Risalah Redaksi

Membangun Karakter Bangsa

Jumat, 17 Maret 2006 | 10:14 WIB

Kesadaran selalu datang terlambat, tetapi kata orang itu lebih baik ketimbang tidak muncul sama sekali. Namun demikian, keterlambatan itu membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa melakukan pemulihan kembali, sebab seluruh struktur, seluruh sarana telah lumpuh bahkan hilang. Kesadaran tentang pentingnya character building dan nation building itu muncul kembali ketika seluruh perangkat yang ada telah hilang. Dulu ketika Bung Karno menetapkan agenda itu dan didukung kuat oleh NU, tetapi dilecehkan semua lawan politiknya.

Akibat pengabaian tentang nation dan character building itu, Indonesia yang dulu disegani masyarakat seluruh dunia, bahkan menjadi pelopor Dunia Ketiga, tetapi sekarang menjadi bangsa yang paling buruk di dunia, korup, tidak memiliki harga diri, didikte dan dikuasasi bangsa lain dan dikategorikan sebagai bangsa kuli, yang tidak memiliki kreativitas atau daya cipta. Semuanya meminjam atau membeli dari bangsa lain, persis ketika pada masa penjajahan.

<>

Dengan mental semacam itu, maka seluruh aset negara diserahkan pihak yang dianggap tuan, yakni para pemodal asing. Dengan masuknya modal itu satu persatu perusahaan nasional dimiliki asing lalu disawatanisasi. Eksplorasi hasil bumi semuanya diserahkan pada asing akhirnya hasilnya tidak untuk kepentingan negara untuk membangun bangsa ini. Sementara untuk membangun negara hanya diperoleh dari uang hutang.

Selama bertahun-tahun menjadi negara pengutang, tetapi tidak bisa menghasilkan apa-apa, sehingga semakin hari tidak semakin menjadi negara makmur, melainkan semakin menjadi negara miskin, utang semakin menumpuk. Karena mental budak maka setiap terjadi kekuarangan bukan dengan memberdayakan sumber daya ekonomi yang ada untuk dikelola, tetapi mengambil jalan pintas dengan utang. Sebenarnya para budak itu bukan rakyat jelata. Justeru rakyat jelata masih memiliki harga diri dan kemandirian, Sebaliknya para intelektual, para professional yang berada di birokrasi dan perguruan tinggi itu yang bermental budak dan menjadi budak kepentingan bangsa lain, untuk memeras bangsa sendiri.

Baru sekarang ini timbul kesadaran kecil di kalangan kelompok kecil bahwa hilangnya harga diri kita sebagai bangsa karena hilangnya kemandirian. Sementara hilangnya kemandirian disebabkan karena hilangnya jati diri atau karakter sebagai bangsa. Hilangnya karakter itu akibat kehilangan pijakan pada pengalaman dan pijakan sejarah bangsanya sendiri. Itu terjadi karena mata rantai sejarah (baca: mata rantai kesadaran)  telah diputus oleh para kapital sejak pada masa penjajahan. Oleh karena itu, kaum terpelajarlah yang paling duluan mengalami keterputusan sejarah, bukan orang awam. Sebab, orang awam dengan sarana tradisi lisan maupun tulisan sangat tinggi kesadarannya terhadap sejarah.

Kaum terpelajar memandang bahwa tradisi Nusantara baik politik, ekonomi dan pendidikan adalah tradisi purba yang harus dilenyapkan, diganti dengan tradisi baru dari Eropa. Dari situ, semua tata cara Eropa berikut kesadarannya mulai ditanamkan seraya membuang tradisi dan kesadaran Nusantara. Sehingga pada gilirannya mereka mengadopsi seluruh sistem yang tidak relevan itu kedalam kehidupannya, maka terjadilah gap atau jurang kesadaran dan jurang kesejahteraan yang lebar antara rakyat dengan kelompok elite itu yang menimbulkan ketimpangan sosial.

Melihat kenyataan itu, maka kajian terhadap tradisi Nusantara kembali dimunculkan, bahkan sekarang menjadi tren baru. Tetapi hal itu patut diperiksa secara teliti, sebab walaupun kajian itu memiliki tema yang sama, tetapi berangkat dari motif yang berbeda. Ada kelompok yang mengkaji tradisi Nusantara sebagai sarana mempersambungkan mata rantai kesadaran sejarah. di lain pihak juga ada kelompok yang  melakukan kajian untuk mencari titik kritis yang bisa dipotong, agar tidak muncul kesadaran nasional yang membahayakan kepentingan kapital. Pasalnya, revitalisasi tradisi masa lalu tidak rasional, tidak ilmiah dan terbelakang.

Menumbuhkan kesadaran baru itu memang tidak mudah. Di samping bahan perlu terus digali, tantangan dari pihak anti tradisi juga akan semakin kuat. Belum lagi godaan pragmatisme akan muncul di setiap kesempatan, sementara cita-cita bersama, apalagi yang berjangka panjang semakin langka. Kesadaran terhadap perlunya pembangunan karakter, untuk menemukan jati diri bangsa, dimaksudkan untuk menciptakan tata dunia baru yang adil, yang tidak hanya peduli terhadap rakyat sendiri, tetapi juga peduli pada bangsa lain, sebagaimana pernah ditunjukkan bangsa ini ketika membantu bangsa lain merdeka dan bangkit dari penjajahan. (Mun’im DZ)