Tokoh

Asrul Sani di Mata Dua Sastrawan Sunda

Rabu, 6 November 2024 | 10:55 WIB

Asrul Sani di Mata Dua Sastrawan Sunda

Asrul Sani (Repro buku Asrul Sani 70 Tahun: Penghargaan dan Penghormatan)

Salah seorang tokoh NU yang jarang diketahui, tapi berperan besar dalam bidang kebudayaan adalah Asrul Sani. Ia lahir di Rao, Sumatera Barat, tanggal 10 Juni 1926. Meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004. Bersama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia dikenal sebagai pelopor angkatan 45, trio pembaharu puisi Indonesia. Ketiganya menerbitkan kumpulan sajak bersama berjudul Tiga Menguak Takdir (1950).


Sajak-sajaknya pertama kali dimuat di majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia. Pada tahun 1948 bersama dengan Chairil, Asrul menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Lalu bersama dengan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Rosihan Anwar, ia menjadi redaktur ruangan kebudayaan Gelanggang dalam majalah Siasat.


Pria yang merupakan pendiri Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi), sebuah lembaga seni milik Nahdlatul Ulama ini dan juga pernah menjadi ketuanya ini, juga menulis cerpen, kritik, esai, menerjemahkan puisi, menulis skenario film, sutradara film.


Asrul Sani memang memiliki kedekatan dengan sejumlah sastrawan Indonesia, termasuk dua sastrawan asal Sunda, yaitu Ajip Rosidi dan Ramadhan KH. Ajip dikenal sebagai Begawan Sastra Indonesia dan Ramadhan KH yang dikenal sebagai sastrawan dan penulis biografi beberapa tokoh terkenal Indonesia. Asrul Sani dan dua sastrawan itu termasuk yang berperan dalam pendirian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Asrul dan Ajip bahkan pernah menjabat sebagai Ketua DKJ.


Ramah dan Kawan Mengasyikan
Ajip menceritakan bahwa sebelum bertemu langsung, ia sudah mendengar banyak tentang Asrul Sani dari kawan-kawan seniman di Jakarta. Menurut mereka, Asrul dikenal angkuh, pesolek, selalu merasa pintar sendiri, dan enggan bergaul dengan kawan-kawan yang lebih muda. Hal ini berbeda dengan Rivai Apin, yang dikenal ramah, rendah hati, suka bergaul dengan rekan yang lebih muda, dan mudah ditemui di Senen, tempat para “Seniman Senen” berkumpul.


“Memang pada pertama kali ada kesan angkuh, tetapi setelah bergaul lama, ternyata dia seorang peramah dan kawan bicara yang mengasyikkan. Dia seorang yang cerdas sekali, yang cepat dapat menangkap situasi dan cepat pula memberikan jalan ke­luar kalau menghadapi kemelut. Dia bukan orang yang mudah bingung,” tulis Ajip pada tulisan berjudul “Asrul, Asrul….” dalam buku Asrul Sani 70 Tahun: Penghargaan dan Penghormatan, 1997:4.


Memiliki Kemampuan Logika yang Kuat
Ajip, yang wafat pada 2020, mengungkapkan bahwa sejak mengenal Asrul Sani pada tahun 1954, ia hanya pernah sekali melihatnya marah dan emosional. Menurut Ajip, Asrul adalah sosok yang memiliki kemampuan logika yang sangat kuat dan selalu menghadapi segala sesuatu dengan logika yang dingin. Ia juga menggambarkan Asrul sebagai seorang yang bijak dalam berbicara dan sulit dikalahkan dalam perdebatan, dengan kalimat-kalimat yang mengalir rapi dari mulutnya dan menyampaikan pikiran-pikirannya yang jernih.


Pada tahun 1977, Panitia Festival Film Indonesia (FFI) meminta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membentuk Dewan Juri guna menilai film-film yang bersaing dalam festival tersebut. DKJ pun memenuhi permintaan tersebut dengan menunjuk sejumlah tokoh, seperti Taufik Ismail, Salim Said, dan S. Sudjojono.


Dalam perkembangan penilaian, Dewan Juri membuat keputusan mengejutkan dengan menyatakan bahwa tidak ada film yang layak mendapatkan penghargaan Film Terbaik. Keputusan ini menimbulkan kontroversi karena menyimpang dari tradisi yang selama ini memberikan penghargaan Film Terbaik kepada salah satu peserta.


Panitia FFI kemudian meminta Dewan Juri meninjau kembali keputusannya agar tetap memilih Film Terbaik, mengingat penghargaan ini memberikan dorongan kepada para produser serta nilai edukatif bagi penonton. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Dewan Juri setuju untuk memenuhi permintaan tersebut dan mulai menyusun konsep surat balasan.


Namun, saat Asrul Sani, yang menjabat sebagai salah satu ketua DKJ datang dan mendengar keputusan tersebut, ia dengan tegas menyebut para juri sebagai "kambing congek" karena menurutnya mereka seharusnya tetap pada keputusan awal. Baginya, keputusan Dewan Juri yang sudah diserahkan kepada Panitia tak boleh diubah atau dipengaruhi oleh pihak luar.


“Semua orang terperangah dan membenarkan logika Asrul. Akhirnya semuanya setuju agar kepada Panitia FFI dibuat balas­an yang isinya menolak permintaannya agar Dewan Juri menin­jau kembali keputusannya,” ungkap Ajip.


Sastrawan Berbakat dan Seniman Lengkap
Dalam buku Diantara Dua Arus: Biografi Ramadhan K.H (2013) yang ditulis oleh Ray Rizal, nama Asrul Sani sering disebut oleh Atun (Panggilan Akrab Ramadhan KH).


Ramadhan KH menceritakan bahwa saat masih SMA di Bogor, ketertarikannya pada dunia kesusastraan membuatnya mengajak teman-temannya untuk membuat majalah bernama Serodja, di mana ia menjabat sebagai pemimpin redaksi. Majalah tersebut hanya beredar di sekolah mereka, meskipun Ramadhan berharap Serodja bisa dibaca oleh masyarakat umum dan tidak terbatas pada siswa SMA saja.


Agar majalah itu dikenal luas, ia berusaha meminta tulisan dari Asrul Sani, yang saat itu kuliah di Kedokteran Hewan, Bogor. Ramadhan sudah lama mendengar nama Asrul Sani dan mengetahui reputasinya sebagai sastrawan muda berbakat. Ketika Asrul setuju untuk menulis esai di Serodja, Ramadhan merasa sangat gembira dan hampir tidak percaya bahwa Asrul Sani yang terkenal itu bersedia memberikan tulisannya untuk majalah mereka.


“Itulah awal perkenalanku dengan Asrul Sani. Begitu tulisan Asrul Sani dimuat, kepercayaan diriku muncul dan menjulang. Dalam Mimbar Indonesia, HB Jassin memuji-muji Asrul Sani setinggi langit. Bahkan HB Jassin memberinya julukan The Coming Man,” ujar Ramadhan dalam buku Diantara Dua Arus: Biografi Ramadhan K.H (2013: 38).


Atun mengungkapkan bahwa ia memiliki secuplik pengalaman dengan Asrul Sani yang menggambarkan kualitas kepenulisan Asrul. Di kalangan sastrawan, Asrul dikenal sebagai seniman “lengkap” karena ia adalah penulis esai yang brilian, penyair dengan sajak-sajak yang indah, penulis skenario yang diakui kritikus film, dan cerpenis yang tidak mengecewakan pembacanya. Karya-karya Asrul antara lain Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar, 1950), Dari Suatu Masa Ke Suatu Masa (1972), Mantera (1975), dan Jenderal Naga Bonar (1988).


Asrul juga dikenal sebagai penerjemah yang baik. Terbukti dari hasil terjemahannya terhadap karya sastra dunia seperti Laut Membisu (Vercors), Pangeran Muda (bersama Nuraini, karya Antoine de Saint-Exupéry), Rumah Perawan dan Keindahan dan Kepiluan (Kawabata Yasunari), Villa des Roses (Willem Elschot), Puteri Pulau (Maria Dermount), Kuil Kencana (Yukio Mishima), Pintu Tertutup (Jean-Paul Sartre), Julius Caesar (William Shakespeare), Sang Anak (Rabindranath Tagore), Catatan Dari Bawah Tanah (Fyodor Dostoevsky), dan Inspektur Jenderal (Nikolai Gogol).


Lawan Debat yang Seru
Ramadhan KH mengungkapkan bahwa lawan debat yang paling seru dan sering dari Boejoeng Saleh adalah Asrul Sani. Boejoeng Saleh, atau yang juga dikenal sebagai S.I. Poeradisastera adalah sosok yang berpengetahuan luas dan bisa berbicara tentang hampir semua hal sehingga teman-temannya sering menjulukinya sebagai "ensiklopedi berjalan." Ia pernah menjadi Pimpinan Pusat Lekra.


Menurut Kang Atun, keduanya sering saling unjuk pengetahuan, sementara teman-temannya hanya menjadi penonton perdebatan tersebut.


Suatu hari, Asrul Sani dan Boejoeng Saleh terlibat perdebatan tentang filsafat Nietzsche. Boejoeng, yang telah membaca karya Nietzsche, mengutip argumen dari buku tersebut, namun langsung dibantah oleh Asrul yang mengatakan bahwa pernyataan itu sudah tidak relevan. Sambil tertawa, Asrul menambahkan bahwa sudah ada jilid keempat buku Nietzsche, sementara Boejoeng baru membaca jilid ketiga. Menyadari bahwa bacaan Asrul lebih terkini, Boejoeng terdiam sejenak lalu mengelak dengan alasan harus segera pulang ke Bogor agar tak ketinggalan kereta. Setelah Boejoeng Saleh pergi, Asrul Sani membuka rahasia.


“Mana pula ada jilid keempat karangan Nietszche,” ujarnya tergelak. “Itu cuma akal-akalanku saja. Ternyata dia percaya.” Diantara Dua Arus: Biografi Ramadhan K.H (2013: 120).


Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Ia menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online