Mengenal Jejak Ilmu Imam al-Qadhi Iyadh: dari Andalusia hingga Maroko
Selasa, 12 November 2024 | 18:30 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Di negeri yang kini dikenal sebagai Maroko, dengan perbukitannya yang bergelombang dan riak angin padang pasir yang menyentuh setiap sudut kota, lahir seorang ulama besar yang namanya tak lekang oleh waktu: Imam al-Qadhi Iyadh. Di era kegemilangan ilmu dan budaya Islam, Imam al-Qadhi Iyadh hadir tidak sekadar sebagai ulama, melainkan sosok pembawa cahaya pengetahuan yang membuka hati dan pikiran umat.
Namanya menjadi harum karena kontribusinya yang monumental terhadap khazanah ilmu Islam, khususnya melalui mahakaryanya, yang berjudul as-Syifa bi Ta'rifi Huquqil Musthafa. Dalam kitab ini, ia tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga mengungkapkan cinta, pengabdian, dan penghormatan yang mendalam kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana dicatat oleh Syekh Abduh Ali Kaushik, tentang biografi singkat Imam al-Qadhi Iyadh dalam kitab as-Syifa bi Ta'rifi Huquqil Musthafa, ia adalah seorang ulama besar dalam sejarah Islam, yang memiliki nama lengkap Abu al-Fadl Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshubi as-Sabti al-Maliki. Lahir pada tahun 476 H/1083 M, di Kota Sabtah, sekarang Ceuta, yaitu sebuah kota terletak di sepanjang Selat Gibraltar, dan menjadi pemisah antara benua Eropa dan Afrika. Kota ini memiliki status sebagai wilayah otonom Spanyol dan berbatasan langsung dengan Maroko. Meskipun berada di Afrika, Ceuta secara administratif merupakan bagian dari Eropa.
Di kota tersebut ia tumbuh di dalam asuhan keluarga Arab yang dikenal dengan kemuliaan dan keilmuan. Terlahir dalam lingkup nilai-nilai yang luhur, cinta pada agama, kesalehan, kejujuran, dan ketakwaan. Sejak usia muda, ia sudah memalingkan diri dari gemerlap dunia dan memilih untuk mengisi hari-harinya dengan ketekunan dalam ibadah serta memperdalam ilmu pengetahuan. (Imam al-Qadhi Iyadh, as-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa, [Dubai: Wahdatul Buhuts wad Dirasat, tahqiq: Abduh Ali Kaushik], halaman 33).
Rihlah Keilmuan al-Qadhi Iyadh
Sebagaimana dicatat oleh Syekh Abul Abbas al-Muqri at-Tilmisani (wafat 1041 H), dalam kitabnya menjelaskan bahwa sosok al-Qadhi Iyadh merupakan pribadi yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Perjalanan ilmiahnya dimulai dengan tekad yang kuat untuk mencari ilmu, sehingga beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju Andalusia.
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordoba yang terkenal dengan pusat peradaban Islam saat itu, ia menuntut ilmu di hadapan berbagai para ulama besar, di antaranya adalah Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Ali. Dari gurunya ini, ia mempelajari banyak hal, terutama dalam bidang fiqih dan ilmu hadits, yang kelak menjadi fondasi dalam karyanya yang monumental.
Selain al-Qadhi Abu Abdillah, ia juga memperoleh izin untuk meriwayatkan hadits dari al-Qadhi Abu Ali al-Ghassani, seorang ulama besar lainnya. Tidak hanya itu, perjalanan ilmiah Imam al-Qadhi Iyadh meluas hingga ke Timur, di mana beliau belajar dari al-Qadhi Ali Hussein bin Muhammad al-Sadfari, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan masyarakat ilmiah. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Imam al-Qadhi Iyadh menunjukkan ketekunan dan kecermatan luar biasa dalam mempelajari berbagai ilmu, tidak hanya dari segi teori, tetapi juga praktik dan aplikasi ilmu-ilmu yang diajarkan.
Imam al-Qadhi Iyadh sangat dikenal karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam menilai dan mengolahnya. Beliau tidak hanya mencatat apa yang diajarkan oleh guru-gurunya, tetapi juga memperhatikan setiap detail ajaran tersebut dengan penuh perhatian. Beliau menghabiskan banyak waktu untuk menghafal, mengkaji, dan merenung tentang ilmu yang diperolehnya, yang membuatnya dikenal sebagai seorang ulama yang cerdas dan penuh dedikasi,
قَدِمَ الْأَنْدَلُسَ طَالِبًا لِلْعِلْمِ، وَأَخَذَ بِقُرْطُبَةَ عَنِ الْقَاضِي أَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِي وَغَيْرِهِمْ، وَأَجَازَ لَهُ أَبُو عَلِي الْغَسَّانِي مَا رَوَاهُ، وَأَخَذَ بِالْمَشْرِقِ عَنِ الْقَاضِي عَلِي حُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّدَفَرِ كَثِيْرًا
Artinya: “al-Qadhi Iyadh datang ke Andalusia untuk menuntut ilmu, dan belajar di Cordoba kepada al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Ali dan lainnya. Abu Ali al-Ghassani memberikan izin kepadanya atas riwayat-riwayat (hadits) yang ia sampaikan, dan ia belajar di Timur dari al-Qadhi Ali Husain bin Muhammad as-Sadfar dalam banyak hal." (Azharur Riyadh fi Akhbaril Qadhi Iyadh, [Kairo: Lajnatut Ta’lif wan Nasyr, 1358 H], halaman 240).
Kecintaannya pada ilmu membuat al-Qadhi Iyadh menjadi seorang pribadi yang tak mengenal lelah dalam menggali pengetahuan. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat gigih, tidak pernah membiarkan waktu terbuang sia-sia tanpa diisi dengan sesuatu yang bermanfaat. Setiap kesempatan yang dimilikinya digunakan untuk menuntut ilmu dan memperdalam wawasan, baik dari guru-gurunya atau melalui pemahaman mendalam pada berbagai kitab.
Setelah al-Qadhi Iyadh belajar kepada banyak ulama dan menempuh rihlah intelektual yang sangat panjang, ia menjelma menjadi sosok yang luar biasa dalam dunia keilmuan. Hari-hari panjang yang dilaluinya dalam perjalanan ke berbagai negeri demi mencari ilmu tidak hanya mengasah akalnya, tetapi juga mengukuhkan keikhlasan hatinya. Ia tumbuh menjadi ulama dengan penguasaan ilmu yang sangat luas, bak samudra yang dalam. Setiap hikmah dan pengetahuan yang diserapnya bukan sekadar teori yang kering, melainkan cahaya yang memancar dan menerangi setiap orang yang bertemu dengannya.
Kedalaman ilmunya tampak dalam setiap tutur kata dan fatwa yang ia sampaikan, membuatnya dihormati tak hanya oleh para murid, tetapi juga oleh ulama-ulama besar pada masanya. Kecermatannya dalam memahami seluk-beluk syariat, kefasihannya dalam menjelaskan hukum, dan kemampuannya menjawab berbagai persoalan membuatnya diakui sebagai salah satu pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Al-Qadhi Iyadh tak hanya menyerap ilmu, tetapi juga menaburkan manfaatnya, bak matahari yang menghangatkan bumi.
Selain menguasai berbagai cabang ilmu seperti fiqih, hadits, nahwu, dan bahasa, beliau juga menonjol dalam hal ibadah. Al-Qadhi Iyadh hafal Al-Qur’an, mendirikan shalat malam dengan penuh kekhusyukan, dan tak pernah meninggalkan dzikir serta tilawah setiap harinya. Bahkan, beliau membagi malamnya menjadi tiga bagian, satu bagian untuk tidur, satu bagian untuk ilmu, dan satu bagian lagi untuk ibadah.
Sikap dan perilakunya yang mulia membuat Qadhi Iyadh mendapat tempat di hati masyarakat. Beliau dihormati oleh para pemimpin dan ulama sezamannya, serta diangkat menjadi hakim di kota tempatnya tinggal, Marrakesh-Maroko, pada tahun 544 Hijriyah/1149 Masehi. Namun, jabatan ini tidak mengubah kepribadiannya, ia justru menambah kerendahan hati dan rasa takutnya kepada Allah swt.
Di setiap keputusan dan fatwanya, ia selalu mengedepankan keadilan tanpa memandang kedudukan seseorang. Dalam menjalankan tugas sebagai hakim, ia dikenal sangat teliti, jujur, dan tak tergoyahkan oleh pujian maupun celaan.
Tidak hanya itu, dalam dunia kepenulisan, ia meninggalkan karya-karya monumental yang menjadi rujukan ulama hingga kini. Kitab as-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa yang ditulisnya, menjadi salah satu karya terbesarnya dan terus dikaji di seluruh penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Selain itu, ia juga sering diundang dalam majelis-majelis diskusi dan debat ilmiah, di mana ilmu dan wawasan beliau menjadi inspirasi bagi yang hadir.
Al-Qadhi Iyadh Wafat
Setelah pengabdian dan perjuangan panjangnya pada ilmu dan umat Islam, dengan segala dedikasi yang tiada henti, akhirnya sang ulama yang mulia itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ia wafat di Kota Marrakesh Maroko, jauh dari kampung halamannya, meninggalkan kenangan yang abadi dalam setiap langkah hidupnya yang penuh pengorbanan.
Selama bertahun-tahun, ia mengajar, menulis, dan memberikan cahaya pengetahuan kepada banyak orang, meskipun jauh dari tanah kelahirannya. Tanah yang dulu ia kenal dengan kehangatan keluarga dan keakraban sahabat, kini hanya tersisa sebagai kenangan dalam sanubarinya. Di kota tersebut, tepat di pertengahan tahun 544 H/1149 M, hidupnya yang penuh dengan hikmah dan ilmu berakhir.
وَتُوَفِّي بِمَرَاكِشَ، مغْرِبًا عَنْ وَطْنِهِ وَسْطَ سَنَةَ أَرْبَعَ وَأَرْبَعِيْنَ وَخَمْس مائَةٍ
Artinya: “Dan ia wafat di Marrakesh, jauh dari tanah kelahirannya pada pertengahan tahun 544 Hijriah.” (Azharur Riyadh fi Akhbaril Qadhi Iyadh, [Kairo: Lajnatut Ta’lif wan Nasyr, 1358 H], halaman 240).
Ia menghadap kepada Allah dengan hati yang tulus, penuh rasa syukur atas segala rahmat yang telah diberikan selama hidupnya. Marrakesh Maroko, yang telah menyaksikan derap langkahnya, kini menjadi saksi bisu perpisahannya dengan dunia ini. Meskipun jasadnya terbaring jauh dari tanah kelahirannya, namun warisan ilmunya tetap mengalir di setiap pembelajaran yang diteruskan oleh para muridnya.
Nama dan ajarannya tetap hidup, mengalir seperti sungai yang tak pernah kering, memberi manfaat bagi umat Islam sepanjang zaman. Kepergiannya adalah akhir dari perjalanan panjang seorang hamba yang senantiasa berdedikasi pada ilmu dan umat, namun warisannya akan terus hidup dalam setiap langkah yang diambil oleh mereka yang melanjutkan perjuangannya. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua