Risalah Redaksi

Tanggung Jawab kepada Bangsa dan Negara

Selasa, 28 Agustus 2007 | 08:30 WIB

Negara yang berhasil diprokamasikan dengan mengorbankan harta, pikiran dan nyawa ini berangsur-angsur jatuh ke tangan pengusaha, baik lokal maupun internasional. Dengan rezim mometer ini semua kekuasaan jatuh ke tangan pemilik modal yang mampu membeli suara dalam Pemilu, sehingga tidak ada lagi barang yang bersatus sebagai kepentingan publik, semuanya telah dianggap komoditi atau dagangan. Namanya penguasa semua yang bisa dijual akan dijual tidak peduli harta negara, ideology maupun manusianya.

Itulah yang terjadi di republik yang diproklamasikan saat ini, akibatnya berbagai perusahaan dalam waktu singkat memperoleh untung ribuan persen, sementara ribuan rakyat kehilangan mata pencaharian, akhirnya tidak bisa memperoleh rumah, pendidikan layanan kesehatan dan kesejahteraan lainnya. Peristiwa yang sedang terjadi ketika aparat pemerintah berdagang kompor gas, maka rakyat dipaksa beli dagangan mereka dengan menarik pasok minyak tanah agar rakyat tidak lagi menggunakan kompor minyak

<>

Akibatnya ekonomi rakyat berhenti karena tidak bisa berusaha, sementara kompor gas belum disiapkan. Ironinya di tengah proses pemiskinan itu upaya pemberantasan kemiskinan terus digerakkan bahkan dengan menyewa konsultan asing. Lagi-lagi dalam keadaan seperti ini rakyat dan negara menjadi korban utamanya.

Kalangan intelektual yang dengan dalih modernitas membiarkan kebijakan para kapitalis lokal yang berkongsi dengan kapitalis global itu. Mereka bepandangan bahwa di tengah globalisme ini nasionalisme sudah tidak penting. Bahkan selalu menuduh nasionalisme sebagai bentuk dogmatisme, lalu mengajak untuk perpaling pada globalisme Dengan mencontohkan beberapa negara maju yang ada sekarang ini yang menurutnya tidak lagi mengenal asas nasionalisme.

Tampak sekali bahwa cara berpikir intelektual kita hanya bersifat sekilas, tidak pernah menerebus ke intim persoalan. Negara seliberal bahkan semaju apapun mereka sangat perpegang teguh prinsip nasionalisme, baik dalam pengembangan ekonomi, pendidikan dan politik mereka. Justeru globalisme itu dijadikan sarana untuk memperbesar kepentingan nasionalis mereka. Tetapi anehnya kelompok seperti itu berusaha mempreteli seluruh peran negara, tetapi di sisi lain membebani negara dengan serangkaian kewajiban.

Lebih jauh lagi harus dilihat bagaimana negara-negara maju di Eropa melakukan nation building selama puluhan tahun, agar warga memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan yang tinggi.  Bahkan di akhir abad ke-20 ini seorang John F Kennedy presiden Amerika masih mengajarkan; jangan tanya apa yang diberikan negara kepadanmu, tapi bertanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara. Dengan cara itu sebenarnya Kennedy sedang melakukan character building (pembentukan karakter) bagi kaum mudanya, agar memiliki kometmen pada negara sendiri.

Character building  warga negara perlu terus dilakukan agar mereka memiliki komitmen kebangsaan. Bagi kita bangsa dan negara  bukan untuk menjajah, tetapi untuk menegakkan kebersamaan dan keadilan social untuk  semuanya. Justru dengan adanya karakter semacam itu kita membantu kemerdekaan bagi umat manusia sedunia, sebab sejak awal kita melihat bahwa penjajahan tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan peri keadilan.

Kalau ada kelompok yang anti nasionalisme seperti yang terdapat di kaolangan penguasa dan pengusaha kita, sebenarnya mereka adalah orang yang  tidak peduli pada bangsa dan hanya peduli pada diri sendiri. Orang semacam itu terbukti telah menjual semua asset negara pada bangsa lain. Padahal asset negara tersebut direbut dari penjajah dengan segala pengorbanan saat revolusi kemerdekaan. Tetapi saaat ini dengan entengnya mereka serahkan lagi kepada penjajah atas nama privatisasi untuk mendapat keuntungan pribadi. Hal itu terjadi karena para pemimpin hanya memenuhi kepentingan pribadi dengan meninggalkan tanggung jawab kepada bangsa dan negara.

Ketiadaan komitmen kebangsaan dan kenegaraan dengan dalih liberalisme dan individualisme itu, maka semua tindakan bisa mereka lakukan. Jutaan rakyat setiap hari kehidlangan peluang bahkan harapan. Ini tidak semata kalah bersaing. Tetapi mereka bergerak berdasarkan monopoli bahkan represi. Kalau ini terus dibiarkan eksistensi bangsa dan negara kita hilang, ketika semua sector sudah tidak duikuasasi menaga atau dikuasasi bangsa sendiri. Di situlah penjajahan kembali terjadi, akibat dari kelengaahan dan ketidak sadaran kita. Maka penyadaran perlu terus dilakukan baik terhadap kemerdekaan negeri ini dan kesadaran pentingnya komitmen kebangsaan dan kenegaraan untuk menegakkan keadilan. (Mun’im DZ)