Tokoh

Abah Ruhiat, Pendidik dan Pejuang dari Cipasung

Rabu, 14 September 2016 | 04:01 WIB

KH Ruhiat atau dikenal dengan panggilan Abah Ruhiat lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat 11 November 1911 dan wafat pada tanggal 28 November 1977 bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397.

Ayah Ruhiat bernama Abdul Gofur dan ibunya Umayah. Ia adalah Rais Syuriyah PCNU Tasikmalaya, pendiri Pesantren Cipasung Tasikmalaya, sebuah pesantren yang kelak dilanjutkan putranya KH Ilyas Ruhiat yang menjadi Rais Aam PBNU setelah Muktamar NU di Cipasung pada tahun 1994.

Pada usia belia, ia belajar ilmu agama di pesantren Cilenga, sebuah pesantren terkenal saat itu, yang diasuh oleh KH Sobandi atau Syabandi yang merupakan murid dari KH Mahfudz Tremas. Ia mengaji di pesantren tersebut dari tahun 1922 sampai tahun 1926. kemudian ia melanjutkan pengembaraan mencari ilmu ke pesantren-pesantren lain.

Pada tahun 1927 sampai dengna tahun 1928, ia mengaji ke Pesantren Sukaraja Garut dibawah asuhan KH Emed, Pesantren Kudang Cigalontang, Tasikmalaya asuhan KH Abbas Nawawi, dan Pesantren Cintawana asuhan Kiai Toha.  Dengan demikian, silsilah keilmuannya bersambung dengan tokoh-tokoh NU lain yang juga berguru ke kiai tersebut.

Pada tahun 1931, Ruhiat bermukim di Cipasung. Kemudian mengajar santri dan masyarakat sekitar tempat itu. Mulanya mengajar di masjid untuk selanjutnya membangun pesantren yang masih berdiri hingga sekarang. Pesantren tersebut didirikan secara resmi pada tahun 1932 dengan nama Pesantren Cipasung.

Dalam mengajarkan ilmu-ilmu pesantren, Ruhiat menggunakan ngalogat dengan bahasa Sunda. Ia berpandangan, dengan santri yang berbahasa Sunda maka harus digunakan bahasa Sunda. Santri pertamanya berjumlah sekitar 40 orang. Mereka adalah para santri yang dititipkan gurunya dari Cilenga.  

KH Ruhiat dipandang sebagai seorang kiai yang berpikiran maju pada zamannya, terutama dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1935, ia mendirikan Madrasayah Diniyah. Pada tahun 1937, mendirikan Kursus Kader Muballighin wal Musyawirin. Pada tahun 1949 mendirikan Sekolah Pendidikan Islam.

Pada tahun 1953 mendirikan Sekolah Rendah yang kemudian berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah. Pada tahun 1959 mendirikan Sekolah Menengah Pertama Islam dan ditembah Sekolah Menengah Atas Islam. Serta pada tahun 1969 mendirikan Sekolah Persiapan IAIN yang kemudian berubah menjadi MAN.   

Selain sebagai seorang kiai pendidik, Ruhiat adalah seorang pejuang gerakan kebangsaan yang melawan penjajahan Belanda. Ia pernah ditangkap Belanda dan dipenjara di Sukamiskin Bandung (1941) dan di Ciamis (1942). Pada masa penjajahan Jepang, ia tersangkut pemberontakan yang dilakukan sahabatnya, KH Zainal Mustofa sehingga ia kembali dipenjara di Tasikmalaya (1944). Pada masa Revolusi kemerdekaan lagi-lagi ia dipenjara Belanda (1949).  

Sebagai kiai yang berjuang untuk kemerdekaan, pada tahun 1945, setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan, Ruhiat pergi ke alun-alun Tasikmalaya. Dia kemudian berdiri tegap di atas babancong, podium terbuka yang tak jauh dari pendopo kabupaten. Ia berpidato, menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih bangsa Indonesia cocok dengan perjuangan Islam. Oleh karena itu, kata dia, kemerdekaan harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya.  

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, ia tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Ia menolak tawaran menjadi salah seorang imam DI. Ia menampik gerakan yang disebutnya mendirikan negara di dalam negara itu, karena melihatnya sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang. Puncaknya ia hampir diculik oleh satu regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikapnya yang tegas itu ia mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya. (Abdullah Alawi)