Sekitar tiga tahun terakhir kediaman H. Hasbullah berubah, terasnya gelap. Pria berusia 87 tahun ini menambal rapat terali bagian atas dinding halaman rumahnya dengan adukan semen. Dengan begitu, orang yang lalu-lalang tidak bisa melihat ke dalam. Demikian sebaliknya, pandangan yang di dalam terhalang ke luar. Namun ia memasang tiga lubang ventilasi untuk angin mondar-mandir. “Pakaian perempuan sekarang ketat. Memang rapat sih. Tetapi terkadang bahenolnya tercetak. Enaknya kita beset (sobek) sekalian, hahaha... Udah usia segini, saya tidak mau lihat begituan,” kata H. Hasbullah sambil tertawa cekikikan menceritakan karyawati-karyawati yang lalu-lalang di muka rumahnya, Jalan Pondok Pinang Timur, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Laju populasi dan banjirnya imigran desa menuju kota tidak terhindarkan. Jumlah gedung pencakar langit 15 tahun terakhir di sekitar rumahnya di Jakarta Selatan, terus melaju pesat tak terkendali oleh IMB atau AMDAL. Guru sepuh dengan tinggi badan 182 cm ini sadar, perubahan sosial dan tuntutan dunia memiliki zamannya sendiri. Ia sendiri tidak berniat mengubah laju perubahan dunia itu. Orang yang pernah sekolah sampai kelas III Sekolah Rakyat (SR) ini hanya mencoba menyesuaikan diri dengan hidup lempang dan lurus sesuai ajaran yang dipahaminya.
Sikap begini baginya bukan barang baru. Guru agama di salah satu perkampungan di Jakarta ini, sejak dahulu menerapkan sikap ini dalam praktik kesehariannya. Pilihan sikapnya ini tidak bisa dipengaruhi pandangan sarjana jebolan kampus bergengsi di mana pun. Coba saja. Meskipun berdarah etnis Betawi dari jalur bapak maupun ibu, ia berbeda dari kelaziman masyarakatnya. Hasratnya tidak disalurkan untuk membuat rumah sewa ketika para tetangganya mulai menggunakan lahan yang ada untuk rumah sewa sejak 1980-an, walaupun ia sekeluarga juga tidak berarti sudah berlimpah secara ekonomi.
“Biar saja yang lain bikin kontrakan. Saya pilih begini. Apakah kalau mereka (penghuni kontrakan) berbuat macam-macam, kita tidak ikut menanggung dosanya?” kata pria lansia yang hingga kini tidak meninggalkan pengajaran kitab-kitab agama berbahasa Arab Melayu (pegon).
Ngaji di Zaman Normal, Revolusi, Merdeka
Sejak kecil, H. Hasbullah sudah menunjukkan minatnya pada ilmu agama. Anak kepala kampung di zaman Belanda ini belajar membaca al-Quran kepada Guru Hayat, seorang guru tamatan Jami’atul Khair di kampungnya.
“Keluaran kelas enam Jami’atul Khair sudah menjadi ulama. Pelajaran agamanya 100% bahasa Arab,” ujar H. Hasbullah menyebut sekolah agama modern bergengsi di sekitar Pasar Tanah Abang itu. Kepada Guru Hayat ia belajar tajwid. H. Hasbullah terbilang murid paling menonjol dari sekian murid Guru Hayat. Ia sangat terbantu dalam membaca al-Quran karena beberapa pelajaran di sekolahnya menggunakan bahasa Arab pegon.
“Saya sedikit cepat bisa baca al-Quran karena aksara Arab pegon diberlakukan untuk mata pelajaran tertentu di sekolah zaman normal. Mereka yang tidak sekolah, cukup bebal baca al-Quran,” kata H. Hasbullah yang lahir pada 2 Februari 1928 di Jakarta.
Zaman normal yang H. Hasbullah sebut, merujuk pada era Kolonial Belanda beberapa dekade sebelum Jepang mendarat di Indonesia pada 1942. Masyarakat menyebut zaman penjajahan Belanda sebagai zaman normal karena secara politik, ekonomi, dan keamanan cenderung stabil di bawah tekanan Belanda, berbeda dengan zaman Jepang yang segala sesuatu sulit. Tidak heran kalau H. Hasbullah dibawa ke mana saja oleh Guru Hayat baik untuk kepentingan mengajar atau menghadiri undangan tertentu gurunya di luar kampung. Selain itu, ia diajarkan nahwu-shorof, ilmu gramatika Arab. “Belajar di zaman itu sangat susah, belum ada listrik. Saya setiap malam harus duduk mendakom, mendekatkan kitab dengan pelita.”
Dua tahun selepas SR, ia mengikuti tetangganya yang merantau ke Desa Brubug, Kabupaten Serang. Di Desa Brubug itulah ia nyantri kepada K.H. Halimi pengasuh pesantren di desa setempat pada 1943. “Saya berjalan kaki sejauh 23-24 km dari Kota Serang untuk sampai ke sana.”
Di sini, ia terus memperdalam pelajaran nahwu shorofnya. “Syarat kalam ana papat, lafadz, murakkab, mufid, wadha',” kata H. Hasbullah menirukan Kiai Halimi. Ia mondok hampir setahun atas inisiatifnya sendiri. “Pulang mondok, orang tua juga nggak tanya apa-apa,” katanya. Orang tuanya tidak mau tahu-menahu aktivitas mondoknya.
Pada 1944, ia mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA) di Kecamatan Kebayoran. Bersama temannya, ia dibawa ke Jatinegara untuk mengikuti pengecekan fisik mulai dari pemeriksaan mata, nafas dan ujian tulis. Mereka kemudian dikirim ke Purwakarta untuk mengikuti latihan militer. “Kita dikasih seragam hijau bekas Belanda dan celana panjang. Tetapi kaos dalam berlengan pendek dari Jepang.”
Ia dididik dengan keras. Aktivis PETA yang hobi minum air hangat-panas ini tiap hari bangun subuh, lalu berlari keluar-masuk kampung tanpa makan. “Setelah kembali ke tangsi kita baru mandi atau mencuci. Di waktu istirahat inilah, kita mengambil kopi, teh atau nasi.”
Istirahat selesai, semua kembali ke lapangan latihan baris-berbaris hingga Zuhur. Sebelumnya, kembali masuk keluar kampung. “Kalau salah sedikit, prajurit dijatuhi sanksi berlari. Nyanyi mars lambat, berlari. Jepang kejam.” Di tengah kesibukan latihan bersama satu batalion di tangsi Purwakarta, ia tetap menghadap pelita untuk mendaras pelajar nahwu-shorofnya.
Ketika Sekutu menghantam Nagasaki dan Hiroshima, Jepang di Indonesia ditekan Sekutu untuk melucuti tentara PETA. Tidak lama setelah proklamasi, PETA dibubarkan. “Saya pulang hanya membawa susu dan beras yang sangat langka ketika itu.”
Beberapa bulan berikutnya, Belanda menduduki Jakarta dan kota besar lainnya. “Tentara PETA dihubungi lagi oleh komandan masing-masing. Kita mengisi tangsi Kebayoran.” Belanda terus memperluas kekuasaannya hingga selatan Jakarta yang masih pedesaan.
“Kamis dan Jumat, 11 dan 12 November 1945, Belanda ngamuk di Kebayoran. Mereka memberondong pelor sebanyak 4-8 truk. Alhamdulillah orang di pasar tidak ada yang jadi korban. Hanya teman saya mati karena lemparan granatnya berbalik menghantam dinding.”
Dalam kondisi tidak menentu itulah, ia tidak bisa melanjutkan pelajaran mengajinya. Ia terus berpindah tugas dari satu ke lain kota untuk mempertahankan front agar Belanda tidak masuk pedalaman. “Agresi Militer I dan II, orang-orang tidak sempat mengaji. Saya sendiri terus pindah-pindah sampe Cease Fire Order (perintah gencatan senjata) dan penyerahan kedaulatan pada 1949,” cerita H. Hasbullah.
Era kemerdekaan memungkinkannya kembali melanjutkan aktivitas belajar. Ia kemudian mengaji kepada Guru Li’ing alias KH. Solichin Muhasyim, kiai terkemuka di kampungnya sendiri. “Dibantu Guru Li’ing, saya baru mulai paham nahwu-shorof yang saya hafalkan selama ini.”
Menurutnya, suasana perang sangat merugikan. Semua aktivitas macet, termasuk pengajian. Mata-mata di kampung juga bertebaran, kata H. Hasbullah yang pernah ditangkap tanpa tuduhan jelas pada 1946. Dalam kondisi perang, tidak ada makanan, yang kerap terjadi ialah penjarahan. “Pokoknya serba sulit. Jangan sampai lagi terjadi.”
Di zaman merdeka ini, ia terus mengaji dari satu ke lain rumah, dari satu ke lain masjid dan musholla. Menggali ilmu dari satu ke lain guru. Orang yang berjasa mengajarinya mengaji antara lain Guru Hayat Pondok Pinang, Guru Li’ing, Guru Saidi Gandaria-Kebayoran, Guru Jauhari asal Banten, KH. Halimi Serang, dan belakangan, di era 1980-an, muallim K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami.
Aktivitas mengajinya terus dilakukan sedapatnya. “Mengaji zaman itu susah. Susah paham. Susah biaya. Mengaji sudah dewasa. Semua kawan-kawan sudah pada berkeluarga,” kata H. Hasbullah yang mengaji sambil membesarkan 9 anaknya.
“Sewaktu kecil kami pernah bergantian dengan adik atau abang karena malu untuk meminjam beras kepada nyak-tua. Saking seringnya orang tua tidak punya beras,” kata salah seorang anaknya, Djamaluddin.
Status pegawai negeri H. Hasbullah di Kejaksaan ketika masih berkantor di Jalan Gajah Mada pada 1961, tidak menyelamatkannya dari kemiskinan. Berbeda dengan kondisi PNS sekarang yang mendapat pelbagai tunjangan dan gaji bulanan yang layak.
“Tidak bisa dihitung berapa kali nyak kami memasak segelas beras untuk dimakan 7 orang,” kata Dzulkifli, anak H. Hasbullah lainnya menambahkan. Bahkan sampai pensiun di tahun 1983, tidak ada barang mewah saat itu seperti mobil, motor, atau tanah hektaran masuk dalam daftar kepemilikannya. Dalam keadaan itu ia terus mengaji kepada sejumlah gurunya hingga suatu saat ia dipercaya masyarakat untuk melanjutkan estafet pengajaran agama di kampungnya.
Aktivitas mengajar itu ia tekuni sejak 1970an sampai kini. Ketika masih muda, ia bisa mengasuh taklim sampai 6-9 taklim dalam sepekan. Namun, kini ia hanya mengasuh pengajian umum tafsir, fikih dan tasawuf di masjidnya setiap minggu dan pengajian nahwu dan ushul fikih di kediamannya yang diikuti beberapa muridnya.
Ia dikenal keras dalam mendidik anak-istrinya, juga masyarakat. Ia khawatir kalau-kalau mereka melanggar agama. Ketika setengah baya dahulu, ia tidak segan mengejar pemuda yang menyandang gitar atau mengenakan celana di atas lutut.
“Di Kejaksaan banyak barang dan duit-gelap, lu jangan pernah bawa pulang begituan,” pesan H. Hasbullah kepada Dzulkifli yang meneruskan kepegawaiannya di Kejaksaan. Sesepuh yang punya perhatian penuh pada pengetahuan geografi ini sekarang mengabdi sebagai penasihat MI Al-Fauzain dan Masjid Dakwatul Islamiyah yang didirikan di atas tanah orang tuanya.
Meskipun sudah sangat lanjut, sisa-sisa pendidikan militernya hingga kini masih terasa. Suaranya lantang, tulang punggungnya selalu tegak ketika duduk maupun berdiri. Istrinya wafat setahun lalu, Maret 2014. Ia tidak berniat kawin lagi. Sisa hidupnya ia habiskan untuk zikir dan semaan al-Quran. Ia kerap keluar rumah sesekali melihat kondisi kampungnya yang semakin terasing diapit pembangunan pelbagai gedung. Sesekali ia menerima tamu untuk meminta doa atau sekadar pamit membuat hajatan.
H. Hasbullah masih konsisten menjaga hidup lurus yang dipahaminya. Ia sadar usianya tidak akan lagi panjang. Oleh sebab itu, ia menitipkan sejumlah uang yang dimilikinya kepada salah seorang anak untuk pengurusan jenazah dan pemakamannya kelak. “Saya ingin jasad saya diurus dengan biaya yang saya tahu jelas darimana asalnya.”
KH Hasbullah wafat pada Kamis, 29 Jumadil Akhir 1437-7 April 2016 di usia 88 tahun. Warga Pondok Pinang, Kebayoran Lama kehilangan guru agamanya. Usai sembahyang ashar mereka berduyun-duyun mengantarkan gurunya ke Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (Alhafiz Kurniawan)
*) Tulisan ini diambil dari buku Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam Jilid 2, Dirjen Pendis Kemenag RI, Cetakan Pertama, Desember 2015.
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
4
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua