Ajie Najmuddin
Kolomnis
Nama Dharto Wahab tercantum pada susunan redaksi harian Duta Masjarakat, surat kabar milik NU saat menjadi partai di tahun 1960-an. Di surat kabar tersebut, selain sebagai penulis berita, ia kerap menulis esai ataupun cerita berseri.
Nama Dharto Wahab melekat pada penyanyi kasidah kenamaan pada zaman itu, seorang yang dikenal Umi Kultsum-nya Indonesia, Rofiqoh. Nama Dharto Wahab jadi nama tengah dan belakangnya: Rofiqoh Dharto Wahab.
Tentang istri Dharto Wahab ini, mulanya dikenal sebagai qari' (pembaca Al-Qur'an) pada berbagai acara di kampung-kampung, kemudian acara-acara NU di tingkat nasional, sampai acara kenegaraan. Suara emasnya tersebar pada rekaman kaset pita, yang biasanya diperdengarkan saat ada hajatan orang menikah atau sunatan. Hamawi Ya Mis Mis, Ya Asmar Latin Sani, Maqadir adalah lagu favorit khalayak kala itu.
Dharto Wahab dan Rofiqoh menikah pada tanggal 17 April 1965. Rencana pernikahan mereka bahkan diumumkan di harian Duta Masjarakat (DM) edisi 13 April 1965. Di halaman iklan, tercantum dalam sebuah kolom kecil:
"Akan Melangsungkan Perkawinan Rofikoh Munawir dengan M Dharto Wahab. Pada tanggal 17 April di Pekalongan dan tanggal 22 April di Magelang. Kepada anak kerabat dan sahabat-sahabat, terutama sepuh, mohon do'a restu."
Bisa dimaklumi, sebab pada saat itu, Dharto Wahab merupakan wartawan DM, pun dengan Rofiqoh sebagai orang yang cukup populer. Bahkan, di DM edisi 16 Mei 1965, pada halaman muka memuat foto pernikahan Dharto dan Rofiqoh, dengan keterangan di bawah foto:
"Wartawan M Dharto Wahab telah melangsungkan perkawinannja baru-baru ini, dengan Siti Rofiqoh putri tunggalnja Kyahi H Munawir. Seperti diketahui bahwa Siti Rofiqoh pernah menggondol djuara Djateng pembatjaan ajat sutji Al-Qur'an jang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dan bagi orang Pekalongan, sudah tidak asing lagi nama Siti Rofiqoh, karena dia selain terkenal sebagai pembatja ajat sutji, djuga memimpin Djam'iah Kosidahan anak-anak putri remadja Pekalongan."
Begitulah, kemeriahan pernikahan keduanya. Setelah menikah, keduanya tinggal di Jakarta dan dikaruniai tiga anak, dua putri dan seorang putra. Saat menikah usia keduanya terpaut 9 tahun. Rofiqoh kelahiran tahun 1945, saat itu berusia 20 tahun, sedangkan sang suami berusia 31 tahun.
Putra pendiri NU Magelang
Muhammad Darto Wahab berasal dari Poncol Magelang Jawa Tengah. Lelaki kelahiran 5 Oktober 1934 tersebut merupakan putra dari H Abdul Wahab. Catatan mengenai H Abdul Wahab, ditemukan pada buku Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) yang ditulis KH Saifuddin Zuhri.
Dituliskan dalam buku tersebut (hlm 179) H. Abdul Wahab sebagai seorang wiraswastawan muda yang terampil, yang merupakan putra dari Haji Kodri, seorang tokoh lurah di Desa Kauman Magelang. Keduanya, kemudian turut andil `dalam proses berdirinya NU di Magelang dan menjadi tulang punggung pada persiapan pelaksanaan Muktamar ke-14 NU di Magelang tahun 1939.
Pada kepengurusan awal PCNU Magelang (belum ada pembagian PCNU kabupaten/kota) tersebut, H Kodri mengemban amanah sebagai ketua dan anaknya, Abdul Wahab, menjadi sekretaris. Informasi mengenai proses berdirinya dan susunan awal kepengurusan PCNU Magelang ini, juga tentang H Abdul Wahab, akan dituliskan kembali di lain kesempatan.
Berasal dari keluarga pendiri NU di Magelang, maka tidaklah heran jika kemudian salah satu putra H Abdul Wahab, yakni Dharto Wahab aktif sebagai kader NU. Sejak muda, ia sudah terlibat aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), kemudian Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sebelumnya Dharto Wahab juga sempat aktif di HMI karena pada waktu itu NU belum memiliki organisasi kemahasiswaan. Hal ini serupa dengan sejawatnya, Mahbub Djunaidi, kolumnis kenamaan kelahiran Jakarta. Kemudian Dharto maupun Mahbub, keluar dari HMI setelah NU mendirikan PMII. Selain di PMII, ia juga aktif di Lesbumi Komda Jaya (1966-1988).
Saat masih di Magelang, Dharto remaja juga aktif di Kepanduan Rakyat Indonesia. Ia menempuh pendidikan agama di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan KH Chudlori dan Pesantren Wates.
Sedangkan untuk pendidikan formal, ia menempuh hingga mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Islam Jakarta pada tahun 1970. Istilah gelarnya pada saat itu Sarjana Lengkap Jurusan Hukum Perdata. Sejak saat itu, ia bergelar SH, dan menjadi seorang advokat/pengacara yang cukup ternama.
Dharto Wahab juga menggeluti dunia jurnalistik. Karier sebagai wartawan ia mulai sejak tahun 1958 di harian Duta Masjarakat hingga tahun 1968. Setelah itu, pada tahun 1971, ia menjadi menjadi wartawan di Majalah Risalah Islamiyah dan Pos Kota (1980-an).
Sebagai seorang wartawan ia juga aktif di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1968-1982 sebagai Wakil Ketua Biro Pendidikan/Kebudayaan dan Agama, serta Wakil Ketua LBH Biro Hukum PWI Jaya (1983-1987).
Karya-karyanya antara lain cerita bersambung berjudul Pemberontakan di Keradjaan Demak dan Tombak Kjahi Pandjang yang dimuat secara berseri di Duta Masjarakat di tahun 1963. Kemudian esai-esai yang banyak tersebar di berbagai media. Sebagai wartawan yang juga advokat, ia kerap menuliskan persoalan berkaitan dengan hukum.
Seperti yang ia tuliskan dalam artikel berjudul Delik Pers yang Mungkin Terjadi dalam Kolom Sas-Sus Dunia Film (Majalah Pers Indonesia Edisi April 1982 / No. 30 Tahun VIII), ia mengemukakan pendapat terkait potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh wartawan, disebabkan karya tulisan yang dianggap menyinggung, khususnya dalam kasus artikel desas-desus (gosip).
"Seperti sebagai contoh, bahwa tulisan yang kena sanksi hukum contohnya demikian: Di rumah artis A boleh melakukan ciuman, setiap orang yang datang dapat dilayani. Tulisan ini adalah dapat kena sanksi hukum, walaupun hanya untuk tulisan dalam kolom sas-sus."
Begitulah kiprah dan karya H M Dharto Wahab. Setelah malang melintang sebagai aktivis, jurnalis, dan advokat, ia meninggal pada tahun 1997, setelah sempat mengalami sakit stroke.
Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU
Terpopuler
1
Alasan NU Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal
2
KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan
3
Khutbah Jumat: Marhaban Ramadhan, Raih Maghfirah dan Keberkahan
4
Khutbah Jumat: Bersihkan Diri, Jernihkan Hati, Menyambut Bulan Suci
5
Khutbah Jumat: Kepedulian Sosial Sebagai Bekal Menyambut Ramadhan
6
Khutbah Jumat: Sambut Ramadhan dengan Memaafkan dan Menghapus Dendam
Terkini
Lihat Semua