Hj. Asmah Sjahruni, Ketua Umum Muslimat NU dari Kalimantan Selatan
Jumat, 14 Februari 2025 | 05:02 WIB

Hj. Asmah Sjahruni (Foto: Repro dari buku Hasil Rakyat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen, Parlaungan, 1956)
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Kongres ke-XIII Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1995 adalah saat terakhir Hj Asmah Sjahruni memimpin organisasi wanita NU ini sebagai ketua umum sejak 1979. Sampai 2025 ini, ia merupakan satu-satunya ketua umum Muslimat berasal dari luar jawa.
Pada buku 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama dan Bangsa (PP Muslimat NU, 1996) dilukiskan rasa bangga dan puas atas pencapaian Muslimat NU di masa akhir kepemimpinannya.
Kala itu, ia melihat Muslimat NU telah sampai pada satu titik perkembangan yang sangat penting: sejajar dengan organisasi-organisasi wanita lainnya. Selain itu, juga berhasil melewati masa-masa kritis yang menyertai perkembangan Muslimat NU. Hubungan kelembagaan dengan berbagai pihak terbina dengan baik.
Keberhasilan membawa Muslimat NU pada fase tersebut, salah satu faktornya tak lepas dari pengalaman dan kecintaan Hj Asmah Sjahruni di dalam khidmatnya bersama Muslimat NU.
Pada usia sekitar 24 tahun (1952), ia sudah menjadi Konsulat Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan. Setelah malang melintang menjadi pengurus, ia kemudian terpilih menjadi Ketum PP Muslimat NU, pada Kongres ke-X tahun 1979.
Pejuang dari Rantau, Kalimantan Selatan
Asmah Sjahruni merupakan sosok wanita pemberani dan berhasil menjalani kehidupannya di kota besar Jakarta. Dari buku Hasil Rakyat Memilih Tokoh-Tokoh Parlemen (Parlaungan, 1956), diterangkan anggota DPR RI dengan nomor anggota 239 bernama Nj Asmah Sjahrunie (dengan tambahan huruf e pada Sjahrunie) dilahirkan di Rantau, Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 28 Februari 1928.
Kampung halamannya, Rantau, kala itu masih termasuk dalam wilayah Hulu Sungai Selatan yang berpusat di Kandangan. Di masa kini, Rantau masuk dalam wilayah Kabupaten Tapin.
Meski di masa itu di daerahnya hak pendidikan untuk perempuan masih minim, tak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar. Selain belajar agama, Asmah menempuh pendidikan hingga setingkat SMP di Jkoin Joseidjo.
Dengan bekal pendidikan tersebut, ia menjadi guru mulai tahun 1943. Asmah menjadi guru pembantu di Futsu Tjo Gakko (setingkat SD di masa pendudukan Jepang) di Rantau I, kemudian Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III.
Di masa ini, ia juga sempat aktif di Fujinkai. Kemudian setelah Indonesia merdeka, ia pernah menjadi guru SR VI di Rantau III, SR VI di Batang Kulur Kandangan, dan SR VI di Ulin Kandangan.
Tahun 1955, ketika momen Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di Indonesia, Asmah Sjahruni terpilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai NU, daerah pemilihan Kalsel bersama dengan M Hanafiah dan Ridwan Sjahrani. Sebetulnya, ada seorang lagi yang berasal dari Kalsel yakni H Idham Chalid, tapi ia terpilih dari daerah pemilihan di Jawa.
Sejak tahun 1955 hingga 1984, berturut-turut ia terpilih menjadi anggota DPR RI. Bahkan, ia pernah dipercaya menjadi Ketua Komisi VIII DPR RI. Kiprahnya sebagai anggota dewan, juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia kerap kali tampil untuk menyuarakan kemaslahatan untuk bangsa.
Pernah suatu ketika, ia menjadi juru bicara dari Fraksi PPP saat menyatakan penentangan sejumlah pasal dalam RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam.
Kiprahnya di Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU berawal setelah Kongres ke-7 tahun 1959. Dalam kepengurusan yang dipimpin Ketum Ny Hj Mahmudah Mawardi, ia mengemban amanah sebagai Ketua Sosial. Namun, pada periode kepengurusan berikutnya, yakni 1962-1967 dan 1967-1979, pengalamannya di bidang pendidikan membuat ia dipilih untuk menjadi Ketua II / Bagian Pendidikan (Ma'arief) PP Muslimat NU.
Pada Kongres ke-X Muslimat NU yang diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar ke-25 NU di Semarang, pada tanggal 5 sampai dengan 11 Juni 1979, ia terpilih menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU yang baru, menggantikan Nyai Hj Mahmudah Mawardi yang sebelumnya telah memimpin hampir selama 29 tahun.
Perlu diingat, pada masa itu NU tengah mengalami ujian yang berat di tengah transisi dari partai politik menuju keputusan untuk kembali ke khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan.
Pun, di masa Orde Baru tersebut NU dan Banomnya banyak mengalami upaya peminggiran. Banyak pengurus dan anggota yang takut untuk mengaku sebagai orang NU. Terutama, mereka yang bekerja di pemerintahan.
Namun, pelan tapi pasti, NU dan Banom-banomnya, termasuk Muslimat NU, mulai bangkit. Setelah Kongres ke-11 di Situbondo tahun 1987, Muslimat NU membentuk Yayasan Pendidikan Bina Bakti Wanita yang menangani kegiatan pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi kaum wanita, serta Himpunan Daiyat Muslimat dan Fatayat NU (Hidmat).
Kemudian, di masanya pula Muslimat NU membangun Gedung Serbaguna di Ciputat yang diresmikan oleh Menag Tarmizi Taher. Hingga akhir kepengurusannya, pada Kongres ke-13 tahun 1995, dilaporkan secara struktur telah memiliki Pimpinan Wilayah di 26 provinsi, 326 Pimpinan Cabang di berbagai kabupaten/kota, dan 26.000 Pimpinan Ranting di berbagai desa/kelurahan. Selain itu juga telah membina 4.500 TK, 1525 TPQ, 49 pelayanan kesehatan, dan 26.000 majelis taklim.
Demikianlah, riwayat singkat Ny Hj Asmah Sjahruni, Ketua PP Muslimat NU Tiga Periode (1979-1995). Semoga jasa perjuangannya menjadi amal jariyah yang pahalannya tak pernah berhenti mengalir. Laha alfatihah.
Ajie Najmuddin, Pemerhati sejarah NU
Terpopuler
1
Alasan NU Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal
2
KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan
3
Khutbah Jumat: Marhaban Ramadhan, Raih Maghfirah dan Keberkahan
4
Khutbah Jumat: Bersihkan Diri, Jernihkan Hati, Menyambut Bulan Suci
5
Khutbah Jumat: Kepedulian Sosial Sebagai Bekal Menyambut Ramadhan
6
Khutbah Jumat: Sambut Ramadhan dengan Memaafkan dan Menghapus Dendam
Terkini
Lihat Semua