Slogan itu menjadi kredo para aktivis demokrasi untuk melaksanakan berbagai aktivitasnya. Mereka menganggap bahwa isu tentang pluralisme sebagai sikap dan prinsip. Sementara para pemberi dana dan pencipta agenda itu menjadikan pluralisme sebagai sarana untuk menutup diskriminasi rasial yang mereka jalankan.<>
Kenyataan itu terbukti, di beberapa Negara maju dan demokrasi menyimpan berbagai problem rasial yang tidak pernah selesai. Hingga saat ini, Australia masih mendiskriminasi kaum aborigin yang merupakan penduduk asli benua itu. Mereka tidak memiliki hak politik, hak pendidikan dan hak untuk memperoleh kesehatan dan hidup yang layak. Mereka hanya bisa hidup dalam situasi yang sangat mengerikan menuju pemusnahan. Ini politik rasial yang dijalankan penjajah Inggris hingga pemerintah Australia saat ini. Beberapa waktu yang lalu Paus yang berkunjung ke negeri itu mengingatkan bahwa kaum imperialis sengaja menjebak mereka dengan narkotika dan minuman keras, sehingga menghancurkan masa depan mereka. Paus menasehatkan agar mereka meninggalkan alkohol dan narkotika.
Permintaan maaf yang disampaikan perdana menteri negeri itu melegakan, tetapi tidak berarti menjadi kebijakan politik yang operasional. Belum lagi ada masalah kultural dan psikologis antara kulit putih dengan kaum aborigin, sehingga derita kaum aborigin masih sangat panjang. Mereka terlanjur dijerumuskan dalam jurang kesengsaraan dan kegelapan. Karena kehilangan masa lalu, maka mereka juga kehilangan masa depannya. Hingga saat ini, belum ada langkah konkret membantu mereka untuk mandiri sehingga mampu mengatasi persoalannya sendiri serta mendapatklan hak hidup, hak politik dan hak budaya yang dirampas sejak zaman kolonial.
Agenda pluralisme tidak bisa kita terima begitu saja yang sengaja dipaksakan oleh negara-negara barat kepada kita, sebab masyarakat Indonesia jauh lebih pluralis dan hampir tidak pernah ada sikap diskriminasi. Hal itu dipaksakan pada masyarakat Indonesia demi kepentingan kolonial. Dengan adanya program itu, kehadiran para penjajah itu diterima dengan tangan terbuka, karena ada prinsip tanpa diskriminasi, walaupun kehadiran mereka untuk mengeksploitasi.
Prisnsip itu rupanya telah meresap dalam kesadaran para elit politik, terbukti dengan menerapkan asas antidiskriminasi. Maka dalam pembuatan undang-undang penanaman modal asing pasal 6 ditegaskan bahwa pemerintah memberikan perlakuan sama terhadap para investor baik dalam maupun luar negeri. Artinya, pemerintah telah melepaskan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan memberikan semua sektor kepada pihak asing, yang bisa diartikan sebagai penyerahan total pada kehendak kolonial. Karena para aktivis demokrasi sudah terjebak pada prinsip pluralisme, maka perlakuan diskriminatif dibiarkan negara yang lalai dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menyejahterakan bangsa juga dibiarkan.
Kita berharap dengan kemajuan peradaban itu bukan semakin lihai dalam melakukan manipulasi, dengan menggiatkan gerakan tetapi melupakan substansi. Tetapi hendaklah ada kejujuran, sehingga antara gerakan yang dilakuakan termasuk dalam pengembangan pluralisme, hendaklah mengutamakan subsatansi, yakni hilangnya diskriminasi rasial dalam arti yang sesungguhnya, sehingga dunia bisa hidup tenteram tanpa saling mendiskriminasi dan tanpa saling mengkoloni. Itulah perlunya kita dalam menerima berbagai paket program, perlu diketahui motif dan latar belakangnya. Jangan sampai karena ketidaktahuannya para aktivis antidiskriminasi malah menjadi pendukung diskriminasi. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua