Risalah Redaksi

Negeri Penuh Provokasi

Senin, 24 Desember 2007 | 12:10 WIB

Setiap komunitas memiliki kosmologi atau pandangan hidup sendiri. Kosmologi itulah yang mampu menjaga kehidupan mereka tidak saja dengan lingkungan alam, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Pelaksanaan etika sosial dan etika alam sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk menjaga harmoni kehidupan. Kehidupan pragmatis masyarakat modern telah menghancurkan kosmologi sosial, sehingga masyarakat mengalami desintegrasi, akhirnya masyarakat kehilangan kohesivitas sosial. Di situ etika sosial mulai melonggar ketrika masing masing tidak mempedulikan yang lain dan hanya mempedulikan diri sendiri.

Ketika masyarakat kita mengalamami desintegrasi berbarengan dengan terjadinya krisis ekonomi pertengahan 1990-an, maka kita saksikan berbagai konflik terjadi. Konflik ini memiliki akar sosial, tetapi sekaliogus juga mendapatkan provokasi dari kelompok yang berkepentingan untuk melakukan divide et impera (pecah belah). Konflik muncul dari persoalan kecil seperti perkelahian antar kampung dengan kelompok etnis dan antar kelompok agama atau politik.

<>

Sebenarnya provokasi itu selalu ada, tetapi akan mentah ketika masyarakat solid terintegrasi. Tetapi ketika integrasi sosial lemah, maka provokasi mudah terjadi, Bagaimana mungkin seseorang yang lembut tiba-tiba menjadi garang. Bagaimana sebuah kelompok yang selama ini rukun, tiba-tiba saling membantai. Ini semuanya terjadi di negeri yang terkenal tentram dan damai. Harmoni itu bisa hilang sekeajab ketika dibakar oleh sebuah provokasi.

Dua persoalan besar yang mesti diatasi, kenapa masyarakat mengalami disintegrasi dan kenapa marak provokasi. Desistegrasi sosial terjadi ketika pragmatisme telah menjadi falsafah hidup masyarakat. Ini terjadi bersamaan dengan berlangsungnya proses modernisasi yang tidak mengakar, bahkan tidak tuntas, sehingga masyarakat telah kehilangan nilai atau kosmologi lama mereka, sementara juga belum berhasil membangun kosmologi baru.

Semua ini terjadi karena modernisasi tidak diambil filosofinya, tetapi hanya gaya hidupnya, sementara gaya hidup berubah setiap saat, sehingga masyarakat kehilangan tata nilai bahkan kehilangan identitas. Hidup sepenuhnya dikendalikan oleh produk dan konsumsi. Di situ tidak ada lagi komitmen sosial, komitmen moral, hidup sepenuhnya disibukkan oleh kompetisi dan konsumsi. Materialisme ini telah menlemahkan idealisme, termasuk idealisme buat dirinya sendiri atau masa depannya sendiri, apalagi masa depan masyarakat dan bangsa. Mereka itu begitu rentan, masyarakat tanpa alas, tanpa pegangan, seperti buih yang muda dihempas goncangan dan angin.

Persoalan kedua, kenapa provokasi berkembang begitu marak, sebagaimana dijelaskan dia ats ini sebagai tektik pemecah belah dan penaklukan. Orde baru sebagai rezim koprador sangat berkepentingan untuk melemahkan masyarakat dan bangsa ini, untuk mepermudah gerak dan operasi komprador. Konflik diciptakan agar masyarakat lemah dan lengah, dengan demikian gampang untuk dikendalikan. Adudomba memang cara paling efektif untuk menghancurkan kekuatan masyarakat. Mereka tidak perlu dilumpuhkan, karena akan dilumpuhkan oleh kawan mereka sendiri.

Taktik politik itu dijalankan oleh orde baru hingga saat ini, karena itu mapir semua konflik tidak bisa dikuasai dan diselesaikan, karena memang dipelihara. Bagaimana mungkin tentara nasional dengan persenjataan yang kuat tidak berdaya menghadapi perusuh daan gerakan separatis yang lemah persenjataannya. Di sisi lain bagaimana kelompok perusuh, anti negara yang sangat ekstrim pembuat konflik sosial dipelihara oleh aparat keamanan. Sementara mereka sering membuat kekacauan di mana-mana. Bahkan mereka sering berkembang lebih cepat, sehingga tidak bisa dikendalikan lagi. Kerusuhan Situbondo, Kerusuhan Tasik, konflik sampit, gerakan separatis Aceh dan Irian. Juga maraknya Ninja di Banyuwangi.

Bahkan terakhir ini kita tiba-tiba dikejutkan oleh munculnya berbagai aliran sesat yang telah menyelinap hampir ke semua desa. Ternyata sebagian aktivis aliran itu memiliki akar dalam kelompok Islam radikal. Meraka dibiarkan membesar baru setelah itu dipukul, melalui tangan masyarakat. Akibatnya masyarakat yang biasanya tenang tidak main hakim sendiri, tetapi belakangan ini mereka gigih menumpas berbagai aliran yang dianggap sesat, sehingga terjadi amok sosial yang besar yang membuat masyarakat merasa tidak aman.

Untuk menata negeri ini ke depan perlu dibangun kembali soslidaritas sosial yang kuat, agar komitmen sosial muncul kembali sehingga etika dan kontrol sosial juga bisa berjalan kembali dengan normal. Hanya kekuatan sosial yang solid itu yang mampu membendung berbagai provokasi.

Di lain pihak sebaiknaya pemerintah dengan segenap aparatnya baik birokrasi, politisi dan aparat keamanan, harus mulai menjaga keamanan dan kesejahteraan negeri ini, dengan cara membangun harmoni sosial. Dengan menghentikan cara-cara kolonial, pecah belah dan kuasasi. Langkah ini tidak hanya merugikan dan menyengsarakan rakyat, tetapi juga memerosotkan wibawa negara. Bahkan lebih jauh lagi menghambat kemajuan bangsa, energi yang semestinya digunakan untuk menciptakan program kreatif, hanya digunakan untuk menelikung dan memusnahkan bangsa sendiri.

Untuk membangun  masyarakat sejahtera perlu membangun harmoni sosial, harmoni bangsa dan keutuhan negara. Siapapun apakah kelompok organisasi sosial, organisasi agama, aparat keamana atau politiisi, semestinya telah mulai berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Negara ini akan besar kalau energinya tidak diarahkan untuk konflik, tetapi untuk membangun negeri ini. Untuk mencari berbagai terobosan dan membangun peluang dalam segala  segi. Bila energi soaial di arahkan ke sini, maka konflik tidak terpikirkan lagi yang ada adalah, fastabiqul khairat (kompetisi yang sehat), untuk memberikan sumbangan terbesar pad bangsa dan negara. (Abdul Mun’im DZ)