Tokoh

KH Noer Muhammad Islandar SQ: Kiai Desa Berdakwah di Medan Ibu Kota

NU Online  ·  Senin, 10 November 2025 | 16:55 WIB

KH Noer Muhammad Islandar SQ: Kiai Desa Berdakwah di Medan Ibu Kota

KH Noer Muhammad Iskandar. (Foto: dok. Pesantren Asshiddiqiyah)

Abah Noer, panggilan akrabnya, di kalangan para santri, ia merupakan seorang pendakwah dari sebuah desa kecil di Banyuwangi. Kiai yang senantiasa mengenakan pakaian putih itu lahir di Sumber Beras, Banyuwangi 5 Juli 1955.


Perawakannya yang kecil dan pendek bahkan tak menarik – kata Husein Muhammad temanya - biasa jadi bahan gurauan oleh beberapa saudaranya, “Besok bakal jadi apa Noer Muhammad Iskandar ini?” kata mereka. Meski begitu, mental dan semangat dalam menuntut ilmunya ternyata tidak sekecil badannya. Bahkan, sedari kecil Noer Iskandar sangat senang mengaji bersama ayahnya yaitu KH Iskandar juga sepuluh saudaranya.


Salah seorang putri Gus Dur, Yenny Wahid pernah bertutur ketika peringatan Haul Abah Noer yang ke-5 “Kiai Noer ini temen nakalnya Gus Dur, dilarang makan durian malah makan bareng-bareng. Jika ingin makan aneh-aneh Gus Dur akan makan bareng Kiai Noer. Mereka itu kompak dalam segala dimensi bahkan dalam hal penyakit pun kompak.”


Masa Kecil dan Perjalanan Ilmu: Dari Banyuwangi ke Kediri
Setelah selesai mengaji bersama sang ayah di Madrasah Ibtidaiyah Manba’ul Ulum, Noer kecil melanjutkan pengembaraan menuntut ilmu ke pesantren lain. Pada usia yang masih sangat muda, sekitar tahun 1967 ia berangkat ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri salah satu pesantren terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia.


Di sanalah ia berguru kepada KH Machrus Aly, ulama karismatik yang dikenal banyak orang karena keluasan ilmu yang beliau miliki dan kedalaman spiritualitasnya. Dari Lirboyo pula Noer kecil belajar bukan hanya ilmu fikih, tafsir, dan hadis, tetapi juga tentang makna keikhlasan dalam berjuang di jalan dakwah.


Selama di Lirboyo, Noer kecil telah menjadi rais dalam musyawarah. Tugasnya adalah menjelaskan ulang materi yang telah diberikan ustadz. Noer kecil bisa memaparkan ulang dengan bahasa yang mudah dipahami para santri.


Akademisi Al-Qur'an: Menemukan Jembatan Ilmu Pesantren dan Kampus
Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di Lirboyo, Abah Noer melanjutkan pendidikan formalnya di bidang Al-Qur’an dan qiraat, yang kemudian menjadikannya menyandang gelar SQ (Sarjana Qur’an). Gelar ini menegaskan kedalaman ilmunya dalam pemahaman Al-Qur’an. Tidak sedikit yang mengakui bahwa salah satu kekuatan dakwah Abah Noer di kemudian hari adalah kemampuannya membumikan pesan Al Qur’an dalam bahasa yang sederhana namun menggugah kesadaran.


Tempat yang dipilih Abah sebagai rumah untuk mendalami Al-Qur’an dari sisi akademis adalah Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) di Jakarta Selatan. Ia ingin tidak hanya bisa memahami Al-Qur’an melalui pendekatan pesantren, melainkan dapat melihat esensi Al-Qur’an lebih luas lagi melalui kacamata akademik agar dapat mengkomparasikan kedua pendekatan tersebut.


Medan Dakwah Metropolitan: Kisah Awal Berjuang di Jakarta
Setelah melepas masa lajangnya di usia ke 27 tahun. Abah Noer bersama sang kekasih Bu Nyai Nur Jazilah berangkat menuju ibu kota kala itu. Kota Jakarta merupakan salah satu medan dakwah yang dinamis. Karena selain sebagai pusat pemerintahan dan ibukota negara pada waktu itu, Jakarta juga menjadi tempat berbaurnya ideologi, budaya dan gaya hidup modern akibat pengaruh eksternal. Bahkan tidak jarang pengaruh itu mengobrak-abrik budaya lokal kita.


Bermodal niat dan tekad serta restu dari orang tua dan guru-gurunya, Abah berani untuk memulai dakwahnya meski harus dari nol. Saat itu, Abah bersama sang istri tinggal berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah temannya. Bahkan, Abah sempat menitipkan istrinya beberapa waktu untuk tinggal bersama keponakannya, Hj. Marsyidah Tahir.


Abah Noer itu memulai dakwahnya di sebuah masjid yang ada di daerah Pluit, Jakarta Utara. Berbagai kegiatan pendidikan dan kegiatan remaja masjid mulai banyak digemari masyarakat sekitar. Dari sinilah, pintu-pintu keberkahan mulai terbuka lebar. Salah satu momentum penting adalah ketika beliau mulai mengisi program ceramah agama di radio CBB.


Lama-kelamaan, nama Abah Noer semakin populer di benak masyarakat. Ia bahkan dijuluki tiga serangkai kala itu, yaitu Kiai Noer Muhammad Iskandar, Kiai Zainuddin MZ, dan Raja Dangdut Rhoma Irama. Karir Abah Noer kian melesat dalam mewarnai panggung dai nasional. Ceramahnya mulai banyak diliput baik di TV maupun stasiun radio.


Berdirinya Pondok Pesantren Asshiddiqiyah
Seiring berjalannya waktu, berkat kegigihan dan keuletan dalam berdakwah Abah diberikan kepercayaan untuk mengasuh sebidang tanah yang diwakafkan untuk dibangun sebuah pesantren. Mulai saat itu, tepatnya pada tahun 1985 berdirilah sebuah pusat pendidikan Islam berbasis pesantren di tengah kota metropolitan bernama Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.


Langkah pertama yang beliau ambil bukan membangun kelas maupun aula yang megah, melainkan mendirikan mushala kecil sebagai simbol kerendahan hati dan ketulusan niat. Dengan bantuan dana dari H. Abdul Ghani, putra ketiga H. Djaani, berdirilah mushala sederhana yang dindingnya terbuat dari triplek, berdiri di atas tanah rawa yang dulunya bahkan menjadi tempat pembuangan sampah warga sekitar.


Namun dari tempat yang dianggap tak bernilai itulah, cahaya ilmu dan dakwah Islam mulai menyala. Mushala itu menjadi saksi awal perjalanan panjang Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Bahkan, kini pesantren itu semakin berkembang hingga mencapai 12 cabang di pulau Jawa dan Sumatera.


Amalan dan Keteladanan: Rahasia Keikhlasan Sang Kiai
Menurut teman dekatnya, Husein Muhammad kesuksesan yang diraih Abah Noer ini berkat ibadahnya. Sejak awal didirikannya Asshiddiqiyah Abah Noer senantiasa membangunkan santrinya untuk diajak tahajud bersama hingga tiba waktu subuh. 


Konon amaliah ibadah ini diperoleh dari Kiai Syukron Makmun pendiri pesantren Darul Rahman. Akan tetapi, Abah Noer tidak hanya rajin ibadah malam, melainkan membaca Yasin, puasa Daud serta juga sering mengkaji kitab kuning dengan para santri. Selain itu Abah Noer juga selalu memuliakan tamu yang beliau undang.


Warisan Abadi: Jejak Ketulusan di Tengah Hiruk Pikuk Kota
Pada hari Minggu, 13 Desember 2020 langit Ibu Kota seolah merunduk sedih. Di siang yang tenang itu, tepat pukul 13.41 WIB, dunia dakwah kehilangan seorang panutan KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Wafatnya beliau dikabarkan terjadi di RS Siloam Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kabar itu kemudian disampaikan resmi melalui kanal pesantren dan media, memancing gelombang duka dari para santri, alumni, pegiat keagamaan, dan masyarakat luas.


Warisan terbesar Abah Noer bukanlah bangunan megah atau jabatan, tetapi keteladanan hidup. Ia menunjukkan bahwa dari tempat paling sederhana pun, perubahan besar dapat lahir asalkan niatnya tulus dan langkahnya istiqamah. Dari beliau kita belajar bahwa dakwah sejati tidak menuntut kemewahan, tetapi keberanian untuk memulai dan kesetiaan untuk terus berjuang meski tanpa disuguhi tepuk tangan.


Kiai jebolan Lirboyo itu mengajarkan kita betapa indahnya keberhasilan yang ada di ujung jalan usaha, keberanian, kegigihan dan keuletan. Banyak keteladanan yang dapat diambil dan ditanamkan pada anak-anak generasi Z saat ini. Karena pada zamannya, di saat ulama mendirikan pesantren di desa-desa, Abah Noer malah bertekad membangun pesantren di tengah hiruk pikuk ibu kota.

 

M. Wildan Saputra, Mahasantri Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang