ULAMA PEJUANG YANG SELALU MENJAGA KEMANDIRIAN
Banyak ulama yang memiliki peran besar, tetapi di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Muslich tidak asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pejuang dan pergerakan kemerdekaan yang gigih. Kegigihan perjuangan itu ternyata tidak hanya dilakukan saat perang kemerdekaan, namun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga kemandirian dan kemerdekaan pribadi, dengan bekerja sebagai pedagang kambing, kontraktor, pemimpin kantor departemen agama di beberapa daerah, hingga kemudian menjadi pedagang tanah di Jakarta. Atas kegigihannya dalam berjuang itu memperoleh penghargaan Bintang Maha Putera Utama, karena jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa.
KH Muslich juga pembuat tonggak sejarah, karena dia lah, sosok ulama pertama kali yang didudukkan dalam DPR mewakili golongan karya ulama (1960). Sejak itu selama satu generasi, kiai kelahiran Purwokerto (1910) itu tidak pernah berhenti berkhidmat melalui berbagai fungsi yang diembannya dan ditunaikan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengalaman perjuangan itu yang membuat etos kerjanya di alam merdeka itu tinggi, karena juga dihayati sebagai gerak perjuangan.
Posisi strategis yang pernah diduduknya juga beraneka ragam, pernah menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas),Penasihat Menteri Urusan Transmigrasi,Penasihat Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat, Anggota Badan Otorita Jalan Lintas Sumatera, Anggota Badan Penyalur Sandang Pangan, Anggota Badan Usaha Perbaikan Pondok Pesantren hingga menjadi staf ahli bidang Keamanan/Pertahanan pada masa Perdana Menteri Djuanda.
Sebelumnya ia menjadi Anggota Badan Penampungan Bekas Tawanan SOB, dan menjadi anggota DPRGR/MPRS, yang diangkat Presiden Soekarno sebagai pengganti Konstituante yang dibubarkannya. Namun sebagai pemilik ilmu agama(ulama), akhirnya KH Muslich kembali menekuni dunia pendidikan melalui Yayasan Perguruan Diponegoro yang didirikannya di Purwokerto dan Jakarta, hingga akhir hayatnya 28 Desember 1998.
Karakter orang pergerakan
KH Muslich yang dilahirkan di desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas tahun 1910 hidup di lingkungan pedesaan yang santri. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten. Selesai Sekolah Rakyat-SR, Muslich melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji al-Qur’an di Pesantren KH Cholil Kauman. Juga belajar kitab fiqih di pesantren Keprabon dan Jamsaren.
Selama berada di Solo, Muslich banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Secara temporer dia juga belajar mengaji dan mondok di pesantren Bogangin Sampyuh, Leler Kebasen, Tebuireng-Jombang, Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Untuk memperoleh pengetahuan umum ia tempuh dengan otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.
Pada zaman pergerakan kemerdekaan, Muslich menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu), waktu itu usianya baru 16 tahun. Setelah itu menjadi anggota Pemuda Muslimin Indonesia dan menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem dan H Agus Salim, Muslich dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso.. Bersama teman-temannya yang dipecat kemudian ia mendirikan Gerakan Penyadar PSII yang dipimpin H Agus Salim.
Setelah gerakan penyadar tidak aktif, Muslich baru bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta. Dengan karirnya yang cemerlang dan meyakinkan itu menjadikan Muslih sebagai kader yang militan, karena itu ketika NU bergabung dalam Masyumi (1946), Muslich ikut ke dalamnya dan ketika NU keluar dari Masyumi (1952) Muslich juga ikut keluar. Ia selalu mengikuti perkembangan situasi, baik ketika NU bergabung ke dalam PPP (1973), maupun ketika kembali ke khittah 1926. Walaupun hanya sebatas mengamati, karena perhatinnya sudah tersita untuk bidang pendidikan yang digelutinya sejak lama.
Menjadi guru dan penghulu
Ketika masa tugasnya dianggap telah selesai dan tidak ada tugas baru yang harus diembannya, maka ia segera kembali ke daerahnya, untuk mengabdikan diri sebagai guru Madrasah Mambaul Ulum Puwokerto (1930), dan menjadi guru pada Kweekschool Islamiyah (1935) milik PSII Cabang Cilacap. Pada tahun 1946 ia diangkat sebagai penghulu Kabupaten Cilacap, merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat Kapten. Atas restu Komandannya Letkol Gatot Subroto, setahun kemudian Muslich diangkat seba
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
6
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
Terkini
Lihat Semua