cara itu NU berkembang menjadi jamaah yang diterima hampir seluruh masyarakat Nusantara.

<>

Tetapi belakangan ini banyak kalangan Nahdliyin bahkan dari kalangan pesantren sendiri karena telah mendapatkan keilmuan keislaman di Timur tengah lalu ketika pulang melakukan berbagai gerakan purifikasi sehingga menggoncangkan dunia pesantren. Di saat yang sama banyak juga kalangan pesantren yang telah mendapatkan pendidikan modern di Barat lalu datang ke lingkungan Nahdliyin dengan melakukan dekonstruksi dan perombakan, sehingga membuat kegaduhan.

Kedua kelompok itu telah kehilangan watak ke-Aswaja-an, ke-NU-an dan bahkan ke-indonesia-an. Mereka tidak mampu melakukan akulturasi kebudayaan dan hanya melakukan absorbsi atau adopsi (menelan mentah-mentah) baik tradisi timur tengah maupun Barat. Bayangkan, mereka dengan alasan agama (puritanisme) atau modernitas (liberalisme) sama-sama menolak ajaran ahlussunnah wal jamaah, yang dianggap tidak relevan bagi kebebasan manusia.

Kedua kecenderungan itu memang lagi populer saat ini dengan militansi masing-masing. Tetapi, cara bersikap yang tidak menghargai tradisi itu ibarat menanamkan pohon tanpa menumbuhkan akar. Ide itu hanya bisa ditegakkan melalui kekerasan atau paksaan, setelah tidak ada paksaan akan tumbang. Dan ide semacam itu juga tidak bisa berkembang, karena penggeraknya sendiri memang tidak kreatif tetapi dokmatis. Sebaliknya pendakatan Nahdliyin adalah dengan proses akulturasi, dengan cara mengolah kebudayaan secara kreatif.

Lebih parah lagi gagasan semacam itu tidak pernah dipahami oleh masyarakat, karena memang sangat asing dan tidak pernah ada upaya menaturaliasasikan atau mempribumikan dengan daya pikir dan cara pandang masyarakat. Mereka ini sebagaimana kaum modernis pada umunya melihat tradisi sebagai hambatan. Padahal NU selalu melihat bahwa tradisi adalah sebagai modal yang harus dibangkitkan dan digerakkan agar sesuai dengan modernitas. Dengan demikian orang bisa menjadi modern tetapi tetap memiliki identias dan karakter, artinya memiliki identitas dan harga diri.

Memang mengelola tradisi itu repot, butuh ketelitian, butuh kecermatan dan butuh kesabaran termasuk butuh waktu. Sementara para aktivis sekrang ini sibuk mengurusi proyek satu berganti yang lain, sehingga tidak sempat memperbaiki cara berpikir dan bertindak, dan lebih parah lagi tidak sempat merefleksi untuk mengevaluasi apa yang selama ini mereka kerjakan, sehingga tidak melihat distorsi yang mereka lakukan, padahal masyarakat tahu dan menilai apa yang mereka kerjakan.

Di situlah bahwa tradisi mesti dihadapi secara kreatif, bukan secara konsumtif ataupun  apriori. Pendekatan itu tidak akan mengetahui makna tradisi dan tidak bisa membangkitkan kekuatan strategis yang dimilikinya. Karena itu gerakan mereka selalu gagal karena mengabaikan faktor ini. Sementara banyak gagasan yang tidak terlalu cemerlang ataupun konseptual, tetapi berhasil menggerakkan masyarakat, karena gagasan tersebut ditempatkan di ranah tradisi. Karena itulah NU mampu mengembangkan pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya berkembangan ketika ditempatkan di ranah tradisi, sehingga menjadi bagian utuh dari kehidupan masyarakat.

Bagaimana mungkin manusia hidup tanpa tradisi, sebab tradisi adalah kesadaran kolektif yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak. Tidak hanya dalam berbudaya atau mengembangkan ilmu pengetahuan, pengembangan agama yang bermuatan doktrin itupun harus mempertimbangkan tradisi. Dengan menempatkan agama di atas tradisi itulah agama berkembang secara wajar dan dipeluk oleh seluruh umat.

Namun tradisi harus disikapi secara kreatif, kalau tidak masyarakat akan mengalami kemandekan. Tradisi bukan sesuatu yang sekali jadi tetapi perlu terus dikembangkan. Ketika tradisi dihidupkan dan dikembangkan, maka tradisi akan tumbuh dewasa dan akan mampu mensikapi setiap perkembangan kebudayaan dengan cara dewasa. Kedewasaan berkebudayaan itulah yang diharapkan muncul sehingga orang proporsional menghadapi setiap persoalan yang dihadapi.  (Mun’im DZ)