Tahun baru hijrah bulan Muharram adalah hari yang menandai keluarnya umat dari berbagai bala dan bencana, karena itu diperingati dengan berpuasa dan melakukan ibadah dan berbagai amalan. Ini tidak lain sebagai proses penemuan kembali jati diri kemanusiaan yang hilang di tengah pragmatisme yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan.<>
Pencarian kesejatian dan kembali kepada fitrah kemanusiaan ini penting mengingat nafsu tak ada batasnya, mengejar kebendaan tidak ada ujungnya, kompetisi tidak pernah berakhir. Sementara kehidupan telah didominasi kebendaan. Bahkan agama yang semula merupakan sarana memperdalam kerohanian menjadi sarana memperkaya kebendaan. Kenyataan itu tepat sekali diungkapkan oleh para filsuf Jawa bahwa saat ini tunggak jati mati, tunggak jarak mrajak (kesejatian telah hilang diganti dengan kesementaraan). Bahkan orang Belanda juga memiliki falsafah yang sama dalam memandang maraknya pragmatisme ini diibaratkan dengan regenboom (pohon terembesi) telah mengganti dajatiboom (pohon jati).
Bila pragmatisme telah menggejala dan merasuk ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia memang tidak akan ada idealisme yang tersisa. Tidak ada persahabatan sejati, tidak ada komitmen, tidak ada integritas, semua telah diganti dengan berbagai kontrak bisnis yang pertimbangannya hanya untung rugi secara materi. Realitas ini menjadikan rasa saling tidak percaya saling menipu menjadi sangat subur seperti tunggak jarak mrajak (bonggol jarak yang bertunas lebat).
Sadar terhadap kesejatian manusia akan hidup lebih terarah, tidak hanya dikejar oleh ambisi dan kompetisi. Akhirnya mereka mengenal asketisme, sementara asketisme hanya dikenal oleh mereka yang memiliki kekayaan dan kedalaman rohani, yaitu orang yang kaya secara budaya. Sementara orang yang miskin bidaya, rohaninya dangkal, mereka ini akan menjadi orang yang fakir (rakus) baik ketika mereka miskin ataupun kaya secara materi. Agama, filsafat, kesenian, mempu menjadikan orang kaya secara rohani dan kaya secara budaya. Kalau agama, filsafat dan seni itu dihayati secara benar, kalau tidak justeru menjadi pendorong pragmatisme yang kuat.
Pergantian tahun sebagai sarana muhasabah (penghitungan), menghitung amalan dan dosa yang telah diperbuat saat ini, serta prestasi atau kegagalan, yang dialami, agar bisa dikoreksi untuk tahun depan yang lebih baik. Muhasabah ini penting dilakukan kalau tidak tidak tahu sekarang berada di posisi mana, sehingga juga kesulitan dalam memulai suatu aktivitas. Dengan muhasabah ini kesejatian akan ditemukan, sementara penemuan kesejatian akan mengarah pada kualitas kemanusiaan yang tinggi. Manusia berkualitas itulah yang akan mampu memberikan arah dan masa depan bagi umat dan bangsa.
Para pemimpin yang tidak memiliki kesejatian, mereka hanya sibuk menipu diri dan menipu orang lain, seolah berbuat sesuatu, padahal tidak pernah melakukan apapun. Akhirnya masyarakat mengalami kemunduran dan kemiskinan baik secara materi dan budaya. Ini yang terjadi selama ini, semuanya hanya bertindak seolah-oleh dan hanya membangun citra, tidak pernah sungguhan. Kenyataan ini yang perlu diubah di masa yang akan datang agar kehidupan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua