KH Ahmad Muthohar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq adalah putra kelima KH Abdurrahman. Beliau merupakan adik KH Fathan bin Abdurrahman yang meneruskan perjalanan Pesantren Futuhiyyah bersama dengan dua keponakannya, KH Muhammad Shodiq Luthfil Hakim Muslih dan KH Muhammad Hanif Muslih, sepeninggal KH Muslih bin Abdurrahman.
Sepanjang masa itu, kiai Ahmad Muthohar merupakan sesepuh yang mengampu pengajian santri dan bertindak sebagai imam sholat maktubah di Masjid An Nur Pondok Pesantren Futuhiyyah, disamping sebagai imam sholat Jumat di Masjid Jami’ Baitul Muttaqin, Kauman, Mranggen.
Sedang struktur tata kelola organisasi pesantren (termasuk pengelolaan yayasan) dipimpin oleh dua putra KH Muslih bin Abdurrahman, yakni KH Muhammad Shodiq Luthfil Hakim Muslih dan dibantu adiknya KH Muhammad Hanif Muslih.
KH Ahmad Muthohar bin Abdurrahman terkenal sebagai sosok ulama yang istiqomah. Para santri menjadi saksi keistiqomahannya dalam hal ubudiyah. Sepanjang hayat, kecuali pada saat benar-benar udzur, beliau senantiasa melaksanakan sholat maktubah berjamaah dengan para santri.
Salah satu hal yang patut menjadi teladan dari kiai kelahiran 1926 ini adalah keistiqomahan dalam beribadah. Meski harus dengan menaiki kursi roda dan didorong oleh santri dari kediaman menuju masjid, beliau tetap semangat, bahkan masih sempat keliling ke kamar-kamar pesantren untuk membangunkan santri yang tidur atau sekedar mengingatkan waktu sholat jamaah.
Disamping menjadi imam Masjid An Nur Pesantren Futuhiyyah, sehari-harinya KH Ahmad Muthohar bin Abdurrahman juga mengampu pengajian kitab-kitab salaf.
Semasa hidup, KH Ahmad Muthohar dikenal sebagai penulis produktif. Tak kurang dari 30 judul kitab kuning karyanya membahas berbagai disiplin ilmu, diantara kitab nahwu, shorof (tata bahasa), aqidah (ketahuidan), akhlak (budi pekerti), fiqih (hukum Islam), tafsir, hingga mawaris (tentang pembagian warisan).
KH Ahmad Muthohar merupakan salah satu ulama yang berkesempatan menimba ilmu dari Abu Al Faidh’ Alam Ad Diin Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani, yang masyhur dikenal dengan Syekh Yasin Al Fadani, ulama Makkah asal Padang Sumatera Barat, bergelar “Al Musnid Dunya” (ulama ahli sanad dunia), berkat keahliannya dalam hal ilmu periwayatan hadits.
Di kalangan nahdliyyin, karya-karya KH Ahmad Muthohar cukup dikenal dan masih dipakai untuk pembelajaran agama hingga sekarang. Sebut saja kitab Imrithi dan Al Wafiyyah fi Al Fiyyah (Nahwu), Akhlaqul MArdliyyah (akhlak), Tafsir Faidurrahman (tafsir), Al Maufud (Shorof), Syifaul Janan dan Tuhfatul Athfal (tajwid). Buah karyanya yang lain, kitab Rahabiyyah (warisan) serta Tsamrotul Qulub (bacaan wirid sesudah shalat).
Sebagian besar karya KH Ahmad Muthohar diterbitkan oleh penerbit Thoha Putra Semarang, yang memang dikenal sebagai penerbit kitab-kitab klasik. Selain itu, ada pula sejumlah karyanya yang dirilis oleh penerbit Malaysia.
Selain penulis produktif, KH Ahmad Muthohar juga merupakan sosok penting di kalangan nahdliyin, hingga wafat tahun 2005, beliau adalah Mustafadl Jam’iyyah al Mu’tabarah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah An Nahdliyyah.
Tak heran, kepergiannya dihantarkan oleh banyak pelayat. Sebagian mereka merupakan murid thariqah. Tak cuma dari Mranggen, para murid tersebut datang dari berbagai kota di Jawa, seperti Semarang, Purwodadi, Kendal, Sragen, Pekalongan, Blora, Pati, Solo, Cirebon, bahkan luar Jawa.
KH Ahmad Muthohar meninggal dunia pada usia 79 tahun saat melaksanakan sholat tahajud, yang rutin dilakoninya selama berpuluh-puluh tahun. Beliau wafat meninggalkan 8 putra-putri dari para istrinya, 4000-an santri, dan puluhan ribu anggota thoriqoh.
(Abdus Shomad/Ben Zabidy – PP. Futuhiyyah Suburan Mranggen)