Tokoh

KH Faqih Muntaha dan Kontribusinya pada Sastra Pesantren

Jumat, 25 Oktober 2019 | 03:30 WIB

KH Faqih Muntaha dan Kontribusinya pada Sastra Pesantren

KH Faqih Muntaha (Foto: KH Sujadi)

KH Faqih Muntaha dilahirkan di Kalibeber, Wonosobo pada 3 Maret 1955. Beliau merupakan putra pertama Almaghfurlah KH Muntaha dari istri yang bernama Nyai Hj Maiyan Jariyah. Perjalanan intelektual Abah Faqih, panggilan karibnya, melewati masa yang panjang. Dimulai dari sekolah formal pada masa kecil sampai remaja yang kemudian dilanjutkan bertualang dari satu pesantren ke pesantren lain.

 

Perjalanan intelektual Abah Faqih, sebagaimana termuat dalam situs www.alasyariyyah.com, dimulai dari pendidikan formal SD, SMP, dan STM di Wonosobo. Meski sekolah di lembaga pendidikan formal umum, bukan keagamaan, sebagai putra pengasuh pesantren Al-Asy’ariyyah beliau tentu saja telah banyak belajar ilmu agama melalui kesehariannya di pesantren.

 

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, beliau kemudian mulai melangkah untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan di pesantren. Meski ayahnya adalah pengasuh pondok pesantren, tetapi beliau justru memilih untuk belajar di pesantren lain. Mulanya, pada tahun 1973 beliau menekuni ilmu di Pondok Pesantren Termas, Pacitan dibawah asuhan KH Chabib Dimyati. Selama kurang lebih lima tahun kemudian, beliau memantapkan intelektualitas dan spiritualnya di Pesantren Krapyak yang diasuh oleh beliau KH Ali Maksum. Lalu, setahun kemudian Abah Faqih pindah untuk belajar kepada Al-Mukarrom KH Syafi'i di Buaran Pekalongan, dan setelah itu beliau pulang ke tanah kelahiran.

 

Namun, kehausan akan ilmu membuatnya tidak jenak di rumah. Meski sudah di Wonosobo, beliau tetap belajar dengan mendatangi Kiai Dimyati di sebuah pesantren di Kaliwiro yang masih satu kabupaten dengan Wonosobo. Bahkan, meski telah menikah dengan Shofiah binti KH Abdul Qadir, Cilongok, Banyumas, Abah Faqih masih menyempatkan diri untuk belajar secara intens dengan Kiai Dimyati.

 

Perjalanan keilmuan Abah Faqih dari satu pesantren ke pesantren lain tentu memberikan pengaruh tersendiri terhadap intelektualitas dan spiritualitasnya. Masing-masing kiai memiliki karakter tersendiri dalam menggembleng santrinya, selain juga memiliki kekhasan ilmu yang dikuasai. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan dan pola pikir santri, dalam hal ini Abah Faqih itu sendiri. Selain itu, dengan belajar dengan banyak guru, seorang santri akan memiliki kematangan sikap, dan penguasaan ilmu yang beragam, sebagaimana sudah ditekuninya dari guru-guru yang berbeda. Itulah kenapa, seorang kiai justru mengirim putra-putrinya ke pesantren lain, meski mereka sendiri juga memiliki pesantren.

 

Setelah cukup kenyang menimba ilmu, Abah Faqih mulai mengajar dan bersama membesarkan pesantren Al-Asy’ariyyah yang waktu itu (1980) baru memiliki kurang lebih 50 santri. Menurut beberapa sumber, kitab yang pertama kali diajarkan oleh Abah Faqih adalah Burdah karya al-Imam al-A'dzam al-Bushiri yang berisi nadzam pujian kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.  Hal ini menandakan bahwa Abah Faqih sudah lama mendalami dan mencintai sastra, khususnya puisi.

 

Setelah ayahandanya, KH Muntaha, wafat pada 29 Desember 2004, Abah Faqih meneruskan estafet kepemimpinan pesantren al-Asya’ariyah. Selain aktif mengajar santri dan mengembangkan pesantren, Abah Faqih berhasil merealisasikan cita-cita ayahandanya yang berlum terwujud, yakni mendirikan SD Takhasus al-Qur’an dan Dalul Aitam. Abah Faqih juga mendirikan sekolah-sekolah di daerah terpencil, di antaranya SMP dan SMA Takhasus al-Qur’an di daerah Ndero, bahkan sampai Majalengka, Purwokerto Banyumas, Ambarawa, hingga pelosok luar Jawa.

 

Dakwah dan pengabdian Abah Faqih tidak berhenti pada bidang pendidikan dan kepesantrenan. Beliau juga tercatat pernah aktif dalam jam’iyyah NU, mulai dari kepengurusan ranting Kalibeber, sekretaris MWC Mojotengah, dan terakhir sebagai Mustasyar NU Cabang Wonosobo.

 

Abah Faqih juga pernah terlibat aktif dalam partai politik. Namun, sejak memimpin pesantren al-Asy’ariyyah beliau melepas semua baju politiknya. Hal tersebut dilakukan demi menjaga kemaslahatan umat yang sangat sensitif terhadap perbedaan politik. Namun, sikap kritis dan kecintaan beliau terhadap Tanah Air tetap terlihat jelas dalam gerak perjuangannya, juga termanifestasi dalam karya-karya puisinya. 

 

Karya-karya Abah Faqih

Abah Faqih Muntaha dikenal sebagai kiai nyentrik. Bukan saja lantaran ia memiliki cara pandang yang berbeda dengan kiai pada umumnya, tetapi karena kesukaannya dalam menulis puisi.

 

Meskipun Abah Faqih tinggal di pesantren, tetapi puisi-puisinya mampu menjangkau sudut-sudut kehidupan yang luas. Kita tahu, sebuah puisi tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh peristiwa yang melatarbelakanginya. Melalui puisi-puisi Abah Faqih kita bisa mengintip kepribadian Abah Faqih, termasuk cara pandangnya terhadap masalah-masalah sosial keagamaan yang terjadi di sekitarnya.

 

Setidaknya, Abah Faqih telah melahirkan tiga kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Yayasan al-Asy’ariah, yakni Masih Ada Generasi Harapan, Yang Tersisa Tinggal Kemaluannya, dan Galau Hati. Selain itu, puisi-puisi Abah Faqih juga terhimpun dengan puisi-puisi santri al-Asy’ariyyah antara lain, Senandung Puisi Al-Asy’ariyyah 1 dan Senandung Puisi Al-Asy’ariyyah 2.

 

Secara umum, puisi-puisi Abah Faqih memuat kegelisahan yang dialami penulisnya, baik terkait pribadinya sendiri, maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Untuk menggambarkan dan menilai puisi-puisi Abah Faqih perlu penulis kutipkan beberapa puisi berikut:

 

 

Dulu moyang-moyangmu adalah orang-orang biasa

yang kemudian diorangkan oleh orang

Karena luhurnya budi pekerti dan ilmunya

Untuk itu bersiap-siaplah bagi anak cucunya

Untuk tidak diorangkan oleh orang-orang

Selagi tidak punya pekerti luhur dan ilmu agung

...........................

(Leluhur Berharap dalam antologi Puisi Yang Tersisa Tinggal Kemaluannya)

 

Diksi yang dipilih oleh Abah Faqih terkesan lugas, terang, dan minim akan bumbu (gaya bahasa) yang kerap digunakan penyair kontemporer. Dengan gaya puisi yang seperti itu, menjadikan puisi-puisi Abah Faqih mudah dicerna, oleh orang awam sastra sekalipun. Kesederhanaan bahasa yang digunakan Abah Faqih sebagaimana yang digunakan dalam contoh puisi di atas hampir ditemukan dalam puisi-puisi Abah Faqih yang lain.

 

Jangan salahkan aku jika aku bodoh,

goblog dan terbelakang

Karena memang aku tak mampu bersekolah

Sebenarnya aku tak bebal

 

Jangan salahkan aku

jika aku jadi pengangguran, gelandangan

Karena memang tak ada lapangan kerja

Sebenarnya aku bukan pemalas

 

Jangan salahkan aku

Bila aku jadi maling kecil, copet,

pemalak, peminta-minta dari pada mati kelaparan

Lagian aku hanya mencontoh saja

----------------

(Puisi Jangan Salahkan Aku, dalam Antologi Masih Ada Generasi Harapan)

 

Kritik sosial banyak sekali bisa kita temukan dalam puisi-puisi Abah Faqih, yang terangkum dalam ketiga buku yang memuat khusus puisi-puisinya. Penggunakan “aku” dalam puisi di atas tidak bisa dimaknai secara harfiah, bahwa aku yang dimaksud adalah penulisnya sendiri. Abah Faqih cukup pintar mengkritik penguasa yang korup dan tidak mempedulikan nasib kaum lemah dengan menggunakan bahasa sindirian yang mengena.

 

Protes, menyuarakan keadilan, melawan kedzaliman, adalah tugas siapa saja, lebih-lebih seorang ulama. Nabi sendiri memerintahkan kita untuk melawan kemunkaran (kedzaliman, kesewenang-wenangan, kejahatan) dengan tangan (kekuasaan), dan jika tidak mampu dengan mulut (termasuk juga tulisan), dan hati (yang sedih dan menolaknya). Abah Faqih secara sadar menjalankan perintah tersebut melalui puisi-puisinya.

 

Banyak sekali puisi Abah Faqih yang sarat akan muatan-muatan kritik terhadap ketimpangan, keserakahan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan para punggawa negeri. Lihatlah puisi berikut:

 

Pejabat jadi pucat

Lalu mengorbankan rakyat yang melarat

Sulit bedakan sahabat atau pengkhianat

Penjilat atau pengecut

 

Banyak orang jadi sesat tergiur bujukan terlaknat

Moral jadi bejat, saling hujat, ketika mendapat amanat

Banyak yang jadi lintah darat sebelum dipecat atau dijerat

(Penjahat Ditangkap Malaikat, dalam Antologi Puisi Galau Hati)

 

Betul, puisi-puisi Abah Faqih memang lebih didominasi oleh puisi-puisi kritik dan perlawanan. Beliau yang notabene adalah pimpinan Pesantren Al-Asy’ariyyah, yang menjadi salah satu pesantren termasyhur di Wonosobo, tidak luput memotret kehidupan dan polah para pejabat yang kerap hanya mementingkan diri dan golongannya. Abah Faqih seakan ingin menyuarakan jeritan rakyat kecil atas nasib yang menimpa mereka.

 

Perhatian Abah Faqih terhadap masalah-masalah sosial memang sudah semestinya menjadi perhatian para kiai. Zamakhsyari Dhofier (2011) mengungkapkan, bahwa para kiai sepenuhnya percaya akan perlunya pemerataan keadilan sosial dan kemajuan; dan keadilan sosial serta kemajuan harus dicapai dengan menjunjung tinggi kebersamaan, termasuk kebersamaan untuk memperoleh kesempatan pendidikan.  

 

Memang, kita bisa menemukan juga puisi-puisi renungan sufistik dalam beberapa puisi Abah Faqih, meski jumlahnya tidak banyak. Inilah sekaligus menjadi keunikan Abah Faqih, yang sebagai ulama, beliau tidak hanya memperhatikan ilmu-ilmu agama, tetapi juga menaruh perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

    

Sastra sebagai Media Dakwah

Kontribusi Abah Faqih melalui karya-karya puisi barangkali memang tidak terlihat secara kasat mata. Tetapi kebiasaan Abah Faqih dalam menorehkan pikiran dan gagasan melalui tulisan pastilah telah mempengaruhi pola pikir dan perkembangan mental santri dan masyarakat.

 

Sebagai sebuah lembaga, kita paham, pesantren tidak bisa dilepaskan dari kiprah kiai yang notabene merupakan pengasuh dan tokoh sentral sebuah pesantren. Maju mundurnya pesantren diakui atau tidak tergantung bagaimana kiai melakoni perannya. Begitu pula corak pesantren, ilmu-ilmu apa saja yang diajarkan, kiai memiliki kedudukan yang paling strategis sebagai pemegang kendali sekaligus uswah bagi para pengurus dan santri.

 

Abah Faqih telah memberikan keteladanan yang baik bagi para santri, yaitu mempertahankan tradisi literasi yang merupakan tradisi kesantrian. Dalam hal ini, Abah Faqih telah menerapkan prinsip al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (mempertahankan tradisi yang dianggap baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

 

Perkembangan zaman meniscayakan pula berubahnya metode dalam mengajarkan nilai-nilai keislaman. Amar ma’ruf nahi munkar tidak melulu melalui mimbar-mimbar pengajian, tetapi juga bisa melalui seni, melalui puisi. Sebenarnya, apa yang dilakukan Abah Faqih sudah dilakukan para pendahulunya, termasuk gurunya KH Ali Maksum yang diketahui pernah menggubah banyak syair dalam bahasa Jawa yang kemudian dihimpun dalam buku Eling-eling Siro Menungso.

 

Penyelenggaraan acara Sastravaganza yang diadakan setahun sekali sebagai bagian dari rangkaian kegitan akhirus sanah Pesantren Al-Asya’ariyah merupakan wujud nyata kecintaan dan kepedulian Abah Faqih terhadap kesenian Islam. Dan kita memang tidak boleh meremehkan kesenian Islam dan pengaruhnya terhadap kemajuan Islam umumnya, dan NU khususnya.

 

Melalui media seni, orang akan terbawa emosinya. Termasuk puisi, sanggup menyusup ke ruang-ruang bawah sadar, sehingga pesan-pesannya dapat diterima dengan lembut.Abah Faqih menulis puisi dalam Bahasa Indonesia, agar pesan-pesan puisinya bisa mudah ditangkap secara lebih luas dan mudah diterima. Pola dakwah melalui tulisan (termasuk puisi) masih sangat langka dilakukan oleh kiai-kiai NU di Wonosobo, untuk mengatakan tidak ada. Maka, dalam hal ini Abah Faqih telah turut membuka perspektif baru terhadap masyarakat tentang pentingnya membumikan literasi bagi generasi-generasi penerus Islam.

 

Tak dipungkiri, menghidupkan sastra pesantren pada hakikatnya juga menghidupkan tradisi literasi. Sebab sastra tidak pernah lepas dari dua hal, yakni membaca dan menulis. Zulfiza Ariska, dalam buku Revitalisasi Sastra Pesantren (2016) mengungkap dengan apik perihal kesamaan aktivitas sastra dengan proses ijtihad. Sebab di dalam sastra terdapat dua proses utama berpikir, yakni membaca dan menulis.

 

Membaca adalah proses mendialektikakan pemikiran dan informasi dari berbagai belahan dunia. Dengan banyak membaca maka cakrawala pemikiran akan terbuka sehingga kritis terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Bila praktik membaca dilengkapi dengan kemampuan menulis, maka kemandirian psikologis seseorang akan semakin sempurna. Melalui menulis seseorang bisa kembali melakukan dialektika dengan pemikirannya sendiri, merekonstruksi dan menyebarkannya. Maka, apa yang dilakukan Abah Faqih dengan mengembangkan sastra pesantren memiliki pengaruh dalam mengembalikan tradisi berpikir masyarakat Islam.

 

Meski Abah Faqih telah wafat pada hari Jum’at 20 Mei 2016 pada umur 61 tahun, tetapi puisi-puisinya terus hidup dan menyapa siapa saja yang membacanya. Lahu al-Fatihah!

 

Jusuf AN, Pegiat Sastra, Pengajar di Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo, Jawa Tengah