Zainul Arifin memperdalam pengetahuan agama di madrasah dan surau saat menjalani pelatihan seni bela diri pencak silat. Ia juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal Melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun, Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).
Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan, Jakarta Pusat, selama lima tahun. Kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda.
Ia aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia mendirikan kelompok Samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian itu, ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Djamaluddin Malik. Keduanya kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor.
Di GP Ansor, kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor, misalnya KH Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Kemudian ia menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.
Selama pendudukan Jepang, Zainul ikut mewakili NU dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Zainul Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, ia juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II.
Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, ia berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai Waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung.
Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi.
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, ia bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen.
Di tengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat shalat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin wafat tanggal 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua