Tokoh

KH Imron Rosyadi: Ketum GP Ansor, Diplomat, dan Politkus NU

Sabtu, 21 Desember 2024 | 18:25 WIB

KH Imron Rosyadi: Ketum GP Ansor, Diplomat, dan Politkus NU

KH Imron Rosyadi (Foto: Dokumentasi Keluarga)

Perjalanan hidup KH Imron Rosjadi (pada tulisan ini digunakan ejaan lama Imron Rosjadi untuk menunjukkan otentisitas data dari koran dan ejaan baru Imron Rasyadi untuk menunjukkan ejaan saat ini) begitu berliku, baik riwayat pendidikan dan karier organisasi maupun politiknya. Ia pernah memimpin organisasi pemuda NU, GP Ansor, sebagai ketua umum, jadi anggota parlemen, pernah dipenjara saat Orde Lama, serta duta besar. 


Imron Rosyadi lahir di Indramayu, Jawa Barat. Masa kecil hingga remaja menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren lain, di samping sekolah formal. Pendidikan HIS diselesaikan di kota kelahirannya, lulus tahun 1929. Lalu MULO di Bandung dan Cirebon lulus 1934. 


Kemudian pendidikan keagamaannya diselesaikan di Pondok Pesantren Jamsaren Solo pada tahun 1935, Madrasah Rabithah Alawiyah Solo, dan di Madrasah Unwanul Falah Kwitang, Jakarta pada tahun 1936.


Kemudian menimba ilmu di 3 negara. Pertama, di Pondok Langgar, Alor Star Kedah, Malaysia pada tahun 1937. Kedua, di Madrasah Saulatiyah Makkah, Arab Saudi pada tahun 1939. Ketiga, di Public Secondary School Bagdad, Irak 1942. Di kota dan negara ini pula, ia menempuh pendidikan di Law College pada tahun 1948.


Jadi Sekretaris KKMI dan Diplomat
Ketika Imron Rosyadi belajar di Madrasah Saulatiyah Makkah sebelum melanjutkan studinya ke Irak, di zaman itu terjadi kegoncangan politik dan ekonomi dampak Perang Dunia ke 2. Dampak itu terasa juga sampai ke Makkah banyak jamaah haji, pelajar dan mukimin Indonesia kesulitan ekonomi dan tak bisa pulang ke Indonesia. Berita itu sampai juga ke Tanah Air. Maka dibentuklah Komite untuk menangani masalah itu.


Pada sebuah catatan berjudul "Mengenang Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Makkah", beberapa tokoh umat Islam membentuk Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Mekah (Comite KMIM) pada  7 Juli 1940 dengan susunan personalia sebagai berikut: Mr. Tadjoeddin Noer (Beschermheer), Abdoelsamad (Ketua), HA Taminsaid (Bendahara), GM Ch. Kasoema (Penulis I), Abdoessalam (Penulis II), dan para anggota (Comissarissen) Fermantsjah, H. Abdoesjoekoer, A. Adjoes, Ma'soem, HA Alisaad, Anang Salman, dan Zainoeddin Zain. (Lukman Hakiem, Republika).


Untuk mempercepat gerakannya, maka dibentuklah komite yang sama di beberapa daerah, para penggeraknya mengumpulkan sumbangan dana dan seterusnya dikirim ke Makkah. Komite itu fokus untuk biaya kepulangan jamaah haji dan pelajar yang akan kembali ke tanah air. Pada praktiknya komite berkoordinasi dengan perusahaan kapal laut untuk di kirim ke Makkah sebagai sarana transportasi kepulangan jamaah dan pelajar untuk pulang.


Untuk memudahkan alur informasi dan pengiriman dan pencatatan keuangan di Makkah dibentuk pula komite dengan nama 'Komite Kesengsaraan Makkah Indonesia (KKMI), di antara pengurusnya: Imron Rosjadi, Pen, I, Madjidi Affendi, Bendahara, Moersal Aziz, Ketua I, Ahmad Rifa'i, Ketua II, A.K Djauhari, Poenulis II, Oemar Hoesain, Com, Ahmad Abdulhamid,Com. Choiri Soefian, Com dan Abdul Hamid Agil, Com.


Berita tentang masalah kesulitan finansial untuk kepulangan jamaah haji dan pelajar yang akan kembali ke Indonesia diberitakan di halaman koran Pandji Islam No 42, terbit 21 October 1940 dalam judul "MA'LOEMAT MIAI" isinya sebagai berikut : 


Pada beberapa hari baroe yang laloe, Secretariaat MIAI telah kirim kawat kepada Komite Kesengsaraan di Makkah, jang maksoednya ialah minta keterangan lebih djaoeh tentang keadaan kaoem Moekimin di Makkah itoe, lagi poela menanjakan tentang pengiriman oeang dari MIAI sudahkan diterima ataoe beloem, sebab MIAI akan mengirimkan sokongannja.


Dari pemberitaan itu terlihat bahwa komunikasi lewat telegraf antara KMIM, MIAI dan KKIM tentang perkembangan gerakan penggalangan dana untuk membantu jamaah, pelajar dan mukimin di Makkah berjalan lancar. Imron Rosyadi ketika itu sebagai penulis (sekretaris) menjalankan fungsinya dengan baik. 


Setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Imron menjadi diplomat Republik Indonesia di Irak (1947-1950) dan Arab Saudi (1950-1952).


Pimpin GP Ansor dan LAPUNU
Sekembalinya bertugas di luar negeri, Imron Rosyadi melakukan persamaan ijazah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1953 dan mendapatkan gelar Mr. atau setara dengan SH. Pada masa-masa inilah, ia mulai aktif di Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor. 


Berita tentang terpilihnya Imron Rosyadi menjadi Ketua GP Ansor dimuat di koran Kedaulatan Rakjat, edisi Djum'at 4 Maret 1955 dengan judul "Susunan Putjuk Pimpinan G.P Ansor" diberitakan tentang pemilihan Ketua GP Ansor:


Mu'tamar gerakan Pemuda Ansor ke 3 di Surabaja jang baru lalu telah memutuskan menunjuk 3 orang formateur, untuk membentuk Putjuk  Pimpinan G.P Ansor, ialah Sdr2 Mr Imron Rosjadi, KH. Wahib wahab dan Achmad Shiddiq. 


Lanjutan berita tersebut:


Setelah berusaha dengan segiat-giatnja selama beberapa hari, maka dapatlah terbentuk susunan Putjuk G.P Ansor jang sbb : Ketua Umum, Mr Imron Rosjadi, Wk. Ketua 1, Saudara KH. Wahib Wahab. Wk. Ketua 2, Achmad Shiddiq. Sekretaris Umum Aminudin Idris. Sekretaris 1, Abdulghoni Majdie. Sekretaris 2, Hamdie Hamdan. Bendahara 1, A Latief Jemjati. Bendahara 2, Abduloh Alwi Murtado. Penasahat Saudara H. Idham Chalid dan J. A. A Achsien.


Semasa menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Imron Rosyadi aktif juga di PBNU. Karena pada saat itu NU masih berstatus sebagai politik, ia terlibat dalam Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (LAPUNU). 


Peran itu diberitakan Kedaulatan Rakjat, edisi 272 dengan berita berjudul: "Rombongan Anggota PB NU", ada beberapa nama yang tercatat yang bertugas berkeliling se-Indonesia dengan dibagi beberapa wilayah, KH. Wahab, KH. Dahlan, KH masjkur, Idham Cholid, Saefudin Zuhri, Imron Rosjadi, Mr Sunardjo, KH. Ilyas, KH Wahib wahab, A.A Achsien dan Fathullah. 


Pemilu 1955 adalah keikutsertaan NU pertama kali dalam pemilu sebagai partai politik tanpa keterikatan dengan yang lain, setelah keluar dari Masyumi pada 1952. Berkat kerja keras para pengurus Partai NU, suara NU di pemilu itu cukup memuaskan, mendapat suara ketiga setelah PNI dan Masyumi dengan jumlah suara 6.955.141 (18,41 persen) dengan perolehan 45 kursi.


KH Imron Rosyadi yang dari awal terlibat di pemenangan Partai NU serta menjadi calon anggota parlemen yang mengantarkannya menjadi anggota DPR. Pemilu pertama diadakan 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan Pemilu ke dua diadakan bulan Desember untuk memilih anggota Konsituante.


Kuasa Usaha di Swiss
Sebulan lebih setelah pemilu pertama, KH Imron Rosyadi mendapat tugas dari Kementerian Luar Negeri menjadi Kuasa Usaha di Swiss, tepatnya di kota Bern. Tugasnya menjadi Kuasa Usaha 


Koran Pemandangan, edisi 315, Djumat 11 November 1955 memberitakan tugasnya pada berita berjudul Kedutaan RI di Swiss: 


Mr. Imron Rosjadi adalah salah seorang tenaga Pimpinan dari Gerakan Pemuda Ansor dan kini bekerdja pada Kementrian luar negeri. Menurut keterangan tadi, Mr Imron Rosjadi akan berangkat ke tempat kedudukanja jang baru pada tanggal 13 November jang akan datang. 


Di berita itu, KH Imron Rosyadi ditunjuk jadi Charge d'affaires (kuasa usaha) di Bern Swiss.


Masuk Penjara Karena Demokrasi Terpimpin
Pada 1959, NU mengadakan muktamar yang ke-22 di Jakarta, ia terlibat menjadi Pimpinan Sidang Tata Tertib Muktamar. Pada muktamar itu, KH Wahab Chasbullah kembali terpilih menjadi rais aam sementara KH Idham Chalid sebagai ketua umum. 


Muktamar ke-22 adalah salah satu muktamar yang berat. Selain bahasan tentang ideologi negara, kondisi politik dan ekonomi di Indonesia saat itu sedang tidak stabil, di antara penyebabnya adalah adanya gerakan-gerakan pemberontakan yang menyedot uang negara yang akhirnya membuat inflasi. Dalam istilah Kiai Wahab dalam amanat muktamar menyebutkan negara dalam masa kekacauan dan pancaroba.


Setelah muktamar selesai partai-partai dan utusannya dihadapkan pada kebijakan Soekarno yaitu Demokrasi Terpimpin. Di NU terjadi debat dan adu argumen antartokoh. Terjadi pro ada yang kontra, di antara yang kontra adalah KH Moch Dahlan dan KH Imron Rosyadi. 


Akibat penentangan terhadap Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan dalam Liga Demokrasi sebagai salah satu pendirinya di tahun 1960, pada 1962 KH Imron Rosyadi ditangkap dan dipenjara sampai 1966.


Di antara pemberitaan tentang ditangkapnya KH Imron Rosyadi menjadi tahanan politik dimuat di koran Angkatan Bersendjata, edisi 31 Agustus 1966. Isi beritanya menyebutkan: 

 

KH. Imron Rosyadi SH. jang pernah di tahan selama k.l empat tahun oleh rezim Subandrio, bilang tidak setudju, kalau tahanan Gestapu-PKI disebut "tahanan politik", dan beri saran untuk orang² itu disebit " tahanan kriminal"


The right man in the right place
Pada sebuah album foto milik keluarga Imron Rosyadi, terdapat satu foto yang di bagian belakangnya tertulis:


"Proficiat, dengan terpilihnya Bapak sebagai Ketua Komisi I DPR, Bapak adalah The right man in the right place. Dalam sidang Konstituante RI yang dramatis, Bapak dan Pak KH. Achmad Dimyati dengan naik kretek datang ke rumah kami untuk minta dengan hormat, bila nanti diadakan voting, dan berat untuk kami menerimanya, agar kami keluar, jangan menentangnya. Kami jawab, kami bukan orang plin plan, kami  akan menyokong kawan-kawan kita." 


Amin Wassalam.


Kalimat 'The right man in the right place', yang ditulis seseorang yang ditujukan untuk KH Imron Rosyadi, sepertinya memuji keberaniannya bersikap menentang Demokrasi terpimpin yang dicetuskan Soekarno, dan keberanian menentang komunis tanpa kompromi.

 

Nasihin, peminat sejarah, pengurus Lesbumi NU Jawa Barat, tinggal di Cileunyi, Kabupaten Bandung