Tokoh

KH Shoheh Bunikasih, Ulama Sunda Murid Syekh Al-Azhar Ibrahim Al-Baijuri

Rabu, 15 Januari 2020 | 15:00 WIB

KH Shoheh Bunikasih, Ulama Sunda Murid Syekh Al-Azhar Ibrahim Al-Baijuri

Makam KH Shoheh Bunikasih (Foto: NU Online)

Di Desa Bunikasih (Warungkondang), Cianjur, Jawa Barat, ternyata terdapat makam seorang ulama besar Sunda yang hidup di abad ke-19 M, yaitu KH Shoheh bin KH Nuruddin. KH Shoheh tercatat wafat pada 24 Rajab tahun 1302 Hijri (bertepatan dengan 10 Mei 1885 Masehi).

Saya dan rombongan kawan-kawan Pascasarjana UNUSIA Jakarta berkesempatan menziarahi makam KH Shoheh ini pada Selasa (14/1), diantar oleh KH Heri Romdloni, pengasuh Pesantren al-I'tishom Coblong, Tegallega, Warungkondang, Cianjur. KH Heri Romdloni adalah alumni Pesantren Lirboyo Kediri.

Dalam kitab "Fawa'id al-Muhtaj" yang mengisahkan riwayat hidup KH Ahmad Syathibi (Mama Gentur, w. 1947 M), ulama sentral di Tatar Pasundan pada paruh pertama abad ke-20 M, disebutkan bahwa KH Syathibi Gentur pernah belajar dan menjadi santri dari KH Shoheh Bunikasih. Kitab "Fawa'id al-Muhtaj" merupakan karangan KH Dahyatullah bin KH.Rahmatullah, yang tak lain adalah cucu dari KH Ahmad Syathibi Gentur.

Jarak antara Gentur (Jambudipa) dengan Bunikasih memang tidak terlalu jauh, terpaut sekitar 3 kilo meter.

Dikisahkan dalam kitab tersebut bahw KH Shoheh Bunikasih adalah murid dari  syekh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860 M), ulama besar Mesir yang pernah menjabat sebagai Grand  syekh Al-Azhar Kairo sekaligus pengarang banyak kitab-kitab rujukan, di antaranya adalah kitab "Hasyiah al-Baijuri 'ala Fath al-Qarib" (dalam bidang fikih atau yurisprudens), "Hasyiah Tuhfah al-Murid 'ala Jauharah al-Tauhid" (dalam bidang teologi), termasuk nazham (puisi) "Masa'il al-Baijuri fi al-'Aqa'id" (nazhaman ini yang kemudian disyarah oleh  syekh Nawawi Banten).

KH Shoheh Bunikasih juga ternyata merupakan kawan dari  syekh Nawawi Banten (w. 1897 M), ulama besar Makkah abad ke-19 M yang banyak menulis karya keilmuan Islam dan berasal dari Nusantara.

Informasi penting lainnya yang didapati dari kitab tersebut adalah keberadaan KH Shohehlah yang ternyata yang memotivasi  syekh Nawawi Banten untuk menulis kitab "Tijan al-Darari" yang merupakan syarah atau penjelasan atas teks (matan) kitab "Masa'il al-Baijuri [fi al-'Aqa'id]" karangan  syekh Ibrahim al-Baijuri yang merupakan guru keduanya.

Sosok yang dimaksud oleh  syekh Nawawi Banten dalam redaksi (طلب مني بعض الإخوان) "telah meminta kepadaku seorang sahabatku untuk menulis kitab Tijan al-Darari", tak lain dan tak bukan adalah KH Shoheh Bunikasih ini.

Selain KH Shoheh Bunikasih, dalam kitab itu juga disebutkan seorang ulama Priangan lainnya yang menjadi murid dari  syekh Ibrahim al-Baijuri ini, yaitu KH Adzro'i Bojong, Garut (w. ?). Sayangnya saya belum mendapatkan informasi dan data yang cukup memadai terkait sosok KH Adzro'i Bojong Garut ini.

Selain dipertalikan oleh sanad keguruan pada  syekh Ibrahim al-Baijuri, antara  syekh Nawawi Banten, KH Adzro'i Garut, dan KH Shoheh Bunikasih, ketiganya juga dipertemukan sanad keilmuannya sebagai sama-sama murid dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (w. 1886), pengarang kitab "Syarah Mukhtashar Jiddan 'ala al-Ajurumiyyah" sekaligus mufti madzhab Syafi'i di Makkah pada masanya. Wallahu A'lam.
 
Penulis: A. Ginanjar Sya'ban
Editor: Abdullah Alawi