Tokoh

Ketua Umum Muslimat NU dari Masa ke Masa (1946-2025)

Selasa, 11 Maret 2025 | 12:00 WIB

Ketua Umum Muslimat NU dari Masa ke Masa (1946-2025)

Logo Muslimat NU (Foto: NU Online)

Khofifah Indar Parawansa terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) Dewan Pembina Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) 2025-2030. Sedangkan Arifatul Choiri Fauzi terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU 2025-2030. Keduanya terpilih pada Kongres XVIII Muslimat NU 2025-2030 yang digelar pada tanggal 10-15 Februari 2025 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur. 


Istilah Ketum Dewan Pembina PP Muslimat NU ini menjadi sebuah hal yang baru, jika merujuk pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hasil kongres sebelumnya, Kongres ke-XVII tahun 2016.


Disebutkan dalam ART Muslimat NU Bab III Susunan Pengurus Organisasi Pasal 10 Pimpinan Pusat ayat 1 Pimpinan lengkap terdiri atas: Dewan Penasihat, Dewan Pakar, Pimpinan Harian, dan Pimpinan Bidang-Bidang. Tidak ada istilah Ketum Dewan Pembina.


Kemudian pada ayat 2, Pimpinan Harian terdiri dari Ketua Umum berikut Ketua I dan seterusnya, Sekretaris Umum berikut Sekretaris I dan seterusnya, Bendahara Umum berikut Bendahara I dan seterusnya.


Penulis mencatat, sebelum Kongres ke XVIII ini, PP Muslimat NU telah dipimpin oleh 6 Ketua Umum. Berikut rangkuman profil singkat para Ketum PP Muslimat NU dari masa ke masa, mulai dari awal berdiri pada tahun 1946 sampai 2025:


1.    Ny Hj Chadidjah Dahlan (1946-1947)
Dari buku Sejarah Muslimat NU (PP Muslimat NU, 1979) diterangkan Kongres pertama Muslimat NU diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar ke-16 NU, pada tanggal 28 Maret 1946 di Purwokerto. Forum Muktamar menyetujui, Muslimat menjadi bagian NU, dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat disingkat NUM.


Setelah disetujui, dibentuk pula kepengurusan NUM periode awal yang dipimpin oleh Ny Hj Chadidjah Dahlan sebagai Ketua. Adapun susunan lengkap kepengurusan awal sebagai berikut: Nyai Fatmah (Penasihat), Ny Chadidjah Dahlan (Ketua), Ny Mudrikah (Penulis I), Ny Muhajja (Penulis II), Ny Kasminten (Bendahari), Ny Fatehah, Ny Musyarrafah, dan Ny Alfiyah (Pembantu).


Selain pembentukan NU bagian Muslimat dan kepengurusannya, juga dibuat Peraturan Khususi NU bagi NU Muslimat dan disahkan oleh KH Hasyim Asy'ari dan KH A Wahab Chasbullah. Peraturan ini kemudian ditetapkan sebagai Anggaran Dasar Muslimat NU yang pertama.


Ny Hj Chadidjah Dahlan, wanita kelahiran Pasuruan tahun 1912, merupakan istri dari Ketum PBNU (1944-1950 dan 1954-1956) dan Menteri Agama RI (1967-1971) KH Muhammad Dahlan. Pada masa kepemimpinannya, kantor pusat Muslimat NU bertempat di rumah Ketum PBNU KH M Dahlan di Pasuruan. Sejak peristiwa perang 10 November 1945, PBNU juga memindahkan kantor pusatnya di Surabaya ke tempat yang sama.


Sebagai tokoh wanita dari kalangan NU, bersama Ny Hj Mahmudah Mawardi ia pernah ikut duduk dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang memiliki tugas untuk membantu presiden menjalankan tugas-tugas sebelum badan-badan legislatif dibentuk. KNIP merupakan cikal bakal terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 


Pada Kongres ke-II Muslimat NU di Madiun, 25 Mei 1947, organisasi ini makin berkembang dengan membentuk sejumlah komisaris daerah, di antaranya di Madiun (dipimpin Ny Mahfudzh Effendi), Surabaya (Nihayah Bakri), Banyumas (Ny Sulimah), Kedu (Ny Saifuddin Zuhri), Cirebon (Ny Chasanah Mansur), Priangan/Tasikmalaya (Ny Ronasih), Jember/Besuki, Malang/Pasuruan (Ny Alfiyah), dan Tapanuli (Aisyah Wahab).


Pada masa kepengurusan Ny Chadidjah, meski sudah ada pembentukan komisaris daerah, namun pengurus Muslimat NU di masa tersebut banyak yang masih disibukkan dalam perjuangan perang revolusi. Sebagian ikut bersama keluarga, mengungsi ke daerah yang aman. Sebagian pula ikut membantu para pejuang, di bagian dapur umum, pengobatan, dan lain sebagainya.


Ketika berkecamuk perang agresi militer I pada tahun 1947, Kantor pusat PBNU dan Muslimat NU pun dipindah dari Pasuruan ke Madiun. Ketika berkantor  di Madiun, Muslimat NU berhasil mengadakan kegiatan kursus Muslimat yang diikuti sekitar 60 peserta. Pada September 1948, pecah peristiwa Madiun Affair di mana banyak tokoh kiai dan kaum muslimin yang dibunuh. Kurang lebih, sebulan setelah peristiwa itu, Ny Chadidjah wafat pada tahun 1948.


2. Ny R Hindun (1949-1950)
Meski mengalami berbagai kesulitan, akibat wafatnya sang Ketua Umum Ny Hj Chadidjah Dahlan dan suasana perang agresi militer kedua (19 Desember 1948-5 Januari 1949), Namun pengurus Muslimat NU masih terus melakukan gerakan.


Setelah peristiwa Madiun dan agresi militer kedua, kantor PBNU dan Muslimat NU telah kembali lagi ke Surabaya. Kemudian, juga dibentuk susunan kepengurusan baru yang terdiri dari: Nyai Fatmah (Penasihat), Ny Hindun (Ketua I), Ny Yasin (Ketua II), Nona Nihayah Bakri (Penulis I), Ny Murtasiah (Penulis II), Ny Sulaiman (Bendahara), Ny Sulamulhadi, Ny Zubaidah, dan Ny Chuzaimah (Pembantu).


Nama Ny Hindun sebagai Ketua I dalam kepengurusan ini sekaligus menjadi catatan baru atau bahkan meralat di beberapa sumber, semisal buku Ensiklopedia Khittah NU : Jilid 2 (2020), Antologi NU (2007), yang menuliskan Ny Yasin sebagai Ketua Umum Muslimat NU (1947-1950). Sebab hingga tahun 1948, posisi Ketum PP Muslimat NU masih diemban oleh Ny Chadidjah yang kemudian baru diganti oleh Ny Hindun (Ketua I) di tahun 1949.


Dipilihnya Ny Hindun sebagai Ketua I, sebetulnya bukanlah sebuah kebetulan. Wanita asal Surabaya ini merupakan bagian dari tokoh yang ikut hadir dalam Kongres ke-XV NU di Surabaya tahun 1940, bersama Ny Hj Djuaesih dan lain-lain. Pada momen tersebut, telah diusulkan agar Muslimat memiliki kepengurusan tersendiri, yang kemudian telah diserahkan keputusan tersebut kepada bagian syuriyah. Namun, sebelum keputusan tersebut terlaksana, pecah Perang Dunia II yang berimbas juga ke wilayah Hindia Belanda.


Sayangnya, tidak banyak catatan yang penulis temukan mengenai Ny Hindun ini. Meski demikian, keberadaannya tetap menjadi catatan penting dalam sejarah Muslimat NU, baik sebelum resmi didirikan di tahun 1946 maupun ketika era transisi setelah wafatnya Ny Chadidjah Dahlan.


3. Ny Hj Mahmudah Mawardi (1950-1979)
Wanita kelahiran Solo, 12 Februari 1912 ini, merupakan Ketum PP Muslimat NU terlama. Ia memimpin organisasi wanita NU ini selama 29 tahun (1950-1979). Dimulai pada periode 1950-1952 dan berlanjut pada periode 1952-1954, 1954-1956, 1956-1959, 1959-1962, 1962-1967, 1967-1968, dan terakhir 1968-1979.


Di masanya, Muslimat NU tampil sebagai sebuah organisasi wanita yang cukup progresif. Muslimat berperan aktif di dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani). dan ikut mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) sebagai wadah untuk mempersatukan gerak langkah organisasi-organisasi wanita Islam dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama.


Mahmudah telah aktif di Muslimat sejak era perintisan. Ia ikut hadir pada Rapat Umum Muslimat NU yang diselenggarakan pada Muktamar ke-XIV NU di Magelang tahun 1939. Ia mewakili NU Muslimat Surakarta (Solo). Kemudian pada tahun 1948, ketika diadakan Kursus Muslimat NU di Madiun, ia ikut membantu kegiatan tersebut sebagai guru pengajar. Di masa itu, ia merupakan guru di Nahdlatul Muslimat (NDM) Kauman dan Sunniyah Keprabon Solo.


Di masa kepemimpinannya, pada Kongres ke-4 Muslimat NU di Palembang tangal 28 April - 1 Mei 1952, salah satu keputusan penting yang disepakati dalam kongres ini, yakni terkait perubahan nama dan status. Nama berubah dari Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) menjadi Muslimat NU. Kemudian, status organisasi menjadi badan otonom NU, dari sebelumnya yang disebut sebagai: bagian wanita di dalam lingkungan NU. Hal tersebut juga berimplikasi pada pembuatan AD/ART tersendiri.


Setelah tak lagi menjabat sebagai ketua umum, Ny Mahmudah tetap aktif di Muslimat NU sebagai penasihat. Nyai Hj Mahmudah Mawardi wafat pada tanggal 18 November 1987 dan dimakamkan di Astana Pulo Laweyan Solo.


4.    Ny Hj Asmah Sjahruni (1979-1995)
Ny Hj Asmah Sjahruni, wanita asal Rantau Kalimantan Selatan, memimpin organisasi wanita NU ini sebagai Ketua Umum (Ketum) selama tiga periode (1979-1984, 1984-1989, dan 1989-1995). Di masa kepemimpinannya, Muslimat NU berhasil melewati masa-masa kritis dan juga dapat membina baik hubungan kelembagaan dengan berbagai pihak.


Keberhasilan membawa Muslimat NU pada fase tersebut, salah satu faktornya tak lepas dari pengalaman dan kecintaan Hj Asmah Sjahruni di dalam khidmatnya bersama Muslimat NU. Pada tahun 1952, di usia sekitar 24 tahun (Asmah lahir 28 Februari 1928), ia sudah menjadi Konsulat Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan.


Kiprahnya di Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU berawal setelah Kongres ke-7 tahun 1959. Dalam kepengurusan yang dipimpin Ketum Ny Hj Mahmudah Mawardi, ia mengemban amanah sebagai Ketua Sosial. Namun, pada periode kepengurusan berikutnya, yakni 1962-1967 dan 1967-1979, pengalamannya di bidang pendidikan membuat ia dipilih untuk menjadi Ketua II / Bagian Pendidikan (Ma'arief) PP Muslimat NU.


Pada Kongres ke-X Muslimat NU yang diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar ke-25 NU di Semarang, pada tanggal 5 sampai dengan 11 Juni 1979, ia terpilih menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU.


Perlu diingat, pada masa itu NU tengah mengalami ujian yang berat di tengah transisi dari partai politik menuju keputusan untuk kembali ke khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan. Pun, di masa orde baru tersebut NU dan banomnya banyak mengalami upaya peminggiran. Banyak pengurus dan anggota yang takut untuk mengaku sebagai orang NU. Terutama, mereka yang bekerja di pemerintahan.


Namun, pelan tapi pasti, NU dan banom-banomnya, termasuk Muslimat NU, mulai bangkit. Setelah Kongres ke-11 di Situbondo tahun 1987, Muslimat NU membentuk Yayasan Pendidikan Bina Bakti Wanita yang menangani kegiatan pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi kaum wanita, serta Himpunan Daiyat Muslimat dan Fatayat NU (Hidmat).


Kemudian, di masanya pula Muslimat NU membangun Gedung Serbaguna di Ciputat yang diresmikan oleh Menag Tarmizi Taher. Hingga akhir kepengurusannya, pada Kongres ke-13 tahun 1995, dilaporkan secara struktur telah memiliki Pimpinan Wilayah di 26 provinsi, 326 Pimpinan Cabang di berbagai kabupaten/kota, dan 26.000 Pimpinan Ranting di berbagai desa/kelurahan. Selain itu juga telah membina 4.500 TK, 1525 TPQ, 49 pelayanan kesehatan, dan 26.000 majelis taklim.


Ny Hj Asmah Sjahruni wafat pada 2 Juni 2014. Jasa dan perjuangannya di Muslimat NU, menjadi bagian penting dalam sejarah organisasi wanita NU tersebut.


5. Ny Hj Aisyah Hamid Baidlowi (1995-2000)
Ny Hj Aisyah Hamid Baidlowi terpilih menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU masa khidmat 1995-2000 pada Kongres ke-XIII Muslimat NU di Jakarta tahun 1995. Ini merupakan untuk pertama kalinya, Kongres Muslimat NU dilaksanakan terpisah waktunya dengan Muktamar NU.


Perempuan kelahiran Jombang 6 Juni 1940 ini merupakan putri KH A Wahid Hasyim dan cucu KH M Hasyim Asy'ari. Meski, keturunan dari pendiri NU, ia tak serta merta menjadi ketua umum. Sejak tahun 1968, pada saat Muslimat NU dipimpin oleh Ny Mahmudah Mawardi, ia telah aktif di kepengurusan PP Muslimat NU sebagai Penulis II Bagian Sosial.


Yang menarik, di saat yang sama, sang ibu Ny Hj Solichah, juga masuk dalam kepengurusan sebagai Ketua I. Kemudian berlanjut, pada periode 1979-1984 Ny Aisyah mengemban amanah sebagai Sekretaris II, Ketua III (1984-1989), Ketua II (1989-1995), dan Ketua Umum (1995-2000).


Di bawah kepemimpinannya Muslimat NU bergerak menjadi organisasi perempuan yang mandiri, maju, dan modern. Salah satu diantaranya adalah pada program pemberdayaan ekonomi. Aisyah mendorong anggota Muslimat NU tidak menjadi konsumen saja tetapi juga harus produktif mencari penghasilan untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Program ini berhasil mendirikan 107 koperasi primer yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia dan tiga Pusat Koperasi dan Induk Koperasi Annisa (Inkopan).


Pada 8 Maret 2018 Aisyah wafat dan dimakamkan di komplek pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.


6. Ny Hj Khofifah Indar Parawansa (2000-2025)
Setelah bangsa Indonesia memasuki masa reformasi pada tahun 1998, NU dan banomnya bersiap memasuki era baru yang penuh tantangan. Pada tanggal 20 Oktober 1999, tokoh NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden ke-4 RI. Hampir setengah tahun berselang setelah Gus Dur menjadi presiden, Muslimat NU menyelenggarakan Kongres ke-14. 


Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada masa itu, Hj Khofifah Indar Parawansa, di usianya yang baru akan memasuki 35 tahun (lahir 19 Mei 1965), untuk pertama kalinya terpilih menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU masa khidmat 2000-2005. Sebelumnya, ia merupakan pengurus Bidang Ekonomi/Koperasi PP Muslimat NU 1995-2000.


Khofifah sejak mahasiswa sudah aktif di Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri). Ia memimpin roda organisasi perempuan-perempuan NU itu selama empat periode (2000-2006, 2006-2011, 2011-2016, dan 2016-2025). Ia juga menjadi Ketua PBNU (2022-2027).


Khofifah juga memiliki banyak pengalaman di dunia pemerintahan, mulai dari Anggota DPR RI, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001) dan Menteri Sosial (2014-2018), hingga Gubernur Jawa Timur (2019-2024). Khofifah juga terpilih kembali sebagai Gubernur Jatim pada Pilkada 2024 kemarin.


Di masa kepemimpinannya hingga 2025, Muslimat NU memiliki 37 Pimpinan Wilayah, 532 Pimpinan Cabang, 11 Pimpinan Cabang Istimewa, dan puluhan ribu Pimpinan Ranting yang tersebar di berbagai desa/kelurahan. Selain itu ribuan lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.


Setelah 25 tahun memimpin, Pada Kongres ke-XVIII di Surabaya tahun 2025 ini, Khofifah kembali dipercaya untuk menjadi Ketua Umum, namun kali ini dengan istilah berbeda seperti yang telah penulis kemukakan di awal.


Demikianlah profil singkat Ketum PP Muslimat NU dari masa ke masa. Selama hampir 79 tahun (1946-2025), hanya ada 6 nama yang menjadi Ketua Umum ditambah 1 Ketua di masa periode 2025-2030 ini. Kiprah organisasi emak-emak NU ini memang penuh cerita dan tak lekang ditelan zaman.


Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU