KH Abun Bunyamin Ruhiat Cipasung dan Karya Magnum Opus-nya
NU Online · Ahad, 23 November 2025 | 12:00 WIB
Fauzan Ibn Hasby
Kolomnis
Comte de Buffon pernah menyatakan bahwa ‘Gaya penulisan adalah diri penulis itu sendiri’, pun dengan ahli-ahli filologi Arab yang merangkum pesan dari al-Jahiz dalam kitab al-Bayan wa al-Tabyin yang menyatakan bahwa, ‘Kitab (tulisan) itu menunjukkan akal penulisnya lebih dari lisannya’.
Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi cukup masyhur di kalangan para penulis, cendekiawan, termasuk kalangan pesantren, terutama untuk menunjukkan adanya nilai representatif seseorang yang dapat dilihat melalui sebuah tulisannya.
Berangkat dari ungkapan itu, berupaya mengenali seorang ulama melalui karya tulisnya sangat mungkin dapat dilakukan. Begitupun dalam upaya berkenalan dengan salah satu cendekiawan Muslim yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sebagai daerah yang terkenal dengan sebutan ‘Kota Santri’, Tasikmalaya tak pernah berhenti melahirkan banyak cendekiawan Muslim yang tak hanya berhasil menuliskan tinta emas dalam sejarah Islam di Indonesia, tetapi juga mampu memberikan warisan pemikiran dan keilmuan yang khas dalam perjalanannya.
KH A Bunyamin Ruhiat (Pengasuh Pondok Pesantren Cipasung 2012-2022) adalah salah satu dari banyak ulama yang lahir dan besar di kawasan Priangan Timur. Tokoh yang dikenal sebagai Kiai Abun tersebut telah wafat pada 19 November 2022 lalu. Namun sebagaimana peran ahli ilmu yang telah masyhur diungkapkan oleh Imam Ghazali, warisan keilmuannya tetap hidup hingga saat ini.
Semasa hidup, tokoh yang disebut-sebut sebagai ‘Bapak Pembangunan Cipasung’ itu tentu telah banyak menorehkan prestasi, termasuk menelurkan berbagai karya tulis, di antaranya adalah Metode Pengajaran Akhlaq: Analisis Isi Kitab Ta’lim Muta’alim, Metode Belajar di Pesantren menurut Syekh Az-Zarnuji, dan Diktat Jurumiyah yang ditulis dalam Bahasa Sunda.
Namun dalam hal ini, Diktat Jurumiyah yang disusunnya merupakan ‘magnum opus’ yang tampak tak akan lekang oleh waktu. Sebab, diktat yang disusun untuk mempermudah memahami salah satu kitab nahwu paling legendaris di pesantren itu masih dan akan terus eksis dimanfaatkan. Tak hanya oleh Pondok Pesantren Cipasung, tapi juga banyak dari pesantren-pesantren lain di Jawa Barat yang menggunakannya, terutama mereka yang merupakan alumni.
Bahkan dalam dua kali kesempatan haul, Diktat Jurumiyah dimanfaatkan tidak hanya sebagai sarana membedah isi dan berbagai kaidah di dalamnya, tetapi juga sukses menjadi perekat silaturahmi antar santri, pemantik perasaan cinta santri pada gurunya, sekaligus jembatan nostalgia yang penuh kenangan.
Oleh karena itu, bagi orang-orang yang tak sempat bertemu dan berkenalan lebih dekat dengan Kiai Abun, membaca dan menjelajahi Diktat Jurumiyah yang sempat disusunnya adalah salah satu jalan pintas untuk mengenalnya. Namun, sebelum memulai pengelanaan lebih jauh dari salah satu karya paling monumental yang pernah dibuatnya, perlu untuk terlebih dahulu mengetahui perjalanan pendidikan yang pernah ditempuhnya.
Riwayat Pendidikan Formal
Sebagaimana tertulis dalam buku ‘Kiai Abun: Inspirator Pembangunan Pesantren Cipasung’, beliau merupakan santri yang tak hanya memiliki informasi mengenai keilmuan Islam di pesantren, tetapi juga menempuh pendidikan formal hingga jenjang S2.
Saat masih kecil hingga remaja, salah satu putra dari KH Ruhiat (Pendiri Pondok Pesantren Cipasung) tersebut memulai perjalanan pendidikannya di Cipasung. Diawali dari Sekolah Rendah Islam (SRI) Cipasung (1955-1961), kemudian di Sekolah Menengah Islam Cipasung (1961-1964), dan mengakhiri jenjang sekolah menengah di SMA Islam Cipasung (1964-1967).
Bahkan pada level perguruan tinggi, ulama yang juga dikenal sebagai cendikiawan Muslim ini masih menuntut ilmu di Cipasung, yakni di Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung. Meski pada masa itu, Kiai Abun baru mendapatkan gelar Bachelor of Art (BA) atau sarjana muda. Sebelum kemudian, gelar sarjananya secara penuh didapatkan pada saat menimba ilmu di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bandung yang kini dikenal dengan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sebagaimana tertulis dalam KH A Bunyamin Ruhiat dan Kisah Belajarnya oleh H Dendi Yuda, Jurusan Bahasa Arab menjadi wahana yang diambil olehnya pada saat itu, berlangsung pada tahun 1974 sampai dengan 1976. Barulah kemudian pada tahun 2002 beliau mulai mengambil program magister di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada jenjang tersebut, gelar yang diperolehnya adalah Magister Studi Islam pada tahun 2004.
Riwayat Pendidikan Nonformal
Sebagaimana banyak ulama lain di tanah air, tokoh yang sering disapa ‘Bapak’ oleh para santri Cipasung itu juga menempuh pendidikan non-formal. Dimana pada prosesnya, sang ayah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Cipasung menjadi guru pertamanya dalam mempelajari ilmu agama.
Selain itu, ketika beranjak dewasa Kiai Abun juga memulai perjalanannya sebagai santri di beberapa pesantren. Diambil dari apa yang tertulis dalam KH Abun Bunyamin Ruhiat, Teladan Khidmah untuk Pesantren dan NU oleh Muhammad Syakir NF, beberapa pesantren yang pernah menjadi tempatnya mencari ilmu agama diantaranya adalah Pondok Pesantren Sukaraja dengan berguru kepada Kiai Emed, Pondok Pesantren Kubang Cigalontang melalui Kiai Abbas Nawawi, dan Pondok Pesantren Cintawana yang saat itu mendapatkan pengajaran langsung dari Kiai Toha.
Menjelajahi ‘Magnum Opus’ Kiai Abun Cipasung
Saat mengulas dan mencoba memahami salah satu karyanya, yakni Diktat Jurumiyah, kita semua akan disuguhkan berbagai kemudahan yang lahir dari kehebatan struktur berpikir seorang ulama. Pada beberapa halaman awal, kemegahan pemikiran seorang cendekiawan sudah dapat ditemukan. Seorang ulama yang bergelar Doktor tersebut menyusun segalanya dengan rapi sebagai sebuah bahasan pembukaan.
Melalui daftar isi yang juga telah disusun rapi bahkan sejak tahun 1997, bagian Mukaddimah akan mengantarkan para santri dan pembaca untuk terlebih dahulu mengenal suatu disiplin ilmu yang tengah dipelajari melalui diktat tersebut. Bak sebuah tur museum, Kiai Abun memberikan semua komponen utama yang dibutuhkan dalam proses pengenalan.
Menariknya, alat yang digunakan tetap diambil dari corak keilmuan khas pesantren, yakni melalui Mabadi ‘Asryah. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para santri, sebab alat yang merupakan khas milik pesantren dapat menuntun pemikiran yang terstruktur dan sistematis sejak awal untuk mengenal suatu disiplin ilmu.
Abu Irfan bin Muhammad bin Ali Al-Shobban sebagai salah satu penggagas konsep Mabadi ‘Asyrah memang menciptakannya untuk mempermudah proses pengenalan dalam suatu pengkajian disiplin ilmu. Bahkan konsep tersebut disepakati oleh Tata Sukayat dalam buku Ilmu Dakwah Perspektif Mabadi ‘Asyrah, sebagai suatu konsep yang mengandung Term of Reference (TOR) yang dapat dimanfaatkan sebagai peta konsep atau sketsa kasar tentang suatu disiplin ilmu bagi para santri.
Demi tercapainya proses pengenalan mengenai ilmu nahwu, Kiai Abun memberikan seluruh komponen dalam Mabadi ‘Asyrah lengkap dengan kaidahnya. Dari mulai definisi, pokok pembahasan, tujuan, keutamaan, pengarangnya, hingga berbagai masalah yang akan dibahas di dalamnya.
Dari bagian pembuka tersebut, sebenarnya sudah dapat terlihat secara samar bahwa ulama yang pernah bertindak sebagai Naib (wakil) Amirul Hajj 2019 tersebut merupakan seseorang yang berpikiran secara terstruktur dan sistematis.
Tak hanya sampai di situ, kehadiran Mabadi ‘Asyrah dalam diktat tersebut juga menunjukkan adanya upaya untuk memenuhi landasan filosofis bagi para santri ketika mengenali suatu ilmu. Sebab aspek ontologi, epistemologi, serta aksiologi dari nlmu nahwu termaktub dengan jelas dan tertib di dalamnya. Sehingga para santri juga dapat mengetahui terlebih dahulu tentang apa ilmu tersebut, bagaimana cara menggali informasi berupa ilmu di dalamnya, serta nilai (manfaat) apa saja yang dapat diambil dari ilmu tersebut.
Selanjutnya, jika kita mulai membuka lembar demi lembar dari magnum opus yang pernah disusun Kiai Abun itu, akan terlihat dengan jelas susunan penulisan yang rapi dan terstruktur. Bahkan dari setiap bab yang dibahas, struktur pembahasannya diuraikan satu demi satu melalui arti definitif yang kemudian dilanjutkan dengan pembagian jenis-jenisnya dan berbagai contoh.
Hal ini tentu sesuai dengan kaidah yang berbunyi, La yajuzu at-taqsim qabla at-tahdid (tidak boleh memberikan pembagian jenis-jenis pembahasan sebelum membahas pengertian secara definitifnya terlebih dahulu).
Kelengkapan di dalamnya juga tak kalah hebat. Diktat Jurumiyah yang melegenda di kalangan santri Cipasung itu juga menyajikan pembagian definisi ke dalam dua bagian, yakni melalui pandangan lughat (etimologi) dan melalui pandangan menurut istilah (terminologi).
Pada setiap bab yang akan dilewati juga tertulis dengan sangat komprehensif. Pasalnya, semua jenis yang merupakan turunan dari suatu bahasan terus disediakan dengan rapi dan terstruktur. Misalnya seperti pembahasan ciri isim yang salah satu diantaranya adalah Tanwin. Kiai Abun tak berhenti di sana, tapi juga menyediakan wahana yang lebih jauh terkait jenis-jenis Tanwin lengkap dengan contoh-contohnya.
Kemudian jika kita berangkat pada beberapa bab yang memerlukan pembagian dan pemetaan dari jenis-jenis suatu pembahasan, diktat tersebut semakin terlihat begitu memanjakan. Sebab di sana akan tersedia tabel yang secara langsung memberikan visualisasi nyata bagi para santri. Seperti dalam pembahasan mengenai isim dhomir dengan pembagian jenis-jenisnya.
Melalui pembahasan yang terstruktur dan contoh-contoh yang begitu lengkap di dalamnya, menjadi semakin utuh dengan beberapa pembahasan yang dibumbui makna filosofis. Sebagai seorang cendekiawan Muslim, perannya dalam meneguhkan pemikiran khas pesantren yang kuat tercermin dalam hal ini. Para santri dapat dengan leluasa mengenal makna filosofis yang terkandung pada beberapa istilah dalam ilmu nahwu.
Dari ulasan singkat tersebut, tentu tidak dapat memberikan proses pengenalan yang lebih nyata sebagaimana para santri yang pernah hidup dan dididik langsung oleh Kiai Abun. Namun, mencintai keagungan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada para ulama melalui karyanya merupakan proses yang dapat dinikmati setiap lembarannya.
Paling tidak, melalui Diktat Jurumiyah yang tak pernah kehilangan eksistensinya ini kita semua dapat mengetahui bahwa ulama yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) tersebut merupakan seorang cendekiawan Muslim yang dikenal memiliki sifat penuh kerapian, ketegasan, kecerdikan, hingga ketekunan yang patut untuk dicontoh.
Terakhir, juga perlu diketahui bahwa sustainability dari Diktat Jurumiyah yang tentu hasil dari kerja keras yang dilakukan Kiai Abun ini dapat dimanfaatkan di semua tingkatan kelas pengajian. Sebab diktat tersebut tak hanya dikaji untuk menuntun para santri memahami Kitab Jurumiyah, tetapi juga menjadi hidangan pelengkap yang digunakan para santri pada saat mengaji kitab Mutammimah Jurumiyah bahkan hingga Alfiyah. Hal itu tentu berkat begitu komprehensifnya karya legendaris Kiai Cipasung tersebut.
Fauzan Ibn Hasby, penulis lepas yang berasal dari kawasan industri di Jawa Barat, Karawang, sekaligus bagian dari kalangan santri.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua